Laki-laki Sebagai Aliansi Keadilan Gender

Mengenang Veven SP Wardana

“Karena peminggiran kelas sosial-perempuan itu adalah kesalahan sejarah bersama, maka pemerdekaan atasnya merupakan persoalan semesta” (Veven Wardana).

Jumat, 17 Mei 2013, saya mendapatkan kabar yang cukup mengagetkan, Veven Wardana tutup usia. Meskipun beberapa waktu sebelumnya saya mendapatkan kabar tentang sakitnya, tak urung kabar berpulangnya Veven Wardana tetap saja membuat saya kaget. Berita itu mengingatkan pertemuan saya dengan Veven (begitu dia dipanggil) yang tidak begitu inten beberapa tahun lalu di Yogyakarta ketika Veven melakukan sebuah kajian tentang hukum perkawinan di Indonesia. Setelah pertemuan itu, sayapun menjadi mengenal Beliau lewat statusnya di sosial media, saat diwawancarai televisi dan media lainnya termasuk tulisannya di penghujung tahun 2000 dalam kompilasi buku Feminis Laki-Laki: Solusi atau persoalan? Yang disunting Nur Iman Subono dan diterbitkan oleh Jurnal Perempuan. Buku itu menjadi pionir kazanah tentang laki-laki dalam feminism sekaligus menjadi pijakan ideologis gerakan laki-laki pro feminis di Indonesia saat ini.
Penggalan kalimat diawal saya kutip dari tulisan Veven Wardana dalam kompilasi buku tersebut dengan judul tulisan “Puanografi dan Media: Yang Bukan Perempuan (Tak) Ambil Bagian”(Wardana, 2010). Kutipan tersebut tepat diujung tulisan dan saya mengutipnya dengan maksud menjadikanya sebagai dasar pijakan tulisan ini sekaligus untuk mengenangnya sebagai salah satu pionir dalam gerakan laki-laki pro feminis di Indonesia.
Kutipan tersebut saya ambil dengan alasan sangat relevan dengan wacana laki-laki dalam feminism yang hingga kini para scholars yang memiliki minat pada kajian ini sedang membangun landasan theory  untuk dapat menjelaskan posisi laki-laki dalam konteks gerakan untuk kesetaraan dan keadilan gender.
***
Kalimat Veven tersebut di atas menyiratkan ajakan untuk keluar dari semata-mata analisis gender dalam melihat persoalan ketidak adilan yang dialami perempuan dan melihatnya sebagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan sosial lainnya. Kelas di antaranya yang secara gamblang dia sebutkan. Dengan meletakkan persoalan ketikdakadilan gender berkelit dan berkelindan dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya memungkinkan untuk melihat dimensi struktural dari persoalan keterpurukan perempuan karenanya persoalan penderitaan perempuan bukan semata-semata persoalan personal tapi struktural sekaligus.
Kerangka analisis interseksionalitas dalam melihat ketidakadilan yang dialami perempuan memungkinkan pertemuan perempuan sebagai kelompok tertindas dengan kelompok tertindas lainnya seperti trans gender, lesbian, gay, buruh, difabel, anak dan minoritas lainya. Dengan begitu menjadikan gerakan perempuan sebagai gerakan yang inklusif (terbuka) bergandengtangan dengan gerakan keadilan sosial lainnya. Selain itu, analisis interseksionalitas juga membuat gamblang bahwa laki-laki dalam posisi tertentu dalam hirarkhi sosial juga mengalami ketertindasan dari laki-laki lain. Dengan membuka peluang keterkaitan ketidakadilan yang dialami perempuan dan ketidakadilan yang dialami laki-laki karena determinan sosial lainnya (kelas, seksualitas,usia, dan difabilitas) akan memberikan argumentasi yang kuat bahwa laki-laki sudah sepatutnya terlibat memperjuangkan keadilan untuk perempuan karena memperjuangkan keadilan untuk perempuan menjadi bagian dari perjuang untuk keadilan mereka sendiri.
Oleh karenanya, menjadi cukup beralasan senyalemen Veven bahwa perjuangan untuk keadilan perempuan bukan semata menjadi kepentingan perempuan akan tetapi menjadi kepentingan laki-laki juga. Atas dasar inilah Veven tidak ragu untuk menceburkan dirinya dalam kancah perjuangan untuk keadilan perempuan melalui keahlian yang dimiliki sebagai sastrawan, pengamat media dan tentu saja sebagai aktivis.
***
Dimensi penting lainnya dari kutipan pernyataan Veven Wardana di awal tulisan ini adalah perbincangan tentang laki-laki sebagai alliansi untuk memperjuangkan keadilan sosial bagi perempuan. Sejauh ini teori tentang laki-laki sebagai aliansi perempuan belum terbangun seperti teori tentang kelompok dominan menjadi aliansi kelompok yang tertindas dalam arena keadilan sosial lainnya seperti perjuangan anti rasisme (Casey and Smith, 2010). Karenanya Tulisan Veven menyiratkan adanya wilayah yang perlu di perbincangkan untuk dapat membangun teori tentang laki-laki sebagai aliansi perempuan untuk memperjuangkan keadilan.
Aliansi dalam tulisan ini dapat dimaknai orang atau sekelompok orang dari kelompok dominan atau mayoritas yang terlibat aktif dalam upaya untuk menghapus penindasan yang dialami oleh orang atau sekelompok orang dari golongan marginal atau minoritas (Fabiano et al., 2003). Dengan pengertian ini maka konsep aliansi sangat relevan untuk menjelaskan tentang keterlibatan laki-laki dalam aktivisme untuk kesetaraan dan keadilan gender karena laki-laki dalam konteks Indonesia adalah kelompok dominan yang memperoleh keistimewaan dan kekuasaan secara gratis dari kultur patriarkhi sementara perempuan serba tidak diuntungkan.
Ketika membincang laki-laki sebagai aliansi untuk keadilan sosial bagi perempuan, sejatinya Veven juga sedang mengusung tema tentang politik maskulinitas (masculiny politics) yakni response terorganisir laki-laki terhadap perubahan relasi gender sebagai akibat dari gerakan perempuan atau feminism (Messner, 1997). Tentu saja yang menjadi minat Veven adalah gerakan laki-laki yang pro terhadap nilai-nilai feminis dan bukan sebaliknya yang berseberangan terhadap feminisme karena seperti dipaparkan Messner (1997) bahwa tidak ada response tunggal laki-laki terhadap feminisme namun sangat beragam dari yang pro feminis sampai yang anti feminis.
Terkait dengan maskulinitas politik ini, Veven tidak hanya berhenti pada tataran pengetahuan akan tetapi Ia mempraktikan maskulinitas politik itu pada saat Ia terlibat dalam Deklarasi CANTIK (Cowok-Cowok Anti Kekerasan) bersama aktivis lainnya seperti Ivan A. Hadar, Rocky Gerung, Nur Iman Subono, Wahyu Susilo dan lainnya di penghujung tahun 2000. Deklarasi itu menandai munculnya laki-laki yang terlibat aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi embrio gerakan laki-laki pro feminism di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya.
Namun yang luput dari pengamatan Veven adalah isu delima yang menyertai keterlibatan laki-laki dalam gerakan feminisme yang belakangan menjadi perbincangan di kalangan scholars dan kelompok feminis. Bob Pease dan Michael Flood di antara dua akademisi Laki-Laki pro feminis yang konsisten memberikan perspektif kritis tentang kehadiran laki-laki dalam gerakan feminisme. Pease misalnya menyingkap resiko dan dillema keterlibatan laki-laki dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sebagian besar perhatian Pease ini juga menjadi perhatian kelompok feminis yang meliputi tiga isu krusial, pertama, isu resiko tentang dominasi baru laki-laki dalam gerakan perempuan. Kedua, pengambilan alihan sumber daya untuk program-program pemberdayaan perempuan yang memang sudah sangat terbatas untuk program-program laki-laki. Ketiga, kemungkinan terjadinya kolusi di antara laki-laki untuk mempertahan kekuasaan atas perempuan (Pease, 2008).
Meskipun generasi Veven belum memberikan perhatian kepada beberapa isu krusial tersebut namun generasi berikutnya yang lahir dari kecamuk isu tersebut secara serius bergulat untuk menentukan posisi laki-laki dalam konteks feminisme serta melakukan experimentasi implementasi nilai-nilai feminisme dalam praktek organisasi. Hal ini tercermin dari pergulatan Aliansi Laki-Laki Baru dalam menentukan posisi dalam gerakan perempuan serta dalam membangun organisasi serta merumuskan strategi dan agenda untuk pencapaian keadilan gender di Indonesia.
Referensi

  1. CASEY, E. & SMITH, T. 2010. “How Can I Not?”: Men’s Pathways to Involvement in Anti-Violence Against Women Work. Violence Against Women, 16, 953-973.
  2. FABIANO, P. M., PERKINS, H. W., BERKOWITZ, A., LINKENBACH, J. & STARK, C. 2003. Engaging Men as Social Justice Allies in Ending Violence Against Women: Evidence for a Social Norms Approach. Journal of American College Health, 52, 105-12.
  3. MESSNER, M. A. 1997. Politics of Masculinities Men in Movement, California, Sage Publication.
  4. PEASE, B. 2008. Engaging Men in Men’s Violence Prevention:Exploring the Tensions, Dilemmas and Possibilities. Australian Domestic & Family Violence Clearinghouse.
  5. WARDANA, V. 2010. Pornografi dan Media: Yang Bukan Perempuan (Tak) Ambil Bagian. In: SUBONO, N. I. (ed.) Feminis Laki-Laki: Solusi atau Persoalan? Jakarta: Jurnal Perempuan.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *