Amina Filali dan Runtuhnya Simbol Kehormatan Patriarki

Bunuh diri tak selamanya dipahami sebagai sikap pengecut dan lemah diri. Bunuh diri juga merupakan bentuk protes yang bersumber dari keberanian diri. Bunuh diri dalam bentuk ini adalah kematian yang dipilih. Kematian sebagai pembebasan.
Seperti yang dilakukan oleh Amina Filali, seorang gadis Maroko yang baru berusia 16 tahun, korban perkosaan, memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tikus daripada dipaksa hidup menikah dengan pemerkosanya.
Amina tidak hanya diperkosa oleh laki-laki yang bermoral bejat dan penjahat, tapi juga diperkosa oleh ayahnya, peraturan di negerinya, adat istiadat masyarakatnya, dan pemahaman keagamaan yang diatasnamakan untuk pembenaran tergadap kekerasan dan perkosaan.
Amina memang seperti diperkosa beramai-ramai, tubuh dan kehormatannya dicabik-cabik, tidak hanya oleh laki-laki itu, tapi ayahnya, keluarganya, masyarakatnya, dan negaranya terlibat dalam pemerkosaan. Apa lacur, yang dianggap sebagai aib, kotor, dan tidak bermoral yang seharusnya melekat erat pada pelaku pemerkosa, justru ditimpakan pada Amina yang menjadi korban.
Amina hidup di tengah masyarakat dan adat istiadat yang kehilangan akal sehat dan nurani kemanusiaan. Yang menjadi tolak-ukur dalam masyarakat itu adalah harga diri, dan gengsi laki-laki, masyarakat yang taat sepenuhnya pada norma dan kekuasaan patriarki.
Menurut undang-undang di Maroko, dengan menikahi korban perkosaan, maka pelaku pemerkosaan bisa bebas dari hukuman. Dan keluarga korban mengira bisa bersyukur karena terbebas dari aib akibat perkosaan itu karena mereka menganggap pernikahan setelah kasus perkosaan – yang jelas-jelas tidak berbeda dengan perkosaan sebelumnya karena pasti dengan pemaksaan dan kekerasan?seperti teknik pencucian yang bisa membersihkan jejak-jejak kekerasan, penyiksaan, dan trauma pada korban perkosaan.
Dalam nalar masyarakat yang patriarkal perempuan dipandang dengan ambigu dan penuh kontradiktif. Satu sisi perempuan dianggap sebagai simbol kehormatan keluarga dan masyarakat, namun di sisi lain, perempuan dipisahkan dari diri mereka sendiri, karena perempuan telah dijadikan ”barang taruhan” dalam kehormatan itu.
Kehormatan perempuan tidak lagi ditentukan oleh perempuan sendiri, namun oleh adat, aturan dan pandangan dalam masyarakat yang patriarkhis itu.
Karena perempuan dianggap sebagai simbol kehormatan (yang sebenarnya bahasa halus dari ”barang taruhan”) perempuan harus dijaga ketat, tidak boleh terciprat aib, karena sekali dilumuri noda, maka akan membawa malu, bencana, dan cemohon pada keluarga dan masyarakatnya.
Dalam ranah ini, kita pun menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu kewarasan akal kita: mengapa perempuan dipingit, mengapa tidak boleh keluar rumah, mengapa gerak-geriknya dibatasi dan dipantau, pergaulannya disorot, dan pembatasan-pembatasan di hal-ihwal lainnya.
Karena sudah dianggap sebagai ”barang taruhan” maka perempuan tidak lagi otonom, tidak memiliki dirinya sendiri, namun justru dimiliki oleh pihak yang berasal dari luar dirinya, mulai keluarga, masyarakat, agama, dan negara.
Tidak hanya dipandang sebagai ”barang taruhan”, dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering dianggap sebagai ”kambing hitam”. Kelemahan-kelemahan yang datang dari kaum laki-laki, tetapi karena mereka tidak mau mengakui dirinya lemah, membutuhkan ”kambing hitam” sebagai sasaran kemarahan.
Misalnya, karena laki-laki tidak bisa menjaga pandangan dan imannya karena itu mereka pun tergoda, maka menyalahkan perempuan sebagai penggoda. Walhasil, perempuan dipaksa menutupi tubuhnya (hingga ada yang seluruh badan, kecuali bola matanya, yang itu pun masih diminta memakai kaca mata hitam) hingga suaranya, karena dituding bisa menggoda laki-laki, yang hakikatnya laki-laki itu yang lemah dan tidak mampu menjaga dirinya sendiri.
Apabila kehormatan suatu keluarga atau masyarakat ternoda, yang berarti kalah dalam perjudian kehormatan, maka yang akan diserahkan dan dikorbankan adalah perempuan. Perkosaan adalah tindakan kejahatan.
Penilaian ini bisa diketahui dalam masyarakat patriarkal, namun sikap yang dipilih malah berbeda. Bukan mengutuk dan memenjarakan pemerkosa untuk membela korban perempuan, tapi malah bagaimana menyelamatkan kehormatan dan harga diri keluarga. Ini sikap pengecut karena karena takut pada tuduhan aib.
Dalam ranah ini, tidak penting perasaan dan trauma perempuan, yang justru dilihat dan dijadikan sebagai pertimbangan bagaimana perempuan tetap dijadikan sebagai ”barang” yang bisa dijadikan tebusan untuk kehormatan keluarga yang sudah tergadai itu.
Karena pernikahan dianggap bisa mengembalikan kehormatan keluarga, perempuan yang sudah menjadi korban perkosaan, dipaksa menikah dengan pemerkosanya. Tidak ada perbedaan terhadap perempuan pada dua peristiwa itu, sama-sama sebagai pemerkosaan, hanya kejadian kedua (pemerkosaan melalui pernikahan) dianggap bisa mengembalikan kehormatan keluarga dan memendam aib.
Cara pandang dan sikap ini memang sangat keji terhadap perempuan yang mematok kehormatan dan harga diri perempuan tidak melekat pada diri mereka sendiri, tetapi ditentukan, dan bisa dipergunakan oleh kekuasaan di luar dirinya, mulai dari keluarga, masyarakat sampai negara.
Dengan mengakhiri hidupnya Amina telah membalikkan cara pandang dan posisi dalam relasi antara dirinya dan kuasa di luar dirinya. Setelah sebelumnya Amina dianggap sebagai objek, yang tidak berkuasa atas dirinya, maka dengan memilih mati ia adalah subjek yang sadar dan merdeka.
Ia menentukan kehormatan untuk dirinya sendiri dengan tidak membiarkan dirinya menjadi objektivikasi kekuasaan di luar dirinya. Pun ia telah menghentikan perjudian kehormatan itu, ketika dirinya, sebelum-sebelum ini dianggap sebagai barang taruhan.
Dengan bunuh diri, Amina Filali seperti berseru: “Ini tubuhku, ini hidupku, aku berkuasa penuh, mampu memilih apa yang aku maui. Aku bukan barang yang bisa digunakan sebagai taruhan lagi”. Amina Filali telah melakukan pembebasan yang sesungguhnya dan kedamaian yang abadi.
Penulis: Guntur Romli | @GunturRomli
Sumber: www.beritasatu.com

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *