Kapan Nikah? dan Hasrat Ingin Tahu

Di pertengahan dekade tahun 2000, ada sebuah iklan yang cerdas sekali mengantisipasi pertanyaan fenomenal ini. Adegannya begini.. “Kapan kawin?”, “Eeeh, kapan kawin?”..”Kamu kapan kawin?”.. “Kapan?”.. “Kapan?”.. Kapan?”… Dijawab santai, “May (ditafsir sebagai bulan Mei-ed)..” dan diteruskan dengan, “May..be.. YES!”..”May..be.. NO!”. Memang begitu lah sebaiknya “ketegasan” yang diperlukan.

Pertanyaan Vouyeristik

Sebetulnya, entah kapan persis pertanyaan, “Kapan Nikah?” menjadi begitu populer? Jawabannya bisa dideteksi dari dua hal: kepada mereka baik laik-laki atau perempuan yang dianggap mulai beranjak dewasa dan seperti biasa, hasil terjangan isu di media sosial kekinian. Pertanyaan ini menarik karena pertanyaan ini sudah bukan lagi menjadi pertanyaan yang begitu sakral namun berubah menjadi pertanyaan yang bersifat vouyeristik. Tak jarang, menjadi pertanyaan “guyonan”.
Meski demikian, pertanyaan ini sudah dirasa sungguh meresahkan oleh sebagian kalangan. Entah gejala psikologi sosial seperti apa yang membuat individu begitu mudahnya mengucapkan pernikahan sebagai isu bahkan hingga sanggup memikirkannya secara terus-menerus dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Entah karena kekurangan bahan pembicaraan yang lebih bermutu atau memang mulai menikmati kesadisan dan kemasokisan terselubung secara verbalistik. Entahlah..
Yang pasti pembicaraan mengenai sebuah pertanyaan, “Kapan Nikah?” merupakan suatu substansi yang perlu kita kritisi habis-habisan. Terutama, kepada mereka yang sebegitu menikmatinya: mereka yang bertanya dan yang menanggapi pertanyaan itu.
Namun, tulisan ini kiranya terlepas dari kedua kelompok tersebut. Tulisan ini justru mengkritik secara sosiologis, baik isu yang diangkat maupun arah pembicaraan yang memang sudah “terlanjur” dibicarakan itu.
Saya ingin berkunjung ke alam pikiran mereka yang mempertanyakan “Kapan Nikah?”. Setahu saya, bahwa persoalan pernikahan merupakan persoalan di balik layar drama percintaan yang sifatnya sangatlah personal, sakral dan tak perlu diumbar-umbar. Karena, seperti strategi perang, ia harus dirahasiakan sampai benar-benar mencapai satu keputusan final. Pertimbangan etis bahwa akan sangat memalukan apabila ternyata strategi perang itu sampai bocor ke tangan publik. Belum lagi kalau sampai misi strategi itu gagal. Maka, pertimbangan etis itu menjadi sangat logis dan sangat perlu dipertimbangkan.
Anehnya, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Percakapan pernikahan dan sejenisnya justru menjadi isu yang narsistik. Pada satu titik, selain vouyeristik, pertanyaan itu pada akhirnya akan berujung pada perdebatan anarkistik dan nir-logika. Saya akan membahasnya pada bagian lain.
Kembali kepada sang penanya. Bagaimana kita dapat memergoki hasrat vouyerism mereka dalam pertanyaan ini? Selain menjadi isu yang sangat rahasia, aktor yang sangat memiliki otoritas selain dua orang yang berniat menikah adalah orang tua mereka sendiri, atau anggaplah wali. Maka jelaslah, siapapun orang yang berada di luar itu tidak masuk hitungan.
Cara mendefinisikan “orang terdekat” juga perlu diwaspadai. Betapapun sehidup-sematinya seorang “Sahabat”, “Kerabat”,”Teman”, ia perlu dijauhkan dari misi personal ini. Bolehlah kita anggap mereka sebagai publik saja. Maka, tidak perlu ada informasi keluar-masuk sebagai bentuk “pertimbangan-pertimbangan”. Tidak perlu menjawab bila memang belum ada jawaban dan tidak perlu membicarakan masalah ini terlampau jauh.
Mengakhiri secepat mungkin isu pernikahan bukan untuk lari dari suatu kenyataan, toh, di balik dapur keluarga, isu ini terus digodok. Ini merupakan satu alternatif untuk menghindari adanya kemungkinan beragam bentuk intervensi nilai baik secara langsung atau tak langsung. Tak lupa, sembari memberikan simbol kepadanya bahwa ada ruang privat yang tak mungkin dibicarakan lebih lanjut.
Lagipula –ini pertanyaan menggelitik bagi saya- untuk apa kita repot-repot mempertanyakan rahasia dapur pribadi seseorang? Percintaan pula yang terkadang picisan. Mungkin saya lebih menggebu-gebu mempertanyakan hal yang lebih bersifat substantif, akademik dan empirik.

Hasrat versus Realitas dan Tuntutan

Saya ingin memulainya dengan perumpamaan yang saya suka. Kira-kira, apa yang akan Anda lakukan ketika seorang anak setingkat SD atau SMP ditanya soal teknik membuat desain grafis animasi dalam format 3D? Yang pasti, seyakin-yakinnya saya, bahwa yang akan Anda lakukan adalah menahan bahkan menghentikan pertanyaan tersebut. Mengapa? Jelas, anak SD maupun SMP belum memiliki basic dua hal: cara menggambar di atas kertas yang profesional dan cara pengoperasian aplikasi 3D yang juga profesional. Saya tidak mengatakan bahwa anak SD atau SMP tidak mengetahui apa itu desain grafis 3D, saya hanya meragukan bahwa mereka jelas belum memiliki kedua skill itu secara professional. Pun ada, bisa dihitung jari.
Lantas, apa yang ingin saya sampaikan? Segala pertanyaan, pernyataan yang tidak sesuai dengan realitas dan juga segala tuntutannya akan menjadi pembicaraan mubazir dan menghabiskan waktu percuma. Begitu pula dengan isu pernikahan.
Seperti yang sudah saya utarakan di atas, bahwa pada akhirnya, pembicaraan yang dimulai dengan pertanyaan, “Kapan Nikah?” yang narsistik hanya akan menjadi pembicaraan yang anarkistik, nir-logika. Saya tambahkan satu lagi: moralis. Saya akan tunjukkan perlahan.
Baik si penanya maupun yang ditanya, keduanya akan mencoba untuk memperhatikan posisi status sosial dan jarak sosial di antara keduanya. Terlebih, pembicaraan itu akan sangat cair ketika kedua aktor itu terlibat dalam satu forum atau satu kelompok peer-group. Semakin setara dan homogen status sosial mereka, maka tingkat anarkistiknya akan jauh lebih meningkat.
Hal ini bisa diuji di lapangan karena siapapun yang berada dalam kondisi setara akan berusaha untuk tidak saling memberikan justifikasi nilai secara berlebih kepada lawan debatnya. Semua yang terlibat dalam perdebatan,”Kapan Nikah?” akan mencoba memberikan argumentasi “normal”, agar kesan saling menggurui itu tidak kentara. Inilah sebab mengapa saya memberikan saran agar tidak terlalu banyak menanggapi maupun mengumbar pertanyaan semacam ini kepada orang lain. Pertanyaannya, kalau begitu, kapan percakapan anarkistik yang basa-basi ini akan berakhir?
Selain menjadi percakapan anarkis, juga akan mencapai percakapan nir-logika sekaligus moralis, karena dalil yang akan diberikan adalah dalil-dalil agamis. “Menikah demi…”, “Menikah agar…”, “Menikah supaya…”. Terlebih, yang paling moralis adalah terminologis agama, “halal”. Khusus yang ini saya tidak mau perpanjang pembahasan.
Pandangan saya pribadi, menikah hanyalah satu dari seribu satu ragam aktualisasi pengembangan cinta yang paripurna. Tidak lebih tidak kurang. Tidak demi ini dan demi itu.
Bagaimanapun, pada akhirnya, suatu yang hal yang sangat memilukan ketika kita menjebak diri tenggelam semalam suntuk dengan isu pernikahan dan pertanyaan vouyeristik adalah ketika kita sendiri tidak mampu mengatasi benturan antara hasrat-hasrat pribadi dengan realitasnya.
Benar-benar tidak ada gunanya membicarakan isu pernikahan ketika tidak dibarengi dengan realitas dan juga pemenuhan tuntutan-tuntutan riil. Setidaknya, secara lebih halus ingin saya katakan bahwa, isu pernikahan dengan segala buaian harapannya akan menjadi runtuh luluh lantah seketika ketika Anda tidak mampu mengatasi persoalan mendasar untuk mencapai kata menikah.
Membicarakan pernikahan, tetapi uang belum cukup. Membicarakan pernikahan, tetapi belum punya pasangan. Membicarakan pernikahan, tetapi masih belum bekerja, belum lulus kuliah, tidak berpendidikan tinggi atau tidak berpendidikan sama sekali (dan ini sering menjadi gunjingan). Kira-kira seperti itu.
Pun, jikalau ini pertanyaan dan pernyataan dibicarakan dalam koridor isu keagamaan, tidak kah aneh bila kita terus mempertanyakan sesuatu yang belum tahu pasti kapan datangnya?
Cobalah Anda tanyakan pada seorang akademisi setingkat professor, “Prof, kira-kira, kapan Anda akan membuat sebuah buku baru? Saya tidak sabar ingin membacanya”. Sejenius apapun professor tersebut, bila ia sadar akan kapasitasnya sebagai manusia, maka ia akan menjawab,

“Saya tidak tahu pasti..”

Persis ketika Engels bertanya berkali-kali, juga bersusah payah kepada Karl Marx yang termahsyur itu untuk menyelesaikan bukunya yang nantinya juga ikut termahsyur, Das Kapital.

“Nanti dulu…” jawab Marx. Begitu seterusnya.

Toh, pada akhirnya diterbitkan juga. Lalu… Setelah menikah, apa lagi?
Pertanyaan baru lagi…
Be Less Curious About People and More Curious About Ideas” -Marie Curie-
Terima kasih telah membaca.

About Muhammad Luthfi Ersa Fadillah

Seorang Guru Sosiologi di salah satu SMA di Jakarta Selatan yang lebih senang belajar daripada mengajar. Sarjana lulusan Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Pencinta Sosiologi, Sejarah dan Filsafat. Aktif menulis gagasan atau ide di blog pribadi: penyusundiksi.blogspot.com dan dapat dihubungi melalui email: luthfisosio@gmail.com

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

One comment

  1. terima kasih ulasannya. menarik . ditunggu ulasan menarik lainnya lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *