Iraqi fighters from the Saraya al-Salam (Peace Brigades), a group formed by Iraqi Shiite Muslim cleric Moqtada al-Sadr, wave their weapons as they leave the holy city of Najaf in a convoy with Iraqi government forces to head to the northern Iraqi city of Tikrit to continue the offensive against Islamic State (IS) group jihadists to retake to city on March 20, 2015. The offensive to push back IS militants from Tikrit began on March 2, and Iraqi forces have only recently reached the city limits where they have been stalled by bombs and entrenched fighters. AFP PHOTO / HAIDAR HAMDANI (Photo credit should read HAIDAR HAMDANI/AFP/Getty Images)

Maskulinisme dalam Kredo Jihad

Kita tidak henti-hentinya berhadapan dengan persoalan kekerasan yang mengklaim dirinya sebagai kekuatan agama, Islam khususnya. Terorisme terutama dan berbagai aksi kekerasan sipil yang diorganisir oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Dalam perdebatan kita memikirkan akar-akar dari persoalan ini, terdapat aspek yang hilang di berbagai analisis, yaitu gender. Bahwa pelaku utama agresi dan kekerasan atas nama agama adalah laki-laki tetap dipandang netral, seperti juga laki-laki adalah pelaku utama aksi kekerasan lainnya. Maka, sangat penting untuk bertanya “mengapa laki-laki?” dan mendekati isu ini bukan hanya sebagai sebentuk hubungan ilegal antara agama dan kekerasan namun juga sebagai produk yang berbahaya dari diskursus kelaki-lakian tertentu yang dominan.

Salah satu aspek fundamental di dalam mana maskulinisme, diskursus yang saya maksud di atas, mewujudkan diri adalah ideologi jihad, ajaran yang menjadi sentral dalam aksi-aksi agresif berbasis agama. Jihad, seperti halnya ajaran Islam yang lain, bukan ajaran yang netral, terlepas dari ruang sosial politik tertentu di mana masyarakat Islam berada. Ide tentang jihad selalu tersusun oleh nuansa makna yang lebih spesifik serta berfungsi dan dipraktikkan dalam konteks yang lebih relevan bagi: kesadaran sosial-politik umat Islam secara tertentu, kultur yang diterima luas oleh masyarakat Islam dan di atas semua itu, jenis kelamin yang mendominasi ortodoksi agama. Ide tentang jihad bermakna dan berimplikasi secara berbeda bagi laki-laki dan perempuan.

Makna maskulin jihad

Para aktor terorisme dan kekerasan terorganisir lain atas nama agama mengadopsi suatu versi wacana jihad yang secara spesifik bersifat maskulin. Dalam sejarahnya, jihad bertaut erat dengan kategori-kategori kelaki-lakian: peperangan, senjata, dan perebutan kekuasaan, membuatnya nampak lebih sebagai kata kerja maskulin,. Kelompok utama para mujahid adalah laki-laki dewasa. Perempuan dan anak-anak, meski sedikit dari mereka berpeluang menjadi pelaku, jauh dari arena sesungguhnya di mana jihad diwujudkan melalui ambisi kemenangan, kontak senjata dan martyrdom (sahid).

Dalam versinya yang lebih modern, ajaran jihad secara luas bertahan sebagai heroisme ala laki-laki dengan tendensi agresif yang laten. Dalam versi ini, jihad menawarkan wadah religius bagi ekspresi keberanian, kejantanan dan harga diri. Jihad mensyaratkan klaim kebenaran, meski tidak selalu bermuara kepada absolutisme. Nalar maskulin dalam konsep tentang jihad secara mendalam berwatak agresif, yang bahkan terhadap hawa nafsu umat Islam diajarkan untuk “memerangi”. Tendensi agresif yang didorong oleh makna jihad inilah yang membuka pintu bagi aksi kekerasan yang dipayungi oleh klaim kebenaran.

Makna jihad yang kita kenal mencerminkan kebutuhan laki-laki akan counter-ego (yang dalam psikologi gender pada umumnya adalah perempuan) untuk ditaklukkan dalam pergulatan meneguhkan identitasnya yang superior. Selain klaim kebenaran, jihad mensyaratkan objek untuk diatasi, diperangi dan akhirnya ditaklukkan. Kalau dapat dikelompokkan, jihad setidaknya terarah kepada tiga bentuk objek: kaum kafir, perempuan dan, dalam bentuknya yang paling subtil, hawa nafsu.

Namun, ideologi jihad modern mencakup ide tentang musuh ideologis yang secara definitif hadir dan, lebih dari itu, berkuasa. Di sini, ideologi dan kekuasaan kaum kafir nampaknya merupakan objek utama dalam ajaran jihad modern kaum jihadis. Dan di sini, seruan agama untuk mencegah kemungkaran bersenyawa dengan sentimen-sentimen kolektif laki-laki dalam peneguhan identitas politik. Amerika Serikat, Yahudi dan kapitalisme bukan sekedar perwujudan ideologi thoghut kontemporer untuk dilawan, tetapi juga akumulasi kekuasaan dari identitas tandingan, ego tandingan dan, secara lebih spesifik, diskursus maskulin tandingan. Jihad bukan hanya risalah normatif menegakkan agama Allah, tetapi juga aksi historis perebutan kekuasaan yang secara religius absah.

Panggilan jihad bagi kaum jihadis menggumpal menjadi ideologi yang menampilkan agama dalam wajah yang dingin dan tidak ramah. Kebenaran religious dipertahankan dalam identitas politik yang dibagi, di mana jihad menjadi resistensi terhadap ketaklukan dan ketersingkiran politik dan ideologis yang tak teratasi. Ketaqwaan dihidupkan bersama heroisme yang buta. Spiritualitas dan harapan mengering dalam aggresi dan kekerasan yang terorganisir. Mengorganisir perlawanan politik yang melibatkan aksi kekerasan kemudian menjadi tanda keimanan yang lebih ‘advance’ di atas urusan menjalankan ibadah dan beramal shaleh. Keimanan dan kesalehan dilembagakan dalam persaudaraan antara laki-laki sebagai pemain utama. Perempuan ada di barisan jauh di balakang, menjadi identitas subordinat yang diperlukan, sebagai objek dari sistem perkawinan yang menopang konstruksi maskulin yang mapan terselubung.

Untuk memulihkan seruan agama yang lebih humanis, terbuka dan progresif, yang kita butuhkan adalah mempropagandakan wacana jihad yang lebih konstruktif, toleran dan sensitif terhadap perubahan situasi sosial-politik umat Islam. Wacana yang demikian tidak mungkin terpikirkan bersama tendensi politik yang berlebihan, juga tidak dalam perspektif yang hanya bermakna bagi kelompok dan jenis kelamin tertentu penguasa diskursus agama.

About Rachmad Hidayat

PhD candidate at Monash University. He worked with Rifka Annisa in 2009 and 2010.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *