Perempuan, Politik, dan Sejarah

Saya membayangkan: di suatu malam di ujung Desember 1930, Sukarno sibuk menyiapkan pidato di ruang bacanya, di tengah tumpukan buku dan kopi panas. Dan di kamar tidur Inggit dengan tekun menjahitkan kancing jas Kusno (begitu Inggit memanggil Sukarno), supaya ia tampak gagah di depan ruang sidang esok harinya. Dan benar terjadi, pidato Sukarno, dengan judul maha dahsyat itu—INDONESIA MENGGUGAT—meledak laksana kilat, membelah langit imperialisme, mengobarkan api nasionalisme.
Lalu sejarah tumbuh dengan cara lain: ruang baca Sukarno meluas menjadi ruang nasional, lalu tumbuh menjadi ruang Republik. Bintang kehormatan dan puja-puji menempel mentereng di jas Sukarno. Dan kamar tidur Inggit, bertahun-tahun kemudian, ia tempati kembali seorang diri. Inggit menolak dimadu. Ia memilih berpisah.
Sejarah adalah pentas politik laki-laki. Di dalamnya kekuasaan dan kepahlawanan ditampilkan megah: ruang sidang yang sakral, pidato menggelegar, histeria massa, lalu sekotak tanda jasa. Sementara perempuan cukup berdiri di kejauhan, menunggu pentas usai, tanpa paham jalan cerita. Skenario memang tidak ditulis untuk dapur yang penuh jelaga, atau kamar tidur yang kusam. Kamera dan biografi adalah peralatan politik laki-laki. Di dalamnya memori kolektif diproduksi dan kekuasaan diawetkan.
“Kuantar Ke Gerbang”, adalah kisah keteguhan hati seorang perempuan sederhana. Ia menolak poligami, dan memilih hidupnya sendiri. Sukarno tumbuh menjadi orang besar, dieluk-elukkan sejarah. Dan Inggit? Ia kembali pada kesehariannya: meracik jamu, membuat bedak dan berjualan kecil. Ia mandiri. Ia meneruskanhidupnya sendiri.
Tentu ada jarak akademis antara Sukarno dan Inggit. Juga jarak usia. Tetapi pasti tidak ada jarak integritas.
Inggit menyelesaikan problem ‘cinta segitiga Sukarno’ dengan keteguhan psikologis dan kekuatan akal sehat. Dua kali ia bergumul dengan modus romansa itu: pertama, ketika bercerai dengan Sanoesi, untuk menikah dengan Sukarno, lalu kini ia merelakan Sukarno menikahi Fatmawati. Kita tahu, pada dua peristiwa itu ada konteks dan pertimbangan politik yang kompleks. Dihadapkan pada situasi psikologis semacam itu, yaitu dalam pergumulan antara cinta dan politik, antara ‘passion’ dan ‘reason’, Inggit menemukan penyelesaiannya dengan baik. Ia memilih prinsipnya sendiri. Itulah integritas!
Refleksi hari ini: politik perempuan masih berjuang menembus multi-lapis diskriminasi. Hambatan multi-lapis itu merentang sepanjang peradaban: dari mitos virginitas sampai perda-perda misoginis. Sangat sering filsafat, agama dan hukum melegitimasi struktur patriarkis itu. Tetapi sejarah justeru mengagungkan politik diskriminasi itu sebagai “his-story”. Hegemoni ini dioperasikan melalui berbagai politik stigmatisasi, untuk tujuan melokalisir perempuan dalam ruang domestik.
Hasilnya adalah ketidakadilan di semua bidang: anak perempuan yang kehilangan hak pendidikan, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, “silent crime” di kamar tidur, partisipasi politik perempuan parlemen yang tidak substantif, dan seterusnya.
The Law of the Father, memang telah tumbuh menjadi acuan kebenaran sepihak. Dia melembaga dalam politik bahasa, diteorikan dalam psikologi dan ditanamkan dalam wacana sosial. Di dalam “Hukum Sang Bapak”, perempuan tidak tumbuh sebagai aktor warganegara, tetapi sekedar sebagai figuran dalam sistem formal demokrasi.
Akumulasi ketidakadilan memang menyatu dalam tubuh perempuan: ia penerima terendah produksi ekonomi, ia non-subyek dalam sistem hukum, ia sasaran penghukuman moral dalam politik agama, ia umpan dalam politik media.
Sesungguhnya, sejarah keadilan hanya dapat tumbuh jujur bila ditulis dalam perspektif politik tandingan. Perspektif perempuan mengaktifkan diskursus kesetaraan. Dengan cara itu kita memahami sejarah bukan sebagai “gagasan besar” seorang tokoh, tetapi sebagai “tindakan bermakna” setiap manusia. Tindakan menghasilkan tanggung-jawab, jauh sebelum cita-cita besar tiba.
Politik perempuan adalah kumpulan tanggung-jawab yang merentang panjang dalam peradaban: dari rahim dan payudara, sebagai pemberi hidup, sampai jiwa dan tenaga, sebagai pemberi keadilan. Dalam rentang tanggung-jawab itu, sejarah akan terbaca sebagai sejarah kemanusiaan, dan bukan sejarah ketokohan.
Dalam sejarah politik kita, nama Inggit tenggelam dalam ketokohan Sukarno. Malam itu, Inggit hanya menjahitkan kancing yang lepas. Tetapi sesungguhnya, sebiji kancing yang lepas, akan sama mengganggunya dengan sebait kalimat pidato yang tak selesai.
Rocky Gerung
Sumber: www.jurnalperempuan.com
Sumber gambar: www.dunia-panas.blogspot.com

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *