Michael Kauffman: Menjadi Laki-laki Baru

November adalah bulan yang mendapat perhatian penuh dari Michael Kaufman.
Laki-laki berumur 63 tahun yang telah mendedikasikan separuh perjalanan hidupnya untuk mengubah cara orang berpikir tentang maskulinitas untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan – dan terhadap diri mereka sendiri.

PBB telah menetapkan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan sebagai awal dari 16 Hari Aktivisme Menentang Kekerasan Berbasis Gender, sementara 19 November diperingati sebagai Hari Laki-laki International.

Kaufman telah bergulat dengan isu-isu gender selama 34 tahun, termasuk di dalamnya adalah 23 tahun yang dihabiskan untuk terlibat dalam Kampanye Pita Putih yang ikut ia dirikan, yang memfokuskan diri untuk bagaimana melibatkan laki-laki dan remaja laki-laki dalam upaya untuk mengakhiri kekerasan.

Kaufman berkeliling dunia dalam kampanyenya. Ia adalah seorang pendidik asal Kanada dan penulis sembilan buku non-fiksi dan novel yang merupakan hasil kerja sama dengan pihak pemerintah, LSM, dunia usaha, tokoh agama dan masyarakat, serikat pekerja dan asosiasi profesional, juga perguruan tinggi.

Kaufman baru-baru ini mengunjungi Jakarta untuk berbicara di depan peserta yang bersemangat untuk mengetahui bagaimana cara laki-laki dapat mengakhiri kekerasan hanya dengan mulai berbicara dan tidak lagi diam sebagai jalan untuk mengubah tata nilai yang terlanjur diterima di antara sesama laki-laki.

“Laki-laki merupakan kelompok yang paling mungkin untuk melakukan kekerasan karena apa yang mereka pelajari dahulu ketika beranjak dewasa adalah bahwa menjadi seorang pria berarti mengharuskan mereka untuk tegar dan kuat – namun menjadi tegar dan kuat bukan berarti mendominasi orang lain dengan menggunakan kekerasan,” kata Kaufman.

“Kita perlu membentuk kembali maskulinitas. Mengganti pemahaman maskulinitas yang sempit yang kini tidak dapat diterapkan kepada siapa pun.”

Kaufman mengatakan bahwa kebanyakan laki-laki lain memang tidak menggunakan kekerasan dalam hubungan, namun mereka berkontribusi pada keberlangsungan kekerasan karena mendiamkan hal tersebut ketika laki-laki yang lain menggunakan kekerasan.

Dia memberikan tips tentang cara untuk menghentikan lelucon-lelucon seksis yang sering dipergunakan di antara kelompok laki-laki dengan hanya dengan mengubah subjek pembicaraan atau dengan cara mendekati pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pendekatan yang “tidak bertujuan untuk mempermalukan si pelaku kekerasan, tetapi untuk mengubah perspektif laki-laki tersebut”.

“Tapi penting untuk diingat agar tetap berdiskusi dengan korban dan menanyakan apakah dia harus pergi ke rumah sakit dan melaporkan tindak kekerasan tersebut ke polisi,” tambahnya.

Kuliah umum ini, yang berjudul “Laki-laki Bicara: Bagaimana Laki-laki Dapat Bekerja Mempromosikan Kesetaraan Gender dan Maskulinitas Positif”, diadakan di auditorium Erasmus Huis, Jakarta Selatan, awal bulan ini.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Aliansi Laki-laki Baru dan Yayasan Pulih, yang bekerja sama dengan RutgersWPF Indonesia dan mitra di daerah-daerah yang telah mengembangkan kampanye nasional seperti yang dilakukan oleh Kaufman.

Kebanyakan laki-laki akan merasa tidak nyaman mendengarkan seseorang mendekonstruksi keyakinan yang telah lama dipegang mengenai superioritas laki-laki lalu kemudian menantang mereka untuk mendefinisikan kembali konsep mereka mengenai hubungan gender dan maskulinitas.

Kenyataannya, suara lembut dari ayah dua orang anak mampu meredam kegelisahan itu – seperti terlihat bagaimana para peserta tetap tinggal hingga berakhirnya acara.

Kaufman mengutip kisah nyata tentang bagaimana laki-laki menemukan diri mereka sendiri – seorang kakek yang yang kehilangan cucu hingga cerita “laki-laki berotot” – semuanya didukung dengan data dari hasil penelitiannya.

“Sebagian pekerjaan saya adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi laki-laki untuk memikirkan kembali apa artinya menjadi seorang laki-laki, untuk menantang beberapa asumsi tentang kedewasaan yang mengarah pada kekerasan, diskriminasi – yang tidak membawa manfaat untuk kita,” katanya.

“Reaksi mereka hampir selalu sama, terlepas apa agama atau budaya mereka. Laki-laki telah menunggu seluruh hidup mereka untuk memiliki seseorang untuk memberitahu mereka bahwa mereka tidak harus bertindak keras sepanjang waktu, bahwa mereka tidak harus bersembunyi di balik maskulinitas mereka. ”

“Adalah sesuatu yang normal dengan menjadi perasa (sensitif). Juga tidak salah untuk menunjukkan perasaan itu, “kata Kaufman, dengan menambahkan bagaiman ia terkejut mendapati begitu banyak orang di kuliah umum tersebut. “Saya percaya dalam lima sampai 10 tahun mendatang akan lebih banyak orang yang datang untuk acara sejenis ini.”

Penulis buku berjudul The Possibility of Dreaming on a Night Without Stars (Kemungkinan Bermimpi di Malam Tanpa Bintang)  yang memenangi penghargaan dan The Guy’s Guide to Feminism (Petunjuk Laki-laki Mengenai Feminisme), akan segera merilis sebuah novel di bulan Mei. Novel ini menelusuri dampak perang terhadap tentara dengan judul The Afghan Vampire Book Club (Klub Buku Vampir Afganistan).

“Saya tidak percaya begitu banyak wanita mengalami kekerasan sementara laki-laki tetap tidak bersuara. Itu adalah awal mula yang mendorong saya untuk aktif [mempromosikan kesetaraan gender] sebagai penulis, peneliti dan dengan memberikan nasihat kepada para lelaki.”

Keluarganya juga ikut terpengaruh oleh apa yang ia kerjakan. Kaufman ingat bagaimana suatu waktu, seorang guru sekolah menceritakan kepadanya bagaimana anaknya meminta agar teman-teman laki-laki untuk menghentikan siulan kepada para gadis saat tur sekolah berlangsung. Sang anak mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan tindakan seksisme.

Anak laki-laki Kaufman, yang sekarang berumur 33 tahun, masih merupakan bocah berumur 7 tahun saat peristiwa itu terjadi. Untuk membuat para ayah menjadi pengasuh aktif bagi anak-anak mereka, Kaufman menyarankan pengaturan jam kerja yang fleksibel dan juga pengajuan cuti. Ia juga berupaya untuk bekerja dengan penyedia layanan kesehatan agar mereka melibatkan para ayah selama proses persalinan.

Pemerintah juga mesti memberikan subsidi kepada tempat-tempat penitipan anak, tambah Kaufman. “Pemerintah Quebec mengambil keputusan berani untuk mensubsidi tempat penitipan anak. Mereka mendapati bahwa hal tersebut justru mendorong lebih banyak orang tua menjadi lebih produktif di tempat kerja, yang juga berarti bertambahnya penghasilan dari pajak. Kebijakan subsidi tersebut membawa keuntungan finansial. ”

Kaufman memberikan penghargaaan kepada gerakan perempuan yang telah bekerja selama setengah abad terakhir untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi seseorang tanpa membatasi diri pada persoalan gender.

“Kesetaraan gender adalah ide universal, karena kebanyakan orang ingin pembebasan dan harus diperlakukan dengan hormat. Laki-laki harus bekerja sama dengan wanita untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi perempuan – dan tentu saja bagi laki-laki.”

 

Sumber: The Jakarta Post

About Andre GB

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *