Perempuan Dilarang Mengangkang

Di tengah kehidupan yang terus berubah ke arah yang memberi ruang yang sama kepada perempuan dan laki-laki, surat edaran Walikota Lhoksumawe tentang larangan perempuan duduk mengangkang saat membonceng kendaraan bermotor terdengar sangat aneh,  sumbang, bahkan mungkin konyol.  Walikota ini seperti hidup di zaman yang salah, mungkin secara fisik dia hidup saat ini, namun isi kepalanya seperti isi kepala manusia yang hidup di zaman yang telah lama berlalu. Yang paling celaka adalah ketika manusia dengan isi kepala yang salah ini memegang otoritas karena pikiran-pikiran salah zaman akan diformalisasi yang dapat memaksa kehidupan masyarakat di bawah kekuasaannya mengikuti imajinasi pikiran kedaluarsa tersebut.
Jika dirunut, pikiran Walikota Lhoksumawe berasal dari imaginasi laki-laki tentang perempuan ideal pada zaman yang telah berlalu. Perempuan ideal ditakar dari bagaimana dia bersikap dan berperilaku salah satunya adalah bagaimana cara duduknya. Perempuan ideal tidak duduk mengangkang, namun harus melipat kakinya. Pikiran ini sama dengan larangan perempuan untuk tertawa terbahak yang membuat mulutnya menganga lebar. Duduk dengan melipat kaki mengandaikan perempuan yang dapat menjaga kehormatan dengan kata lain perempuan yang pasif secara seksual. Sementara mengangkang diidentikkan dengan tidak menjaga kehormatan, jalang, menggoda dan agresif secara seksual.  Imaginasi ini tentu saja lahir dari nilai tentang perempuan seperti perempuan itu dituntut untuk submisive, taat, patuh dan sebagai object seksual dan harus dikontrol.
Imaginasi perempuan ideal ini diciptakan laki-laki berbalikan dengan imaginasi tentang laki-laki ideal, secara berlawanan, hanya laki-laki yang dianggap boleh duduk mengangkang karena hanya laki-laki yang memiliki kebebasan termasuk bebas dalam menentukan cara bagaimana mereka duduk. Mengangkang itu simbol kegagahan, laki-laki akan tampak macho jika mengangkang.  Tidak ada larangan bagi laki-laki untuk tertawa terbahak-bahak bahkan sampai mulutnya menganga lebar. Seperti halnya Imaginasi tentang perempuan ideal, imaginasi tentang laki-laki ideal ini juga lahir dari sebuah nilai tentang laki-laki seperti laki-laki itu tidak memiliki batasan akan ruang dan waktu, laki-laki itu bebas berkehendak, laki-laki itu memiliki kuasa termasuk kuasa atas perempuan.
Surat edaran Walikota Lhoksumawe tentang larangan perempuan duduk mengangkang adalah perwujudan dari formalisasi imaginasi laki-laki tentang  perempuan ideal tersebut, artinya menjadikan imaginasi walikota yang laki-laki tentang perempuan sebagai dasar kebijakan pemerintah kota. Dan sebagian orang mencurigai bahwa kebijakan tersebut juga lahir dari pikiran ngeres dan porno Walikota.  Pemberlakuan syariat Islam adalah hanya bungkus untuk membuat formalisasi imaginasi laki-laki tentang perempuan itu mendapatkan dukungan politik.
Lebih jauh formalisasi imaginasi tentang perempuan ideal yang dilakukan  sekaligus sebagai sebuah mekanisme kontrol yang dilakukan oleh laki-laki (walikota) atas tubuh perempuan sekaligus untuk memastikan bahwa imaginasi kuno tentang perempuan dan laki-laki ideal itu tetap lestari dan berarti hubungang hirarkhis laki-laki (berkuasa) dan perempuan (dikuasai) tetap terbangun kokoh. Tidak berlebihan jika Surat Edaran Walikota Lhoksumawe tersebut merupakan cara yang disengaja untuk melanggengkan penindasan laki-laki terhadap perempuan.  Jika demikian apakah kita harus mendiamkan? Tentu tidak kan.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *