sumber: http://www.islamnusantara.com/wp-content/uploads/2015/07/map-islam-nusantara.jpg

Islam Nusantara dan Keragaman Gender/Seksualitas

Setelah menjadi gagasan yang semakin populer, Islam Nusantara dituntut untuk mulai terlibat lebih aktif bekerja pada isu-isu yang lebih “praktis,” yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia lebih luas. Isu gender dan seksualitas menjadi salah satu isu krusial yang menuntut kerja lebih intensif dari kalangan Islam Nusantara. Isu gender dan seksualitas menjadi salah satu “ujian” sejauhmana gagasan Islam Nusantara benar-benar merupakan gagasan dan gerakan keagamaan yang toleran terhadap beragam bentuk perbedaan yang hidup dalam masyarakat kita. Minimal, sejauhmana Islam Nusantara bias menjadi bagian dari gerakan keagamaan yang menguatkan sikap toleransi kita terhadap keragaman gender dan seksualitas.
Dalam masyarakat kita hidup kelompok atau indvidu-individu dengan keragaman identitas, ekspresi, peran, relasi, dan orientasi gender dan seksualitas. Di banyak wilayah, kita bisa menemukan keragaman gender dan seksualitas “asli” (native) yang lebih variatif. Kita hidup bersama mereka sehari-hari. Tidak harus merujuk pada penelitian-penelitian akademik yang membuat kita lebih aware dengan keberadaan berbagai bentuk “norma” dan “praktek” gender dan seksualitas yang beragam dan minoritas, dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal bahkan hidup bersama beragam “komunitas” gender dan seksualitas, termasuk kelompok minoritas.
Kita mengenal identitas, ekspresi, dan relasi gender dan seksualitas etnolokal seperti warok-gemblak, tomboy, bissu, calabai, calalai, sampai wandu. Sebagai negara kepulauan (nusantara) di mana –meski tidak selalu—“pulau” sebagai tempat hidup juga merepresentasikan wilayah budaya (geographies of culture), saya meyakini, daftar keragaman identitas gender dan seksualitas etnolokal itu pasti sangat panjang. Studi terbaru dari antropolog Tom Boellstorff (2005) menegaskan adanya kategori gay “nasional” Indonesia yang lintas etnis dan lokalitas yang diidentifikasi sebagai gay nusantara (gay archipelago). Kita juga telah akrab dengan istilah waria sebagai konsep gender dan seksualitas yang lebih “nasional.” Keragaman gender dan seksualitas menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebihinnekaan kehidupan masyarakat kita.
Sayangnya, keragaman gender dan seksualitas sama sekali tidak menjadi berkah bagi masyarakat kita. Hak-hak sosial, politik, dan ekonomi kelompok gender dan seksualitas minoritas masih jauh terpenuhi. Sebagai contoh nyata, pekerjaan layak yang bisa menjadi sumber penghidupan dan representasi politik di berbagai posisi publik belum sepenuhnya dinikmati kelompok gender dan seksualitas marjinal seperti kelompok LGBT. Stigma sebagai pendosa, berpenyakit, “menyimpang” dan perusak moral masih sangat sering diterima komununitas LGBT. Kriminalisasi perkawinan homoseksual menjadi contoh ketidakadilan dari segi hukum yang diterima komunitas LGBT.
Akhir-akhir ini, seiring menguatnya konservatisme beragama, ideologi heteronormativisme dan homophobia semakin menguat. Intoleransi dalam berbagai bentuk, termasuk serangan teror dan kekerasan makin sering diterima kelompok gender dan seksualitas minoritas tanpa penegakan hukum yang transparan, adil, dan tuntas. Boikot konferensi ILGA di Surabaya (26/3/2010) dan serangan terhadap seminar HAM yang dihadiri komunitas transgender di Depok (30/4/2010) menjadi salah satu contoh. Kelompok gender dan seksualitas minoritas hampir tidak punya perliundungan hukum untuk kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi mereka alami. Keinginan politik untuk memformalkan hukum Islam juga menjadi faktor yang menguatkan homophobia, tidak hanya dari aparat resmi tapi juga di kalangan masyarakat. Salah satu contoh adalah kasus penangkapan dan “rehabilitasi” dua gadis yang dianggap lesbian yang terjadi di Aceh baru-baru ini. Bisa disebut, intoleransi terhadap kelompok gender dan seksualitas marjinal menjadi bagian dari politik gender dan seksualitas gerakan Islam “garis keras.”
Negara yang belum sepenuhnya responsif terhadap hak-hak kelompok gender dan seksualitas minoritas memang merupakan persoalan besar. Namun, menguatnya keberislaman yang tidak toleran terhadap komunitas gender dan seksualitas minoritas menjadi tantangan yang membutuhkan agenda khusus kelompok Islam moderat semacam Islam Nusantara. Karena menguatnya konsevatisme dan fundamentalisme Islam di balik menguatnya homophobia dan heternormativisme, Islam Nusantara dituntut “berhadapan” langsung dengan gerakan Islam intoleran dalam masalah keragaman gender dan seksualitas. Dengan membawa konsep “nusantara,” Islam Nusantara juga dituntut tidak hanya bekerja pada ruang lingkup masalah-masalah keagamaan. Tidak hanya pada level pengakuan (acknowledgment), Islam Nusantara perlu aktif bekerja pada level advokasi hak-hak kelompok gender dan seksualitas terpinggirkan.
Konsep dan “ideologi” menjadi salah satu hal yang perlu dipikirkan untuk menguatkan keterlibatan Islam Nusantara dalam gerakan membangun toleransi terhadap keragaman gender dan seksualitas. Sejauhmana “Nusantara” –sebagai konsep yang merepresentikan pandangan dan sikap toleran dan respek terhadap segala bentuk kemajemukan ala masyarakat Nusantara– menjadi landasan konseptual bagi gagasan dan gerakan Islam Nusantara? Islam Nusantara perlu untuk tidak hanya mengadopsi nusantara sebagai nama dalam mengkampanyekan Islam lokal sebagai counter atas Islam impor dan menanggalkan nusantara sebagai konsep toleransi terhadap kemajemukan ini.
Yang mungkin juga menjadi hambatan adalah kedekatan Islam Nusantara dengan Nahdlatul Ulama, atau jika Islam Nusantara adalah NU itu sendiri. Sudah banyak kalangan dari NU yang terlibat dalam perjuangan hak-hak seksual dan gender, termasuk menjadi pendukung kuat gerakan LGBT. Namun, NU juga memiliki banyak “komunitas” yang sangat konservatif jika berhadapan dengan isu-isu keragaman gender dan seksualitas, utamanya hak-hak LGBT, bahkan meski kelompok ini merasa sudah sangat toleran terhadap keragaman identitas lain, seperti etnis dan agama. Islam Nusantara perlu menguatkan jaringan dengan kelompok-kelompok yang selama ini sudah aktif dalam advokasi hak-hak komunitas gender dan seksualitas marjinal, baik dari luar maupun dari dalam NU sendiri. Islam Nusantara tidak boleh “alergi” untuk membangun aliansi dengan kelompok dan individu yang selama ini memperjuangkan hak atas dasar keberagaman gender dan seksualitas.
Akhirnya, gerakan untuk membangun toleransi terhadap keberagaman gender dan seksualitas membutuhkan kontribusi Islam Nusantara sebagai gerakan pemikiran Islam. Di tengah makin maraknya represi terhadap gerakan pemikiran dan keilmuan terkait hak-hak kelompok gender dan seksualitas minoritas, baik oleh negara maupun masyarakat, termasuk di kampus, produksi pemikiran Islam yang lebih toleran akan menjadi kontribusi sangat penting dari Islam Nusantara.

About Farid Muttaqin

mahasiswa doktoral di Departemen Antropologi, State University of New York (SUNY)-Binghamton University, Amerika Serikat; pernah bergabung bersama PUAN Amal Hayati dan UN Women (UNIFEM) Indonesia ; dan aktif dalam Aliansi Laki-laki Baru dan gerakan maskulinitas baru di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kontak: fmuttaq1@binghamton.edu

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *