Masihkah Yogyakarta Istimewa Untuk Perempuan?

Dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia, kota Yogyakarta menjadi tempat istimewa karena kota itu menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa penting perjuangan perempuan dalam melawan ketidakadilan berbasis jenis kelamin.
Yogyakarta menjadi tempat berkumpulnya perempuan Indonesia untuk kali pertama dalam sejarah gerakan perempuan ketika perempuan dari berbagai belahan nusantara berkongres pada tahun 1928. Kongres ini menjadi forum perempuan pergerakan kemerdekaan untuk membincang isu-isu krusial yang hingga saat ini masih memiliki relevansi yang begitu kuat seperti isu kawin paksa, poligami, perkosaan, dan bahkan isu perdagangan perempuan dan anak. Kongres inilah yang menjadi pijakan penetapan hari ibu yang bagi sebagian perempuan Indonesia diperingati sebagai hari perempuan.
Yogyakarta menjadi tempat lahirnya lembaga swadaya perempuan pertama pada era otoritarian ordebaru yakni Yayasan Anisa Swasti yang berdiri pada tahun 1982. Yayasan ini memiliki kepedulian dan melakukan upaya-upaya pemberdayaan terhadap buruh perempuan. Mendirikan lembaga swadaya perempuan seperti Yayasan Anisa Swasti kemudian menjadi strategi baru aktifis perempuan di Indonesia untuk bergerilya memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar perempuan dalam proses-proses pembangunan sekaligus menjadi cara menyiasati rezim otoritarian yang membatasi dan bahkan memberikan stigma kepada gerakan perempuan.
Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya pusat krisis untuk perempuan atau women’s crisis center pertama di Indonesia yakni Rifka Annisa. Pusat krisis untuk perempuan yang lahir pada tahun 1993 ini memberikan pendampingan langsung kepada perempuan korban kekerasan berbasis gender dengan menyediakan layanan konseling dan pendampingan hukum. Pusat krisis untuk perempuan ini menjadi pemecah kebisuan akan kekerasant erhadap perempuan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga yang semula dianggap tabu dan privat sekaligus mengilhami lahirnya pusat-pusat krisis perempuan lainnya di Indonesia.
Paska reformasi, kota Yogyakarta juga dipilih oleh aktivis perempuan Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk melakukan konsolidasi politik dengan menyelenggarakan kongres pertama yang berlangsung di penghujung tahun1998. Kongres yang dihadiri oleh 500 perempuan dari 25 propinsi termasuk Timor Leste ini menghasilkan dokumen-dokumen penting bagi gerakan perempuan diIndonesia pada awal era reformasi.
Beberapa fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang benar-benar istimewa bagi perempuan Indonesia karenanya Yogyakarta telah menjadi simbol gerakan politik perempuan untuk melawan dan membebaskan perempuan Indonesia dari penindasan dan diskriminasi.
Namun sepertinya keistimewaan Yogyakarta bagi perempuan Indonesia itu kini mulai memudar semenjak munculnya Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (PERDAIS) Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Kewenangan dalam Urusan Keistimewaan DaerahIstimewa Yogyakarta. Rancangan PERDAIS ini disinyalir oleh banyak pihak memuat ketentuan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Sebagaimana tertuang dalam Rancangan PERDAIS Bab II tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, pasal 7 poin menyebutkan bahwa syarat calon gubernur dan wakil gubernur “menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, isteri, dan anak.” Pasal ini mengandaikan bahwa calon gubernur atau wakil gubernur adalah laki-laki karenanya dinilai berpotensi menghalangi perempuan untuk dapat menjabat gubernur dan wakil gubernur.
Meskipun berbagai pihak seperti Sultan Hamengku Buwono X yang sekaligus sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menyangkal untuk menyebut PERDAIS tersebut mendiskriminasikan perempuan, namun ketentuan pasal tentang persyaratan gubernur dan wakil gubernur sangat gamblang bersifat diskriminatif.
Ketentuan pasal tentang persyaratan bagi calon gubernur dan wakil gubernur itu tidak dapat dianggap sepele misalnya dengan menganggapnya hanya salah satu di antara banyak syarat yang dapat diabaikan atau syarat tersebut tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan perempuan sehingga bukan kesengajaan akan tetapi sebaliknya pasal tersebut sangat penting dan menunjukkan bahwa tendensi diskriminasi terhadap perempuanadalah sistematis karena kesadaran patriarkhis pada para pengambil kebijakan,baik di eksekutif maupun di legislatif,mewujud dalam bentuk peraturan perundangan. Menganggap sepele (minimizing) dan pengingkaran (denial) terhadap kebijakan diskriminatif adalah bentuk sikap menghalangi pencapaiankeadilan dan karenanya menjadi bagian dari proses pelanggengan diskriminasi dan penindasan.
Jika Rancangan PERDAIS tersebut disahkan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maka Pemda dan DPRD DIY dapat dinilai telah melakukan diskriminasi langsung terhadap perempuan karena kebijakan ini menghalangi secara langsung perempuan di Yogyakarta untuk menikmati hak dasarnya untuk berpartisipasi dalam proses-proses politik. Padahal hak untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif ini telah dijamin dalam konstitusi pasal 28 I ayat 2 yang berbunyi “Setiap orangberhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Jika PERDAIS itu dianggap sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur bahwa syarat Gubernur dan Wakil Gubernur adalah bertahta sebagai Sultan Hamengkubowono danbertahta sebagai Adipati Paku Alam namun terlihat jelas bahwa Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman dimaknai secara bias dengan menjadikan tahta kasultanan dan pakualaman sebagi hak ekslusif laki-laki keturunan kraton dan pakualaman. Dengan demikian UU No.13 tahun 2012 sebenarnya adalah kondisi yang menghalangi perempuan untuk menempati posisi strategis dalam sistem politik di DIY.
Situasi ini dapat berubah jika Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan kekuasaannya memiliki kemauan politik untuk melakukan reformasi tradisi kraton Yogyakarta yang tidak hanya memberi privilese (keistimewaan) kepada laki-laki tetapi juga memberi ruang kepada perempuan untuk menjadi Sultan dan Adipati Paku Alam sehingga jabatan gubernur dan wakil gubernur dimungkinkan diisi oleh perempuan dan laki-laki secara setara. Semoga poin lima dari delapan Sabda Tama yang disampaikan Sultan Hamengkubuwono X pada tangal 6 Maret 2015 lalu yang menyebutkan bahwa “siapa pun orang yang disebut keturunan Keraton, baik laki-laki maupun perempuan, belum tentu dianugerahi kedudukan kecuali ia memang telah dinyatakan berhak menjadi raja” memberikan indikasi tidak adanya prefensi Sultan terhadap jenis kelamin tertentu sebagai penggantinya akan tetapi memberikan peluang yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Dan jika hal ini terjadi maka Sultan Hamengkubowono X tidak hanya melakukan hal besar dalam seajarah kraton Yogyakarta dengan melakukan reformasi tradisi peralihan kepemipinan kraton akan tetapi Sultan juga berjasa dalam membuat kraton Yogyakarta tetap relevan dengan konteks kekinian sekaligus akan membuat propinsi Yogyakarta tetap istimewa untuk perempuan dan laki-laki secara setara.
Salam.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *