Aborsi, Hak Perempuan atas Tubuh dan Perlindungan Sosial

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, yang mengatur pengecualian atas larangan aborsi (Bagian IV pasal 31-39), memunculkan berbagai komentar pro dan kontra. Mulai dari spesifik pro dan kontra ke peraturan pemerintahnya, sampai ke pro dan kontra terkait dengan hak janin, hak perempuan atas tubuhnya, hak untuk hidup, dan sebagainya. Terkait dengan isu perlindungan sosial, maka perlu dikaji ulang secara seksama apakah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 ini sebenarnya melegalkan aborsi? Jika aborsi dilegalkan, maka harus dipahami dalam konteks politik seperti apa? Apakah pelegalan aborsi seperti yang diatur memberikan perlindungan ke perempuan atau tidak?
Jika kita membaca PP No. 61/2014, sebenarnya legalisasi aborsi hanya diperbolehkan apabila ada indikasi darurat medis dan pada kasus perkosaan, ini pun dengan dasar pilihan, baik perempuan yang mengalami darurat medis atau perkosaan boleh menjalankan atau menolak aborsi. Tapi meskipun legalisasi aborsi tersebut hanya diperbolehkan untuk indikasi darurat medis dan kasus perkosaan, sejumlah pihak seperti Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Ketua IDI menolak peraturan pemerintah ini. Secara khusus melihat penolakan Ketua IDI, Dr Zaenal Abidin, MH, beliau berargumen bahwa peraturan pemerintah tersebut berpotensi menimbulkan pertentangan diantara dokter; dan legalisasi aborsi di negara barat dengan alasan kesehatan atau perlindungan terhadap perempuan nyatanya tidak menurunkan angka aborsi. Selain itu ia juga mengacu ke teori Phytagoras yang diakui di etika kedokteran yang menyatakan bahwa awal kehidupan manusia terjadi dari sejak pembuahan. ((Majalah detik 18 – 24 agustus 2014. Dr. Zaenal Abidin, MH: Kaji Ulang Aturan Aborsi. Detikcom))
Kalau membahas tentang perspektif filosofis Phytagoras mengenai aborsi, sebenarnya perspektif filosofis tersebut bukan didasari oleh alasan medis atau matematis, tapi lebih terkait dengan prinsip filosofis/religius yang dianut Phytagoras. (( Paul Carrick. Medical Ethics in the Ancient World; Medical Ethics in Antiquity: Philosophical Perspectives on Abortion and Euthanasia.)) Perspektif Phytagoras ini kemudian diadopsi oleh Hipokrates. Meskipun kedua filsuf ini berbagi pandangan yang sama tentang aborsi, tetapi argument yang mendasari pandangan tersebut berbeda. Phytagoras mendasari argument mengenai penolakannya terhadap aborsi terkait dengan prinsip filosofis/religiusnya, dimana dia percaya bahwa fetus telah memiliki jiwa pada saat konsepsi dan jiwa akan terus terlahir sampai mencapai kesempurnaan bersama ilahi. Sedangkan Hipokrates mendasari argument penolakannya terhadap aborsi pada science yang dipelajarinya mealalui metodologi yang rasional dan intuisi. ((http://michelaurel.wordpress.com/2012/06/19/aborsi/))
Bercermin pada sumpah hipokrates, penolakan terhadap aborsi terkait dengan komitment untuk melindungi hidup, kesehatan ibu dan potensi hidup dari fetus. ((Cody Kornack. Thesis on The Birth of Abortion: Ancient Views, Modern Interpretations, and Enduring Debates. Colorado College. May 2014)) Sebetulnya bila dokter hendak konsisten mengikuti logika Phytagoras dan Hipokrates, sebenarnya bukan hanya aborsi yang harusnya ditentang, tapi juga penggunaan kontrasepsi karena menggugurkan konsepsi. Pada kenyataannya para dokter yang menentang aborsi legal seperti diatur resmi negara juga tidak konsisten dengan sumpah dan etikanya, karena mereka mendukung penggunaan alat kontrasepsi dan program KB, yang merupakan alat Negara untuk mengendalikan pertambahan jumlah penduduk.
Banyak yang berasumsi kalau aborsi dilegalkan atau aturan untuk aborsi dibuat longgar, maka trend aborsi akan meningkat. Asumsi ini tidak bisa dijustifikasi karena menurut penelitian WHO: (1)  hukum tidak mempengaruhi keputusan perempuan untuk melakukan aborsi atau tidak, tapi masalahnya hukum mempengaruhi apakah perempuan bisa mendapatkan fasilitas aborsi yang aman atau tidak dan ini mempengaruhi angka kematian ibu dan anak; (2) tinggi atau rendahnya angka aborsi juga bukan dipengaruhi oleh legalitas aborsi, tapi oleh sebaran ketersediaan alat kontrasepsi. Legalitas aborsi juga tidak selalu berdampak pada peningkatan angka aborsi, pengalaman Amerika Serikat dan Afrika menunjukkan hal ini. Di Amerika Serikat pada tahun 2003, dimana aborsi dilegalkan dan alat kontrasepsi tersebar luas, angka perkiraan aborsi adalah 21 per 1.000 orang. Sedangkan di Uganda pada tahun yang sama, dimana aborsi illegal dan pendidikan seks hanya focus pada pelarangan hubungan seksual, angka perkiraan aborsi adalah 54 per 1.000 orang. ((Elizabeth Rosenthal. Legal or Not, Abortion Rates Compare. October 12, 2007. http://www.nytimes.com/2007/10/12/world/ 12abortion.html?_r=0)) Dalam konteks Indonesia dimana aborsi adalah illegal, angka perkiraan aborsi sulit didapatkan, tapi menurut sejumlah penelitian angka aborsi di Indonesia setiap tahunnya antara 750.000 – 2.300.000 aborsi. ((Putro Agus Harnowo. 2,5 Juta Janin Tiap Tahun ‘Menjerit’ Karena Dimatikan. Rabu, 30/05/2012. http://health.detik.com/read/2012/05/30/085903/1928031/775/25-juta-janin-tiap-tahun-menjerit-karena-dimatikan))
Pembahasan mengenai aborsi sendiri juga sebenarnya tidak boleh dipisahkan dari pembahasan mengenai hak perempuan atas tubuhnya, termasuk hak reproduksi. Hak-hak perempuan sebenarnya sudah diakui dalam sejumlah konvensi HAM internasional, diantaranya: Universal Declaration of Human Rights, Civil and Political Rights Covenant, Women’s Convention (CEDAW), dan Children’s Convention. ((Briefing Paper. Safe and Legal Abortion is a Woman’s Human Right. Center for Reproductive Rights. New York. October 2011. www.reproductiverights.org)) Namun perlu kita akui juga, bahwa tidak semua aspek hak perempuan, seperti hak atas tubuh dan hak reproduksi, diatur secara konkrit dalam konvensi-konvensi tersebut. Beberapa konvensi internasional mengenai HAM sebenarnya sudah diadopsi menjadi Undang-Undang di Indonesia, tetapi karena masih terkendala dalam implementasinya, masyarakat umum di Indonesia banyak yang belum tersosialisasi dengan hak azasi manusia secara umum dan hak perempuan secara khusus.
Secara khusus melihat hak perempuan, kita harus mengakui bahwa perempuan masih dibatasi baik secara pribadi, sosial, maupun politik lewat sejumlah norma dan aturan, sehingga banyak haknya yang tidak terpenuhi diantaranya hak atas tubuh, hak reproduksi, dan hak untuk menentukan pilihan. Dalam konteks aborsi, hak perempuan dinegasikan dengan berbagai argument seperti hak janin untuk hidup, hak janin yang merupakan individu yang terpisah dari ibunya, aborsi melanggar HAM, aborsi adalah tindakan yang tidak bermoral, dan sebagainya. Argumen-argumen ini seringkali melupakan bahwa perempuan yang harus menjalani kehamilan yang berlangsung sekitar 9 bulan dengan berbagai risikonya, baik fisik maupun emosional termasuk berbagai risiko pada saat melahirkan. Selain itu setelah melahirkan perempuan juga yang paling banyak keterlibatannya dalam mengurus, merawat dan membesarkan anak. Janin mungkin individu yang terpisah dari ibunya, walaupun ia bergantung penuh pada ibunya sampai ia dilahirkan, tapi ini juga bukan berarti ibunya kehilangan hak untuk menentukan apakah ia mau menjalankan kehamilannya atau tidak.
Jika dikatakan aborsi melanggar HAM, maka memaksa perempuan untuk menjalani kehamilan yang tidak dikehendakinya juga dapat diargumentasikan merupakan pelanggaran HAM. Kalaupun dikatakan aborsi adalah tindakan yang tidak bermoral, maka perlu diperiksa apa yang menjadi landasan moral ini: Apakah landasan moral tersebut merupakan bentukan moral dari laki-laki sebagai kelompok yang berkuasa? Apakah landasan moral tersebut dibentuk atas dasar relasi sosial yang adil antara laki-laki dan perempuan? Kondisi yang masih berlangsung dimasyarakat saat ini, sebenarnya adalah adanya relasi sosial yang patriarkis dimana laki-laki bisa berbuat sesukanya dan perempuan dibatasi oleh sejumlah aturan sosial-budaya yang dibuat oleh laki-laki, misalnya: membesarkan dan mengasuh anak adalah kewajiban perempuan. Terkait dengan hal tersebut maka pelarangan terhadap aborsi sebenarnya bisa juga diterjemahkan sebagai dominasi laki-laki atas tubuh perempuan, sehingga pelegalan aborsi dapat diartikan sebagai hilangnya dominasi laki-laki terhadap tubuh perempuan.
Budaya patriarkis yang menghalangi perempuan untuk menikmati hak-haknya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi terjadi di berbagai negara di dunia. Umumnya, dalam perdebatan mengenai legalitas aborsi, terdapat dua kelompok besar yaitu: pro-life yang cenderung patriarkis dan menentang aborsi; dan pro-choice yang menyetujui hak perempuan untuk menentukan dan melakukan aborsi. ((Benny Susetyo. Argumen “Pro Life” dan “Pro Choice”. 29 Agustus 2014. http://sinarharapan.co/news/read/140829034/argumen-pro-life-dan-pro-choice-span-span-)) Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) adalah negara yang 41 tahun terakhir telah melegalkan aborsi, tetapi bukan berarti budaya patriarkis hilang di negara ini. Dari segi kesehatan public, aborsi legal di AS telah menguntungkan banyak perempuan dan keluarganya; selain itu angka kematian karena aborsi illegal, yang diperkirakan ribuan per tahunnya, juga menurun drastis. ((Carole Joffe. Roe v. Wade and Beyond: Forty Years of Legal Abortion in the United States. Dissent – A Quarterly of Politics and Culture. Winter 2013. http://www.dissentmagazine.org/article/roe-v-wade-and-beyond-forty-years-of-legal-abortion-in-the-united-states))
Tetapi aborsi legal juga membawa sejumlah pertentangan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan politik di AS. Gerakan anti-aborsi banyak yang melakukan intimidasi dan penyerangan ke para provider aborsi dan pendukung aborsi, dimana orang-orang tersebut mengalami pelecehan, penguntitan, upaya pembunuhan, pembunuhan bahkan sampai pada pembakaran dan peledakan klinik-klinik aborsi. (( Wikipedia, the free encyclopedia. Anti-abortion violence. http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-abortion_violence)) Dalam aspek politik, dua partai besar di AS, Demokrat dan Republik, berkompetisi untuk mengumpulkan pendukung lewat isu aborsi. ((Jeremy W. Peters. Parties Seize on Abortion Issues in Midterm Race. The New York Times. January 20, 2014. http://www.nytimes.com/2014/01/21/us/politics/parties-seize-on-abortion-issues-in-midterm-race.html?_r=0)) Partai Demokrat memposisikan dirinya sebagai partai yang pro-aborsi dan mendukung kesehatan, salah satunya kesehatan perempuan. ((On The Issues. Party Platform. Democratic Party on Abortion. http://www.ontheissues.org/celeb/Democratic_Party_Abortion.htm)) Sedangkan Partai Republik, sejak tahun 1980-an, memposisikan dirinya sebagai partai yang anti-aborsi (( On The Issues. Party Platform. Republican Party on Abortion. http://www.ontheissues.org/celeb/Republican_Party_Abortion.htm)) dan dikenal patriarkis dengan adanya “abortion litmus test”. ((Carole Joffe. Op. Cit.)) Pertentangan antara kedua partai tersebut mengenai isu aborsi legal sangat mempengaruhi kebijakan mengenai aborsi, sehingga saat ini di AS banyak negara bagian AS yang tidak lagi mendanai aborsi legal, melarang aborsi, menjustifikasi pensosialisasian informasi palsu terkait aborsi, dan mengurangi akses perempuan untuk bisa aborsi. ((Ibid.))
Selain itu pertentangan dalam hal aborsi legal juga membawa sejumlah perubahan dalam konteks sosial, politik dan ekonomi. Saat ini di AS aborsi bukan lagi hak bagi semua perempuan, tapi merupakan hak istimewa bagi sekelompok perempuan yang mampu membayar biaya aborsi yang mahal, dan dalam beberapa kasus biaya tersebut harus ditambah dengan biaya perjalanan lintas negara bagian untuk mencapai klinik aborsi. Politik aborsi berdampak pada pemotongan anggaran untuk pembiayaan aborsi legal, dibeberapa negara bagian bahkan sudah tidak dibiayai sama sekali. ((Sharon Smith. Abortion: Every woman’s right. November 1, 2013. socialistworker.org. http://socialistworker.org/2013/11/01/abortion-every-womans-right)) Selain itu, saat ini perdebatan mengenai aborsi mulai bergeser dari masalah pro-life menjadi pro-taxpayer (pembayar pajak), dalam hal ini aborsi dilihat dari segi ekonomi karena berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Federal pembiayaan aborsi diambil dari pajak. Dengan menggeser perdebatan ke dalam konteks ekonomi, dimana kelompok konservatif/anti-aborsi berharap dapat memperoleh dukungan untuk meloloskan kebijakan dimana aborsi tidak lagi dibiayai oleh pajak. Bagi partai poltik di AS, isu aborsi legal bukan lagi mengenai membela kepentingan perempuan, pekerja, atau kelas menengah kebawah, tapi lebih pada kepentingan dalam pemilu – sayangnya cukup efektif mengecoh kesadaran pemilih perempuan yang jumlahnya cukup signifikan. ((Jeremy W. Peters. Op. Cit.))
Berkaca pada situasi yang berlangsung di AS, isu aborsi legal di Indonesia ada dalam konteks politik yang seperti apa? Kita perlu melihat konteks dan relasi sosial yang berlangsung di masyarakat dalam menentukan legalitas aborsi, karena moral dan etika sering kali mengecoh dan menguntungkan pihak yang kuat. Dalam perkembangan Indonesia saat ini dengan budaya patriarkis yang masih cukup kental, pemberian pilihan untuk aborsi ke perempuan bukanlah hal yang mudah untuk dicapai, apalagi jika dihubungkan dengan hak perempuan atas tubuhnya. Tapi ini sebenarnya satu bagian dari perlindungan sosial terhadap perempuan yang perlu diperjuangkan.
Jika kita kembali mengaitkan situasi terkait dengan perempuan yang ada saat ini dengan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014, yang kita dapatkan adalah peraturan yang merupakan kompromi dari situasi yang ada, dimana pemerintah sebenarnya hanya melonggarkan aturan tentang aborsi yang tadinya illegal menjadi legal bersyarat bagi perempuan dengan indikasi darurat medis dan korban perkosaan, dimana kedua kelompok perempuan ini diberikan pilihan untuk aborsi. Peraturan pemerintah ini belum sepenuhnya memberikan pilihan untuk aborsi atau tidak ke perempuan, hanya perempuan yang memenuhi 2 syarat tersebut diatas yang memiliki pilihan untuk aborsi. Secara umum, dalam konteks aborsi, perempuan belum mendapatkan perlindungan karena pengaturan aborsi legal masih bersifat diskriminatif.
Isu aborsi legal berhubungan erat dengan perlindungan sosial terhadap perempuan karena terkait dengan kesehatan perempuan, yang mana hal ini seharusnya berada dibawah pengawasan negara. Isu aborsi legal mempengaruhi tingkat kematian perempuan, karena aborsi tanpa standard medis yang memadai sampai saat ini masih merupakan penyumbang tertinggi penyebab kematian ibu, berdasarkan berdasarkan data departemen kesehatan tahun 2009, aborsi illegal di Indonesia menyumbang sekitar 50% angka kematian ibu. ((Zainal Effendi. Angka Kematian Akibat Aborsi di Indonesia Tertinggi Se Asia Tenggara. Selasa, 24/11/2009. http://news.detik.com/surabaya/read/2009/11/24/163720/1247989/466/angka-kematian-akibat-aborsi-di-indonesia-tertinggi-se-asia-tenggara)) Penentuan legalitas aborsi seharusnya juga mempertimbangkan ketersediaan aturan dan fasilitas negara yang memadai yang menjamin kesehatan ibu hamil serta aturan dan fasilitas negara yang menjamin agar anak dapat tumbuh dan berkembang. Minimnya dukungan negara bagi kesehatan ibu hamil dan dukungan bagi tumbuh-kembang anak juga mempengaruhi tingkat aborsi illegal, karena selain konsekuensi fisik, psikologis dan sosial, kehamilan dan pemeliharaan anak juga memiliki konsekuensi ekonomi, yang mana hal ini, dalam konteks Indonesia, tidak dijamin oleh negara.
Pelarangan aborsi secara hukum hanya masuk akal bila didukung dengan sejumlah aturan dan pelayanan oleh Negara dalam bentuk informasi dan fasilitas kesehatan reproduksi yang memadai yang dijamin oleh negara, layanan adopsi, fasilitas negara yang menjamin pemberian hak dasar anak dan pendidikannya, sehingga anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang. Pelarangan aborsi tanpa ditunjang oleh fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak yang memadai, sama dengan pelanggaran terhadap hak perempuan atas reproduksi dan tubuhnya, serta pelanggaran terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Singkat kata, pelarangan aborsi tanpa perlindungan sosial yang memadai bagi perempuan dan bagi anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Penulis: Ayu Anzas | Peneliti di Inkrispena
Sumber: PerspektifNews

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *