Hanya Negara Tersesat Yang Menghukum Korban Kekerasan Seksual

Bencana kekerasan seksual bertubi-tubi menyerang puluhan, ratusan, dan bahkan ribuan perempuan dan anak-anak di Indonesia. Rentetan kekerasan demi kekerasan tersebut telah menjadi terror yang menumbuhkan kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran massal di kalangan masyarakat.

Ketakutan massal itu ditambah  dengan hilangnya harapan karena  ketidakmampuan Negara merespon secara memadai atas bencana-bencana tersebut yang mewujud dalam kegagapan, pencarian kambing hitam, atau pengabaian bahkan ketidakpedulian karena disibukkan oleh perebutan kursi kekuasaan.

Para politisi sibuk mengurus koalisi, pemimpin agama lebih berselera dengan khotbah politik yang akan memuluskan kepentingan pribadi atau kelompoknya, penegak hukum sibuk menyembunyikan jejak-jejak korupsi, media lebih melayani kepentingan pemiliknya yang kebetulan para politisi, Lembaga pendidikan lebih sibuk promosi dari pada proses pembelajaran tentang kemanusiaan.

Di saat kecemasan akan bencana kekerasan seksual menggunung, masyarakat Indonesia dipaksa menonton pertunjukkan yang memilukan ketika perempuan korban perkosaan harus menerima hukum cambuk di Nangroe Aceh Darussalam, sebuah propinsi yang diberikan keistimewaan penerapan syariat Islam.

Korban dituduh melakukan tindakan asusila lalu diperkosa oleh delapan orang pelaku. Pernyataan Ibrahim Latif, Kepala Wilayatul Hisbah kota Langsa Utara menyatakan bahwa kasus perkosaan yang menimpa korban tidak menjadi pertimbangan. Sebuah hukuman yang bertentang dengan kemanusiaan dan akal sehat, bagaimana mungkin perempuan dihukum atas kejahatan yang ia terima. Seharusnya, Negara mengambil langkah tegas dengan memproses kasus kekerasan seksual terlebih dahulu.

Kejahatan sudah tidak lagi dilakukan oleh individu atau personal akan tetapi telah dilakukan oleh Negara yang memiliki mandat untuk menghormati, menjamin dan melindungi hak warga Negara dari segala bentuk tindak kekerasan. Sebuah kesesatan berfikir dalam fase akut.

Betapa perasaan cemas diaduk dengan perasaan hilang harapan akan masa depan kemanusiaan di Negara yang bernama Indonesia. Negara yang katanya religius, yang katanya ramah, yang katanya menjunjung tinggi etika sopan santun. Nyatanya Negara ini adalah Negara barbar, misoginis atau pembenci perempuan, tidak toleran dan pengabdi kekerasan.

Hanya Negara yang tersesat yang menghukum mereka yang menjadi korban atas sebuah tindak kejahatan. Penghukuman cambuk terhadap korban perkosaan di Nangroe Aceh Darussalam adalah tindakan kolusi terhadap pelaku perkosaan, perayaan terhadap perkosaan, dan menjadi bagian dari budaya perkosaan yang akan menjadi pemicu perkosaan-perkosaan berikutnya.

Hukuman cambuk terhadap perempuan korban perkosaan di Nangroe Aceh Darussalam adalah salah satu  bentuk pelembagaan kebencian terhadap perempuan, pelembagaan pencitraan negatif terhadap perempuan, pelembagaan pembatasan ruang gerak perempuan, pelembagaan kontrol atas tubuh perempuan, dan pelembagaan penindasan terhadap perempuan oleh Negara.

Pemberlakuan hukum cambuk terhadap perempuan korban perkosaan di Nangroe Aceh Darussalam bertentangan dengan deklarasi umum hak asasi manusia,konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, konvensi tentang anti penyiksaan dan panganiayaan,  konstitusi Negara Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan bertentangan dengan hakikat peran Negara terhadap warganya.

Dengan melihat fenomena tersebut di atas, Aliansi Laki-Laki Baru, sebuah gerakan laki-laki untuk keadilan dan anti kekerasan menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk;

Satu, melawan segala bentuk kekerasan seksual di semua lapisan kehidupan masyarakat, keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, institusi militer, lembaga swasta, pemerintahan dan seterusnya dengan cara apapun mulai membangun sikap personal  menolak kekerasan seksual, menyebarkan akan bahaya kekerasan seksual pada lingkungan terdekat kita, dan terlibat aktif dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.

Dua, menuntut Negara untuk bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak-hak warga Negara dari segala bentuk tindakan kekerasan seksual dengan merumukan kebijakan pencegahan yang  terukur dengan melibatkan berbagai sector tanpa kecuali. Merumuskan mekanisme peradilan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberlakukan sanksi berat terhadap pelaku kekerasan seksual yang memiliki efek jera. Negara juga wajib menjamin proses pemulihan dari korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.

Tiga, merevisi kebijakan Negara baik nasional maupun daerah yang teridentifikasi diskriminastif terhadap kelompok tertentu, terutama perempuan dan anak, serta bertentangan dengan ketentuan internasional, konstitusi dan undang-undang di bawahnya seperti pemberlakuan hukum cambuk bagi perempuan korban perkosaan di Nangroe Aceh Darussalam.

Jakarta, 7 Mei 2014

Aliansi Laki-Laki Baru

About Redaksi ALB

Check Also

Sekali Lagi, Mengapa Laki-laki Harus Mendukung RUU TPKS

Mengapa laki-laki harus mendukung RUU TPKS Oleh Saeroni, M.H. Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru   …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *