Meninggalkan Kuasa dan Keistimewaan Laki-laki

Minggu lalu, 15 Februari 2015 saya melakukan perjalanan ke salah satu sudut pulau Sumatera, tepatnya di Labuhan Batu Sumatera Utara, sebuah kabupaten yang harus ditempuh selama kurang lebih delapan jam dari kota Medan.  Perjalanan ini merupakan kali pertama saya mengunjungi kabupaten yang memiliki jalur kereta api dari kota Medan ini dan seperti halnya dengan perjalanan saya lainnya, kunjungan pertama selalu menjadi kunjungan yang penuh keingintahuan.
Perjalanan saya kali ini adalah untuk bertemu dengan perempuan-perempuan akar rumput yang berkelompok dan berorganisasi untuk mendapatkan pengakuan sebagai kelompok penting bagi perjalanan dan pembangunan bangsa ini. Untuk dapat memiliki posisi tawar terhadap Negara dalam memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga Negara. Pilihan perempuan akar rumput ini untuk berorganisasi cukup beralasan karena status dan kedudukan perempuan di berbagai sektor di Indonesia seperti, sosial, politik, dan ekonomi masih kerapkali dianggap tidak penting, terdiskriminasi, dan dipinggirkan. Nama kelompok ini adalah Serikat Perempuan Independen Labuhan Batu, salah satu serikat perempuan yang didampingi oleh dan anggota Federasi Hapsari Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Seperti dalam banyak pertemuan yang saya ikuti, saya adalah satu-satunya laki-laki dalam pertemuan itu dan menjadi minoritas dalam konteks ini tidak pernah menjadi persoalan bagi saya. Saya tidak pernah merasa tertekan, saya tidak pernah khawatir suara saya tidak di dengar, saya tidak pernah takut mengalami diskriminasi, saya tidak pernah cemas untuk dilecehkan, direndahkan atau dianggap bodoh. Ya, saya menjadi minoritas secara jumlah sebagai laki-laki diantara perempuan, namun saya menjadi mayoritas dalam hal keistimewaan dan kekuasaan dalam tatanan sosial yang lebih luas.
Perasaan-perasaan itu yang kemudian menyadarkan saya tentang keistimewaan atau perlakuan istimewa yang mungkin tidak di dapat oleh perempuan. Tiba-tiba deretan panjang daftar perlakuan istimewa yang saya terima muncul dalam pikiran saya seperti saya tidak pernah mengalami rasa takut untuk dilecehkan secara seksual di jalanan, saya tidak pernah merasa harus minta izin dengan siapapun untuk bekerja di luar rumah, saya tidak perlu berfikir dengan urusan rumah tangga ketika saya keluar rumah, saya tidak perlu berfikir tentang pakaian yang pantas dan tidak pantas,saya tidak pernah merasa memiliki hambatan akses terhadap pekerjaan, saya juga tidak memiliki hambatan untuk menjadi pemimpin di masyarakat dan seterusnya. Dalam situasi apapun, dari kelas sosial manapun, dari warna kulit apapun, saya sebagai laki-laki akan mendapatkan hadiah gratis tersebut bahkan sejak saat saya teridentifikasi sebagai laki-laki, jauh sebelum saya dilahirkan.
Kalaupun saya diam dalam pertemuan itu bukan karena saya takut bicara, kalaupun saya lebih banyak mendengar bukan karena merasa tidak percaya diri, kalaupun saya tidak berpendapat bukan karena merasa tidak berharga, namun saya sadar betul akan keistimewaan yang saya miliki, saya sadar betul kuasa yang melekat pada diri saya sebagai laki-laki.  Hari itu saya menahan diri untuk menggunakan seluruh perlakuan istimewa dan kuasa tersebut karena jika saya menggunakan maka sudah dipastikan saya akan menjadi orang yang paling banyak bersuara, paling banyak berpendapat, paling banyak mendominasi dan saya dapat memperkirakan akibat yang akan muncul, para perempuan akar rumput tersebut akan banyak diam, kembali menjadi pendengar, lebih-lebih ketika para perempuan itu tahu bahwa saya berasal dari pulau Jawa, tinggal di kotabesar, menenteng laptop, pernah sekolah di perguruan tingi, yang akan semakin meneguhkan kuasa saya dalam relasi dengan perempuan akar rumput yang memenuhi ruangan itu.
Jika hal tersebut terjadi, keberadaan saya dalam ruangan tersebut dapat menghalangi upaya perempuan akar rumput untuk membangun kepercayaan diri, melawan keyakinan bahwa perempuan seharusnya diam, membangun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan dan memiliki hak untuk memperjuangkan kepentingan mereka sebagai warga Negara sebagaimana laki-laki.
Proses pertemuan dengan perempuan akar rumput itu menginspirasi tentang apa yang harus dilakukan laki-laki untuk mewujudkan relasi yang lebih adil dengan perempuan. Jika para perempuan diberdayakan dengan membangun kesadaran akan ketidakadilan yang mereka terima, maka mentransformasi laki-laki harus dimulai dengan menyadarkan mereka tentang kekuasaan dan perlakuan istimewa yang mereka peroleh dari masyarakat.
Mengapa laki-laki perlu menyadari kekuasaan dan keistimewaan yang mereka terima karena salah satu penyebab kelanggengan ketidakadilan gender dan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan karena laki-laki tidak menyadari betapa mereka mendapatkan perlakuan istimewa yang demikian banyak dari masyarakat. Laki-laki berfikir apa yang mereka dapat dari masyarakat sebagai sesuatu yang seharusnya dan bukan sesuatu yang diberikan oleh sebuah sistem sosial yang pada kenyataannya memang lebih berpihak kepada kepentingan laki-laki.
Lebih lanjut, pertemuan saya dengan perempuan-perempuan akar rumput tersebut juga menyadarkan saya bahwa para laki-laki yang mendeklarasikan diri mendukung gerakan kesetaraan dan keadilan gender pun tetap akan mendapatkan kekuasaan dan keistimewaan laki-laki dan mereka tetap akan menikmatinya sampai tatanan sosial yang lebih adil tercipta atau sampai laki-laki itu menanggalkan kekuasaan dan keistimewaannya

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *