Semua ini Karena Ilusi Patriarki

Sebuah analisis gender pernah menjelaskan perbedaan perkembangan psikologi antara laki-laki dan perempuan dalam menghadapi masalah kehidupan, masalah perang, masalah kehilangan pekerjaan. Banyak bukti bahwa laki-laki cenderung cepat putus asa, cepat pergi dari masalah atau bahkan seolah-olah masalah itu tidak ada. Sementara perempuan, cenderung ingin cepat menyelesaikannya, ingin cepat mencari solusi dan berbuat sesuatu yang bisa mengubah nasibnya dengan berusaha apa saja. Ini saya bicara secara umum, tentu saja tidak semua laki-laki dan perempuan mengalaminya.
Apa yang menyebabkan laki-laki seperti itu? Mereka dibangun oleh ilusi tentang kekuatan, kemenangan, kekerasan, kejantanan, ketenaran, kekayaan, persaingan, kebudayaan, peradaban, penaklukan, perburuan. Mereka tidak pernah diajari tentang sesuatu yang pribadi, privat, diri, apa adanya, bicara apa saja, keluarkan apa yang ada di hati, mengasihi, peduli, memperhatikan yang lain. Kalau istilah anaknya Ahmad Dhani itu “ayo kita selesaikan di Ring Tinju” ketika ia marah Farhat Abas mengejek ayahnya. Ayahnya membentuk anak laki-lakinya seperti itu, semua diselesaikan secara fisik dan harta benda seperti mobil sebagai simbol kemewahan dan ketenaran. Semua masalah diatasi dengan fisik  dan harta benda. Itulah ilusi kekuatan, kejantanan. Padahal, kehidupan yang nyata tidak sesederhana itu, tidak semudah film-film laga.
Oleh karena itu, suatu hari, seorang politisi, seorang penyair, seorang pegawai negeri, seorang pengusaha, seorang kuli, seorang mahasiswa, seorang dosen, seorang aktivis atau siapapun mereka, membangun relasi dengan perempuan sampai pada aktivitas seksual dan perempuan itu ternyata hamil, lalu sikap mereka seperti hal yang saya jelaskan tadi. Mereka tidak disiapkan untuk kehidupan yang sebenar-benarnya, kehidupan semesta bahwa di situ ada proses-proses biologi yang akan mempengaruhi kehidupan dan masa depan manusia. Mereka hanya sampai pada aktivitas seksual, dan tidak tahu apa lagi selanjutnya. Mereka gagap dan abai dengan ulah mereka sendiri, yang seharusnya mereka hadapi dengan apa yang mereka sebut sebagai “jantan” itu. Sang perempuan, melihat sang lelaki seperti seorang pangeran, mengagumkan, pintar, berwibawa, tenar dan berharap akan melindunginya. Lalu, sang pangeran itu menghampirinya, mengucapkan kata-kata indah, meluluhkan hatinya. Didasari inilah seorang perempuan mau melakukan aktivitas seksual, sesuatu yang menurutnya penuh kasih dan impian, membuat dia merasa nyaman. Dia menyangka apapun resikonya akan dijalani bersama. Ia tidak tahu bahwa secara sosial, perkembangan psikologi dan perspektif laki-laki sangat berbeda jauh bahkan berseberangan dengan apa yang perempuan pikirkan dan perempuan alami. Dia menerima begitu saja.
Teman saya, dulu seorang mahasiswa yang kini sendirian membesarkan anaknya, mengalami hal yang sama. Waktu masih belia usia belasan tahun, dia ikut sebuah kelompok teater, dia kagum dengan pelatih teaternya, lalu sang pelatih teater mendatanginya, menyukai dia, dan sampai pada aktivitas seksual, sehingga akhirnya hamil. Begitu hamil, sang pelatih seolah tidak mengenalnya lagi, lari, takut, dan tidak menerima apa yang terjadi. Padahal, sang gadis belia ini hanya ingin bertanya, “jadi bagaimana ini? Ada anak kita dalam rahimku. Bagaimana kita menjalankannya?” Ia ingin diakui, juga anak yang dikandungnya dikasihi, dan sang lelaki mau ikut andil untuk memikirkannya. Tetapi memang lelaki sangat gagap sekali dalam urusan domestik ini, mereka tidak terlatih, terlalu berjarak dengan hidup yang alami, terlalu angkuh dan merendahkan urusan-urusan semacam ini. Atau, tidak mau mengakui sama sekali adalah cara dia menyelamatkan diri dari ketakutan dan kecemasannya sebagai “seorang lelaki”.
Kasus seperti ini banyak sekali terjadi di sekeliling kita. Potret yang bisa saya pajang dalam masalah ini adalah, kegagapan dan kecemasan yang luar biasa laki-laki atas urusan reproduksi, pengasuhan, semua diserahkan kepada perempuan. Mereka hanya tahu bekerja, berkarya, cari uang, pulang, makan sudah disiapkan, baju sudah wangi, tempat tidur sudah dirapikan, dan lantai rumah sudah mengkilat, dan anak-anak gemuk, sehat, dan ceria. Artinya sekalipun mereka menikah dan memiliki anak, ataupun kehamilan memang diinginkan oleh keduanya, urusan-urusan domestik itu tetap dilemparkan begitu saja kepada perempuan. Bila ada persoalan ekonomi, dan lelaki dianggap sebagai sang pahlawan pencari nafkah, pelindung keluarga, pemimpin, tetapi mengalami kegagalan, sang lelaki akan pergi dan malu, rendah diri, jatuh, putus asa, depresi, gila. Tapi tidak dipikirkan bahwa ada kehidupan yang harus berjalan. Laki-laki terus menerus mencari pelarian, dan masalah-masalah domestik itu membayangi dia terus sehingga membuatnya panik dan ketakutan. Seolah-olah, beban memelihara, mengasuh, merawat, menyusui, melahirkan, adalah semata-mata beban perempuan. Sang laki-laki kalau ada masalah, seringkali bersembunyi di ketiak ibunya, atau perempuan yang dia anggap seperti ibunya. Atau, seorang perempuan yang dia pacari atau dia nikahi karena dia mengingat ibunya. Ini karena anak laki-laki mengenal kasih sayang dan pengasuhan hanya dari ibunya, bukan ayahnya. Lain hal lagi, peran-peran itu sudah dia pelajari sejak kecil, dia pikir, urusan-urusan ini bukan lagi urusannya. Maka untuk hidup dan menikah, ataupun secara seksual dan relasi dampak perbuatan seksual dengan kehidupan sosial, adalah juga urusan perempuan. Apa yang terenggut dari laki-laki kemudian adalah sebagai pencari nafkah, jerih payahnya seluruhnya akan dia berikan kepada keluarga, istri dan anak-anaknya. Dia tidak bisa menikmati sendirian jerih payahnya itu. Dia bekerja dan dapat gaji, tapi tidak bisa membeli apa-apa. Beban-beban sosial dalam konstruksi peran-peran gender dan seksual manusia membuat hidup laki-laki dan perempuan menjadi benang mati, kusut, tak pernah berimbang, tidak pernah ketemu. Semua punya jurang masing-masing. Dan jurang itulah yang menimbulkan masalah, reaksi amarah, lantas masalah itu sendiri tidak pernah terselesaikan.
Suatu hari, saya pernah jalan bertiga, yaitu saya, satu perempuan dan satu lelaki. Sang lelaki cemas bahwa dia merasa tidak nyaman berjalan dengan dua perempuan, sementara dia laki-laki sendirian. Dia merasa didominasi. Atau saya berjalan berdua dengan seorang teman lelaki, dan melintas sekelompok teman-teman lelakinya, lalu teman lelaki saya diejek-ejek dianggap menginginkan saya. Aneh sekali menurut saya, bukankah kita adalah dua manusia biasa yang sedang berjalan menuju gedung itu, lalu tiba-tiba sekelompok laki-laki mengenggap teman saya ini sedang melakukan pendekatan terhadap saya? Seolah saya ini perempuan yang pasif dan tidak punya keputusan sendiri. Lagipula, sebetulnya apa persoalannya? Kita hanya ingin berjalan kaki ke arah gedung itu untuk urusan kita masing-masing!
Seandainya kita semua mengerti bahwa kehidupan harus diatasi, dihadapi oleh semua jenis manusia, tentu kerumitan ini akan berhenti. Seandainya laki-laki dan perempuan saling mempelajari keunikannya, kelebihan dan kekurangannya, tentu tidak sesukar itu kita mendengar masalah relasi keduanya. Seandainya relasi perempuan dan laki-laki bukan dibangun atas kecurigaan sosial, moral dan agama, tentu tidak seperti ini jadinya. Seandainya seorang laki-laki tidak perlu merasa malu saat menghamili seorang perempuan, lalu disebut tidak bermoral, atau dianggap laki-laki hidung belang, dengan menujukkan kasih sayang dan keberaniannya menghadapi hidup, julukan itu akan berhenti dengan sendirinya. Saya ingin membantu masalah kesenjangan dan ketimpangan ini, membantu menekankan pentingnya laki-laki ikut andil dan menaklukan rasa takutnya pada urusan-urusan seksual-domestik. Dan pentingnya membuat perempuan mempertahankan dirinya, menunjukkan siapa dirinya, tanpa harus bergantung pada orang lain. Tidak mudah memang, tetapi perlu dicoba sampai rasa takut itu tidak ada lagi.
Jawa Barat, 30 November 2013
Mariana Amiruddin, Direktur Yayasan Jurnal Perempuan
Sumber: http://amiruddinmariana.blogspot.com/2013/11/semua-ini-karena-ilusi-patriarki.html

About Redaksi ALB

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

One comment

  1. Hii, kogh pas baca, ilusinya seperti nyata. Sepertinya memerlukan ilusi tandingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *