Menyoal Pengurangan Jam Kerja Perempuan

Wakil Presiden Yusuf Kalla mengemukakan gagasan yang mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat pada saat menerima kunjungan Persatuan Umat Islam (PUI) di Kantor Wakil Presiden pada tanggal 25 November 2014. Gagasan Wapres tersebut adalah pengurangan jam kerja perempuan dengan alasan untuk memberikan waktu yang cukup kepada perempuan untuk mendidik dan mengasuh anak di rumah. Seperti dilansir oleh berbagai media bahwa gagasan pengurangan jam kerja perempuan tersebut juga berangkat dari keprihatinan wapres akan masa depan generasi bangsa.
Belum lagi gagasan tersebut diformalkan sebagai kebijakan, gagasan yang seirama dengan ide wapres mulai bermunculan seperti dilansir oleh Komnas Perempuan dalam siaran persnya (5/12/2014) yang menyebutkan bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memiliki gagasan untuk mendekatkan tempat kerja perempuan dengan tempat tinggal mereka dengan alasan yang serupa dengan yang dikemukakan oleh wapres.
Sekilas gagasan tersebut tidak mengandung persoalan lebih-lebih ketika gagasan itu dilontarkan oleh figur yang sedang populer saat ini, apalagi dalam beberapa kesempatan gubernur Ahok juga terlibat dalam kampanye perlindungan perempuan. Gagasan pengurangan jam kerja dan upaya mendekatkan tempat kerja perempuan dengan tempat tinggalnya bahkan mungkin dianggap sebagai sebuah kebaikan hati pemerintah dan pengambil kebijakan yang kebetulan laki-laki kepada perempuan. Karenanya berbagai respon yang bernada mendukung gagasan tersebut muncul dari khalayak, di antaranya gagasan tersebut dianggap sebagai bentuk pemulyaan perempuan, pengurangan beban kerja perempuan dan sebagainya.
Namun, jika ditelaah lebih jauh, gagasan pengurangan jam kerja perempuan mengandung dua persoalan mendasar. Pertama, gagasan tersebut didasarkan pada asumsi yang bias gender karena mengandaikan peran pendidikan dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab perempuan dan sebaliknya memberi privilese kepada laki-laki dengan membebaskan mereka dari tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak.
Problem kedua adalah jika gagasan pengurangan jam kerja perempuan dijadikan sebagai kebijakan formal berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif bagi perempuan di antaranya; pertama,  kebijakan tersebut akan menimbulkan perasaan bersalah kepada perempuan karena perempuan akan menganggap tempat kerja adalah tempat yang salah bagi perempuan karena kebijakan tersebut menyiratkan pesan bahwa tempat sejati perempuan adalah di rumah di mana proses pemeliharaan kehidupan (reproduksi) termasuk pendidikan dan pengasuhan anak berlangsung. Lebih lanjut, perempuan juga berpotensi disalahkan dan dianggap paling bertanggungjawab atas setiap persoalan kenakalan dan menurunnya kualitas generasi bangsa.
Konsekuensi negatif kedua, kebijakan tersebut berpotensi melestarikan seterotipe peran gender dan konsep femininitas dan maskulinitas tradisional. Peran mendidik dan mengasuh anak masih dianggap sebagai peran eksklusif perempuan dan menjauhkan pengasuhan anak dari laki-laki.  Pembatasan secara kaku peran perempuan dan laki-laki ini pada giliran melahirkan konsekuensi negatif yang ketiga yakni domestikasi perempuan atau proses pengungkungan perempuan dalam wilayah rumah tangga. Domestikasi perempuan ini ditengarai sebagai akar persoalan penindasan laki-laki  atas perempuan.
Konsekuensi negatif keempat, pembatasan jam kerja perempuan berpotensi membatasi akses dan representasi perempuan dalam institusi-institusi sosial karena perempuan tidak memiliki kesempatan dan beban yang sama dengan laki-laki.  Terbatasnya akses dan representasi perempuan ini akan membuat perempuan ditinggalkan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Absenya perempuan dalam proses-proses politik ini akan membuat kepentingan dan aspirasi perempuan berpotensi diabaikan dan ditinggalkan. Dengan demikian, kebijakan pembatasan jam kerja perempuan ini sejatinya merupakan mekanisme structural peminggiran perempuan.
Beberapa konsekuensi negative dari gagasan pengurangan jam kerja perempuan tersebut menandakan gagasan tersebut melayani nilai-nilai patriarkhis yang dianut oleh para pengambil kebijakan sekaligus sebagai mekanisme pemindaian patriarkhi terhadap nilai-nilai baru yang dianggap dapat menggoyahkannya.
Selain itu, munculnya gagasan pengurangan jam kerja perempuan oleh pengambil kebijakan menunjukkan problem akut di Indonesia yakni sinkronisasi dan implementasi kebijakan baru. Sebagai mana di ketahui bahwa Indonesia pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengarusutamaan gender melalui Intruksi Presiden nomor 09 tahun 2000 serta meratifikasi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7/1984 dan gagasan pengurangan jam kerja perempuan bertentangan dengan dua kebijakan tersebut.
Dengan mempertimbangkan beberapa konsekuensi negative dari gagasan pengurangan jam kerja perempuan serta beberapa kebijakan yang ada tentang promosi kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi atas dasar jenis kelamin maka gagasan pengurangan jam kerja sudah selayaknya tidak dilanjutkan apalagi diformalisasi menjadi sebuah kebijakan.
Masalah masa depan anak dan generasi bangsa adalah tanggungjawab pengambil kebijakan dan semua warga negara tanpa membedakan jenis kelamin. Memberikan ruang yang sama dan mendorong laki-laki dan perempuan untuk mengambil peran dalam pendidikan anak jelas akan lebih menjanjikan hasil yang maksimal daripada membebankannya kepada salah satu jenis kelamin. Lebih-lebih berbagai studi menemukan bahwa keterlibatan kedua orang tua dalam pendidikan dan pengasuhan anak sangat penting dan bermanfaat dalam tumbuh kembang anak.
Gagasan dan kebijakan mendorong ayah untuk terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak menjadi lebih penting untuk dikedepankan oleh pemerintah. Selain sejalan dengan semangat beberapa kebijakan sebelumnya terkait dengan keadilan gender, kebijakan ini akan mendorong perubahan structural yang menguntungkan bagi laki-laki dan perempuan. Karena dengan berbagi peran dan tanggung jawab dalam pendidikan dan pengasuhan anak laki-laki dan perempuan juga dapat berbagi peran dan tanggungjawab dalam lembaga-lembaga sosial yang memungkinkan aspirasi dan kepentingan laki-laki dan perempuan dipertimbangkan secara setara. Jadi bagaimana kalau jam laki-laki untuk mendidik dan mengasuh anak yang ditambah? Wallahua’alam…

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *