Ketika Laki-Laki tak Mengenal Kata Peduli

Siang itu saya dalam perjalanan menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk sebuah pertemuan. Karena tidak ada pesawat langsung dari Yogyakarta ke Kupang, saya harus singgah di Surabaya. Tulisan ini untuk merefleksikan sebuah peristiwa kecil yang terjadi di pesawat yang saya tumpangi dari Surabaya ke Kupang.
Saat itu saya sudah memasuki pesawat, dan ada sedikit masalah karena kursi saya ditempati orang lain. Saya terpaksa duduk sementara di kursi 3D, kursi bagian belakang dari kursi di mana seharusnya saya duduk 2D. Ketika saya duduk di kursi 3D, pemilik kursi 3D melapor pada pramugari bahwa ada double seat atau kursi ganda, sehingga boarding pass saya diminta dan saya menunjukkan bahwa saya seharusnya duduk di 2D dan artinya tidak ada double seat. Pramugari meminta boarding pass kepada tiga laki-laki yang duduk di barisan 2DEF tersebut. Anehnya, ada seorang laki-laki yang seharusnya duduk di di kursi 3A duduk di barisan tersebut dan lebih aneh lagi ketika dia tidak mau pindah ke kursi di mana seharusnya dia duduk. Bahkan setelah dijelaskan bahwa seharusnya saya yang duduk di kursi tersebut. Dia tetap kukuh duduk di kursi tersebut. Saya enggan berdebat sekedar masalah kursi di pesawat, namun saya mencari tahu mengapa laki-laki tersebut enggan duduk di kursinya.
Usut punya usut di kursi 3B duduk seorang laki-laki renta, dalam kondisi tidak sehat, dan sudah mengalami gangguan pendengaran. Dalam ketentuan penerbangan, penumpang yang menggunakan kursi roda dan memerlukan bantuan harus duduk di kursi bagian tengah dan dua penumpang di sisi kanan dan kiri diminta memberikan bantuan jika terjadi situasi darurat.
Setelah mengetahui duduk persoalannya, saya merasa lega karena bukan double seat tapi hanya persoalan keengganan seseorang untuk duduk di kursi di mana seharusnya ia duduk. So, bukan persoalan serius dan saya sangat tidak keberatan duduk di sebelah opa tersebut.  Selama perjalanan ke Kupang, ada beberapa pertanyaan yang terus memaksa saya untuk mencari jawabannya. Pertama, mengapa laki-laki itu tetap pada pendiriannya duduk di kursi yang bukan kursinya? Kedua, mengapa laki-laki tinggi besar dan gagah itu tidak berkenan duduk di sebelah opa-opa renta yang sedang sakit dan mengalami gangguan pendengaran?
Pergulatan saya dengan kajian kritis tentang laki-laki dan maskulinitas mengarahkan saya untuk menggunakan perspektif saya untuk melihat peristiwa kecil yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai persoalan biasa. Pembacaan saya mengantarkan saya kepada beberapa catatan: pertama, pilihan laki-laki tinggi besar dan gagah itu untuk bertahan duduk di kursi yang bukan kursinya terasa sangat khas laki-laki. Peristiwa tersebut mengingatkan saya kepada sebutan bad boyBad boy sering dipakai untuk menyebut laki-laki yang bengal, break the rule atau sering menabrak aturan. Meskipun bad boy dalam bahasa Indonesia berarti anak laki-laki bengal, namun sebutan bad boy jauh dari arti literalnya, bahkan sebaliknya bad boy diam-diam justru berkonotasi memberi nilai. Buktinya, bad boy seringkali menjadi idaman perempuan, cowok sedikit bengal ada yang melihatnya seksi. Jadi bad boy atau melawan aturan ada kaitannya dengan persoalan keberanian, dan lazimnya, pemberani adalah kualitas yang diberi nilai dalam jagad kelelakian. Jadi saya membayangkan laki-laki tinggi besar dan gagah itu sedang ingin menjadi bad boy siang itu.
Kedua, laki-laki di pesawat itu juga sedang exercising (mempraktekkan) kekuasaan yang dimiliki, baik relasinya dengan pramugari maupun dengan saya. Pembaca pasti sudah dapat menebak bahwa pramugari itu tak berkutik berhadapan dengan laki-laki itu, beberapa kali ia memintanya kembali ke tempat duduknya namun sepertinya tidak mengubah keadaan meskipun pramugari itu meminta dengan sangat sopan dan halus. Cara itu tidak mampu  meruntuhkan hasrat berkuasa laki-laki itu. Yang kedua, dia sedang memainkan kekuasaannya kepada diri saya.  Memenangkan perselisihan kursi menjadi tujuan laki-laki tersebut meskipun harus dilakukannya dengan melabrak aturan. Dan sebagai laki-laki dia memahami  apa yang dia lakukan adalah lumrah ketika ia menginginkannya tanpa peduli terhadap konsekuensi dari perilakunya terhadap orang lain. Menjadi benar bahwa konsep maskulinitas hegemonik membuat laki-laki menjadi selfish, egois,dan  mau menang sendiri.
Ketiga, membantu opa-opa yang membutuhkan bantuan dalam perjalanan di pasawat tidak masuk dalam kamus laki-laki tinggi besar dan gagah itu. Jika menilik pada postur tubuh maka laki-laki  itu tak diragukan bahwa dia dapat melakukan yang terbaik bagi opa-opa itu namun laki-laki itu tidak melakukannya. Saya bertanya dalam hati, adakah kaitan sikap laki-laki tersebut dengan norma maskulinitas?  Pembacaan saya menyebutkan ada kaitannya. Dengan duduk di samping opa-opa yang renta dan sedang sakit tersebut berarti harus siap membantu lebih-lebih ada ketentuan dalam penerbangan bahwa orang di sebelah kanan dan kiri penumpang dengan kursi roda dituntut untuk dapat membantu dalam situasi darurat. Membantu opa-opa dalam pesawat tersebut terkait dengan tindakan perawatan klehidupan. Merawat lebih dekat dengan konsep femininitas ketimbang maskulinitas.  Maka keengganan laki-laki di pesawat tersebut untuk duduk disebelah opa terkait dengan apa yang dia yakini tentang menjadi laki-laki. Merawat orang yang sedang sakit, merawat orang tua bukan tanggungjawab laki-laki. Jangankan orang lain, orang tua sendiripun kerap kali laki-laki melimpahkan beban perawatan kepada saudara perempuan mereka.
Pikiran saya berkecamuk ini kemudian terhenti ketika pramugari mengabarkan bahwa dalam beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara El-Tari Kupang, dan saya baru sadar bahwa opa di samping saya tidak pernah meminta bantuan apapun dari saya. Yang saya ingat dia hanya berkata, “Pendengaran saya sudah tidak jelas,” pada saat saya akan duduk. Sesudahnya dia tidur selama penerbangan dan saya mengakhiri kebersamaan dengan opa dengan mengatakan, “Sudah sampai Kupang, Opa.” Meskipun saya tidak yakin apakah dia mendengar ucapan saya atau tidak.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *