Kang Tadho dan Maskulinitas Santri

Kang Tadho, bernama lengkap Muhammad Murtadho, adalah salah satu karib saya di salah satu pesantren di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Usianya lebih muda dari saya, namun demikian ia telah lebih dahulu nyantri di pesantren tersebut. Selain sebagai santri yang belajar mengaji, kini Kang Tadho mengabdikan dirinya untuk menjadi juru masak di pesantren tersebut. Memasak adalah salah satu keahlian yang dimiliki lelaki yang masih berusia 20 tahun-an tersebut. Entah sejak kapan ia mulai lihai dalam mengolah bumbu hingga menjadi kombinasi rasa yang memanjakan lidah.

Saat ditanya, ia sendiri tidak tahu persis sejak kapan kemampuan itu ia miliki. Ia hanya menjawab, “ya… mulai diakon masak ya belajar masak” (ya… sejak diminta bantu masak, ya belajar masak). Pada mulanya Kang Tadho, sebagaimana santri lainnya hanya diminta untuk membantu juru masak di dapur sesuai dengan jadwal piket. Namun tidak lama, Kang Tadho mulai diminta me-handle masak di pesantren putra.

Perlu diketahui, memasak di pesantren tidak sekedar perlu ketepatan meracik bumbu, tetapi juga berhemat. Sebab menjadi juru masak berarti menopang perut ratusan santri. Kita mungkin bisa memaklumi laki-laki yang mampu memasak dengan bumbu minimalis sekaligus peserta makan yang minimalis, tapi tidak untuk pesantren. Artinya Kang Tadho mampu menjaga stabilitas rasa meski harus memasak sayuran dalam jumlah besar.

Semua santri, bahkan santri baru pun pasti mengenal Kang Tadho sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut, halus tutur katanya, kebapakan, keibuan dan ia tidak pernah sekalipun marah, apalagi sampai membentak. Setidaknya itulah yang saya ketahui selama lebih kurang 4 tahun bergaul dengannya. Di sisi lain kang Tadho adalah laki-laki yang macho, meski tubuhnya tidak bisa dikatakan kekar.

Namun aktivitas yang sering diasosiasikan sebagai pekerjaan laki-laki juga biasa ia kerjakan, seperti mengecor bangunan, mengangkat barang, bermain voli, sepakbola dan lain sebagainya. Bahkan ketika kerja bakti mengecor Tadho tidak pernah absen, kecuali bilamana urusan dapur tidak ada yang bertugas maka ia mengambil alih.

Bagi sebagian orang, mungkin narasi yang menceritakan Kang Tadho semacam itu sulit untuk dibayangkan. Laki-laki sering digambarkan sebagai pribadi yang kuat, gagah, kasar, tegas dan dilarang merengek. Konstruksi gender semacam itu disosialisasikan oleh sang ibu pada awal perkembangan kejiwaan anak-anak yang kemudian dipaksakan, dilatih, direproduksi dan direplika dalam sosiologi seksualitas orang dewasa.

Maskulinitas merupakan bentukan sosial yang berkembang (Chodorow, 1978: 44). Sederhananya, bentuk maskulinitas senyatanya merupakan rekayasa masyarakat patriarki, bukan kodrat laki-laki. Maskulinitas mengatur bagaimana laki-laki harus berperilaku, berpakaian, berpenampilan serta bagaimana harus bersikap.

Ada sekian imagi laki-laki yang dapat ditemui di masyarakat yang dapat menjadi rujukan identitas gendernya. Namun demikian Imagi tersebut tidak selamanya berupa kekuatan, keperkasaan, kejantanan dan kerasionalan. Bisa jadi imagi tersebut berupa kasih sayang, sikap lemah lembut, keakraban atau bahkan keibukan.

Kisah Kang Tadho adalah imagi laki-laki yang digambarkan berbeda dengan selama ini dipahami oleh kebanyakan orang. Setting kehidupan Kang Tadho adalah lingkungan pesantren yang seluruh anggotanya laki-laki, kecuali hanya istri kiai dan satu istri ustadz. Sosialisasi yang terjadi di pesantren bukan hal yang aneh, marginal, subversif atau mengandung unsur ketidakwajaran.

Mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi santri memang bukan hal yang aneh, tetapi bersikap maskulin seperti yang tergambar pada diri Kang Tadho hampir sangat sulit ditemukan. Santri anak usia SMP merasa dekat dengan Kang Tadho. Mereka tidak pernah merasa didominasi dan diatur olehnya. Mereka justru merasa diasuh oleh seorang ibu.

Mengapa saya katakan demikian? Sebab mereka merasa diperhatikan, diarahkan, tidak pernah dibentak apalagi dikasari sebagaimana sikap laki-laki pada umumnya. Sebab, di sisi lain Kang Tadho juga menjadi bapak kamar.
Maskulinitas Kang Tadho merupakan bentuk “maskulinitas ideal” yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Ia mengambil peran yang selama ini dilakukan oleh perempuan. Ia memiliki sikap dan karakter ideal sebagai seorang lelaki yang lemah lembut, penuh perhatian namun bukan seorang banci atau waria. Ia juga tidak bisa digambarkan sebagai prototipe “maskulinitas alternatif” yang dirujukkan pada komunitas homoseksual. Ia sendiri merasa risih bilamana tindakannya disamakan dengan perempuan.

Baginya apa yang dilakukan ialah kewajaran yang dimiliki seseorang, tidak terbatas pada laki-laki atau perempuan. Saya pernah bertanya langsung padanya tentang ketertarikannya pada lawan jenis, dan ia menjawab dengan tegas “Ya jelas lah kang, iseh demen karo wong wedok” (Tentu Kang, saya masih tertarik dengan perempuan).

Maskulinitas Kang Tadho merupakan antitesa maskulinitas yang menghegemoni dalam tatanan gender global. Yakni bentuk kekuasaan laki-laki yang mendominasi dan mengontrol pasar, meminjam istilah Michael S. Kimmel dengan sebutan marketplace masculinity.

Bentuk maskulinitas semacam ini dicirikan dengan sifat agresif, persaingan dan kecemasan (Bandel, 2016: 98). Laki-laki yang dibentuk berdasarkan norma semacam ini akan memiliki ekspektasi terus menerus bersaing dan berusaha mengungguli baik lali-laki maupun perempuan.

Kang Tadho jelas-jelas berada pada posisi yang berseberanan. Ia tidak pernah bersikap agresif, mendominasi apalagi merasa orang lain merupakan ancaman terhadap eksistensinya. Ia menikmati yang yang selama ini dikerjakan. Baginya laki-laki pada dasarnya adalah satu kesatuan yang diciptakan oleh Allah, saling melengkapi satu sama lain.

Bahan bacaan:

  • Chodorow, N.J., 1978, The Reproduction of Mothering:Pyscoanalysis and the Sociology of Gender, London: University of California Press.
  • Bandel, K., 2016, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

About Abdurrohman Azzuhdi

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *