Sudiah dan Anak-anaknya; Ketika Pengorbanan Istri Dihianati

“Susu berbalas Tuba, niat baik sang istri membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh migran di Malaysia, dijawab dengan pengkhianatan oleh sang suami. Uang yang dikirim ke kampung halaman hasil jerih payah menjadi buruh migran dengan profesi ssebagau pekerja rumah tangga di negeri orang, digunakan suami untuk menikah lagi. Kenyataan pahit itu harus diterima oleh Sudiah, buruh migran yang berasal dari Desa Jenggik Utara, yang hingga kini kesulitan untuk menemui sang suami”
Seperti kondisi umumnya keluarga buruh migran Indonesia (BMI) di Kabupaten Lombok Timur, remitansi (uang yang dikirim dari BMI ke keluarga) yang seharusnya mendatangkan berkah, dan salah satu jalan mewujudkan impian dan cita-cita keluarga, terkadang justru menjadi bumerang keutuhan keluarga, yakni bila terjadi persoalan internal tentang siapa yang berhak menerima dan mengelola remitansi dari anggota keluarga yang menjadi BMI di luar negeri. Situasi semakin rumit dengan adanya peristiwa penyelewengan penggunaan keuangan, berakibat pada keharmonisan suatu keluarga kian terancam, dan hal tersebut diperburuk dengan faktor infrastruktur komunikasi Lombok Timur, di mana komunikasi ke BMI di luar negeri masih menjadi kendala teknis, sehingga bila ada persoalan tidak bisa leluasa dapat dikomunikasikan.
Pada titik keputusan siapa yang berhak menerima dan mengelola uang kiriman dari luar negeri, berujung pada terganggunya hubungan harmonis di dalam keluarga BMI, di sana terjadi pertikaian yang melibatkan antara istri-suami dengan mertua, atau dengan keluarga lainnya. Tetapi yang menarik, mereka yang kemudian mengelola remitansi sesungguhnya tidak memiliki kuasa atas uang yang dipegang, pada penggunaan dan alokasi keuangan tetap ada pihak lain yang mendominasi, misal dari lembaga keuangan tempat di mana sang BMI berutang untuk membiayai keberangkatannya, atau dengan para “ojek rekening” yang menjelma menjadi rentenir di komunitas.
Tetapi pada pada kenyataannya uang yang dikirim dari BMI ke keluarganya, nyaris tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebelumnya oleh ia yang menjadi buruh migran, Penggunaan dan pengelolaan uang cenderung digunakan untuk hal-hal yang konsumtif, dan dipergunakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan taktis. Alih-alih pengelolaan dan penggunaan uang untuk tujuan yang lebih produktif guna masa depan keluarga yang lebih baik, justru diselewengkan oleh sang suami untuk berselingkuh atau menikah lagi, akibatnya keutuhan keluarga justru menjadi hancur.
Sudiah (45), buruh migran asal Lombok Timur, dari Desa Jenggik Utara, merupakan salah satu korban penyelewengan penggunaan keuangan yang dilakukan oleh suaminya. Selama setahun ia bekerja di Malaysia pada sektor informal, bertekat untuk memperbaiki perekonomian keluarganya, tetapi justru mendapatkan kenyataan pahit, uang hasil jerih payahnya yang ia kirimkan ke sang suami, justru digunakan oleh suaminya untuk menikah lagi.
Dalam kondisi shock dan kesedihan mendalam, setibanya di kampung halaman, ia berusaha meminta penjelasan dan pertanggungjawaban sang suami, tetapi sayang, sang suami tidak merespon tuntutan Sudiah untuk bertemu, walau Sudiah didampingi paralegal, upaya untuk bisa bertemu tetap gagal.
Sudiah yang telah dikaruniai 3 orang anak dari perkawinannya, kini harus menerima kenyataan di mana kehidupannya jauh lebih buruk dari sebelum ia menjadi pekerja migran. Selain persoalan keluarga, ia juga dihadapkan dengan persoalan ekonomi dengan tanggungan 3 orang anak yang harus dihidupi seorang diri. Untuk kembali menjadi pekerja migran, ia merasa sudah diliputi trauma mendalam, sementara di satu sisi, hasil dari ia bekerja di di sekitar tempat tinggalnya tidaklah mencukupi untuk menghidupi ketiga anaknya.
Pembelajaran
Dari pengalaman tersebut di atas, setidaknya dapat memberikan kita pembelajaran berguna, antara lain:

  1. Sebelum menjadi pekerja migran dilakukan musyawarah keluarga untuk menentukan cita-cita bersama, sehingga jelas target yang diinginkan oleh keluarga. Selain itu, bila selama menjadi pekerja migran mendapat pengawalan dari keluarga, selain keselamatan terpantau, apa yang menjadi cita-cita keluarga juga bisa terlaksana.
  2. Pada kasus Sudiah kita bisa memetik pembelajaran, di mana sejak awal (sebelum berangkat) harus sudah ada perencanaan keuangan serta sudah diputuskan siapa yang akan menerima dan mengelola keuangan.
  3. Aplikasi nilai-nilai adil gender harus menjadi konsep di dalam keluarga, tak terkecuali keluarga BMI. Penerapan konsep adil gender bila dijadikan instrument, selain berguna untuk mendukung kesuksesan BMI, juga sangat berperan dalam menjaga keharmonisan keluarga, sehingga apa yang telah dicita-citakan bersama dapat diwujudkan.
  4. Keberadaan para aktivitis pemerhati buruh migran di tingkat komunitas sangat diperlukan untuk memberikan pembelajaran menarik serta menjadi fungsi dokumentasi dan cermin bagi keluarga BMI lainnya untuk sadar, tentang pentingnya mengawal BMI, mulai dari pra penempatan, penempatan hingga pasca penempatan.
  5. Keberadaan Pemerintah Desa dalam mengawal remitansi di daerah cukup besar. Hal ini dikarenakan mereka lebih dekat dengan komunitas dan memiliki peluang yang lebih besar dalam merumuskan dan menelurkan formulasi yang efektif untuk pengelolaan remitansi tepat guna demi kebaikan BMI, dan membaiknya sirkulasi keuangan di desa tersebut yang secara langsung berimbas pada stabilitas perekonomian daerah.

*Catatan Harian Para Legal
Penulis: Ahmad Fauzi, Paralegal ADBMI, di Desa Jenggik Utara, untuk Isu BMI & Trafficking

About ADBMI Lombok Timur

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *