Tentang Izin Suami

Saya memang belum pernah menikah. Jadi, mungkin tulisan ini adalah hasil kesok-tahuan saya saja.
Hanya saja begini.
Dari banyak hal yang sering dideskripsikan sebagai kewajiban seorang istri, ada satu yang selalu membuat saya risih saat mendengarnya: “Taat/tunduk/turut pada suami.” Atau, versi yang sedikit berbeda: “Suami harus mampu mendidik istri.” Atau, yang lebih halus lagi, “Saya izin suami dulu, ya.” (Dalam kasus ini, kalau ada suami yang berani bilang, “Saya minta izin istri dulu, ya”, pasti langsung dicap sebagai suami cupu yang takut istri.)
Meskipun terdengar indah–mungkin (atau terutama) karena menjadi bagian dari ajaran agama tentang kehidupan pernikahan–pernyataan-pernyataan semacam di atas itu seringkali membuat saya gatal. Tahu, kan, tipe-tipe gatal yang mengganggu, tapi bingung harus digaruk di sebelah mana.
Saya sendiri memang belum mengalami menikah itu seperti apa. Tapi, bekerja di bidang kesehatan memberikan saya beberapa sudut pandang dalam kasus-kasus yang terkait dengan relasi suami istri. Ada pengalaman yang positif. Ada yang negatif. Kali ini, saya akan menceritakan yang negatif.
Waktu saya masih di jenjang pendidikan profesi, kami mendapat stase bagian kebidanan dan kandungan di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah, red) setempat. Alkisah, ada seorang ibu yang hendak melahirkan, dan tekanan darahnya tinggi sekali. Ibu ini sudah hamil yang keempat kalinya, usianya 42 tahun. Selidik punya selidik, ibu ini ternyata tidak ber-KB, karena dilarang suami. Jadi, kehamilannya kali ini sama sekali tidak direncanakan. Cerita berakhir dengan kami berulang kali mengukur tekanan darah si ibu-ibu yang tidak turun meski sudah diberi obat. Dan observasi dengan ketat, sebab khawatir kalau tahu-tahu ibu tersebut mengalami kejang. Selanjutnya entah, ibu itu melahirkan normal, dengan vakum atau operasi, karena sudah jam ganti giliran jaga.
Ada lagi, kali ini saya alami saat sudah menjadi dokter. Seorang ibu datang, saya lupa sakitnya apa, kalau tidak salah berhubungan dengan kehamilan juga. Yang jelas, saya ingat ia harus dirawat inap di puskesmas, masuk saat itu juga. Ibu ini menolak, sebab dia belum izin suaminya yang bekerja di luar daerah, yang pada waktu itu belum pulang dan sulit dihubungi. Padahal waktu itu dia datang dengan anggota keluarganya yang lain, tidak sendirian. Dan tidak ada masalah biaya karena ada kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat. Kalau tidak salah, akhir ceritanya ibu itu benar-benar pulang dulu. Saya ingat saya sempat merasa absurd sekali, sampai-sampai berkomentar pada ibu itu, “Bu, kalau saya jadi Ibu, saya masuk rawat dulu, kabarin suami nanti. Masa sakit aja harus izin suami.”
Saya bukan seorang misandris (pembenci laki-laki, red). Saya hanya sedang membicarakan logika di sini. Kasus ibu pertama itu, misalnya. Setiap perempuan memiliki hak yang dinamakan hak-hak reproduksi. Terlalu banyak kasus yang saya temui, di mana sang istri bergantung kepada kehendak suami dalam menentukan kontrasepsi yang ingin dipakainya. Meskipun, misalnya, sang istri sudah terlalu sering hamil sehingga kehamilan berikutnya akan sangat berisiko, terutama perdarahan setelah melahirkan dan plasenta letak rendah. Atau, sang istri sudah melewati usia aman kehamilan (20-35 tahun), yang jika hamil berisiko mulai dari perdarahan, kehamilan beracun (tekanan darah tinggi, kejang), sampai Down Syndrome pada anak. Padahal, di usia demikian kontrasepsi hormonal (pil, suntik, susuk) sudah tak disarankan. Pun KB kalender terlalu berisiko gagal, sedangkan pakai kondom juga tak mau. Pilihan terbaik dengan efektivitas terbaik adalah IUD (intrauterine device, red). Sering sekali saya dapatkan kasus pasien yang saya berikan konseling KB, terutama pemasangan IUD, menolak karena alasan suami – mulai dari suami takut nanti berhubungan tidak enak lagi sampai suami takut istrinya “rusak”. Yang, anyway, lebih banyak mitos daripada faktanya. Masalahnya, kalau sedang konsultasi urusan KB, tidak pernah tuh saya lihat suami-suami itu ikut.
Padahal (lagi), Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih jauh dari target Millenium Development Goals yang dicanangkan WHO untuk dicapai di tahun 2015 ini.
Makanya, saya bergembira saat membaca artikel tentang vasektomi dari seorang suami ini. Seandainya saja semua suami dan calon suami punya pertimbangan yang serupa. Kalaupun tidak mau vasektomi, setidaknya suami-suami dapat ikut berpartisipasi dengan cerdas dan logis saat mempertimbangkan kontrasepsi istrinya.
Kembali kepada persoalan istri tunduk pada suami. Sejauh apa, sih, sebetulnya makna “tunduk”, “turut”, “taat” itu? Daripada menyuruh istri untuk senantiasa “tunduk” dan “turut”, mengapa tidak lebih menekankan kerjasama dan timbal balik dalam pernikahan? Misalnya, “Suami istri harus saling menghargai dan memahami.” Atau, “Suami istri harus saling menghormati dan mendukung.” Atau, “Suami istri harus menjadi partner dan team mates.” Atau, “Saya bicarakan dulu dengan suami/istri saya, ya.”
Sekali lagi, saya memang belum pernah menikah. Tapi, saya punya rencana untuk menikah. Kalau konsep “tunduk/turut/taat” ini dibebankan kepada saya saat saya menikah nanti, rasanya, kok, saya jadi jiper.
Untungnya, pacar saya sekarang sudah mengaku diri sebagai lelaki feminis. Katanya, sih.

About Putri Widi Saraswati

Dokter saat dibutuhkan, pembaca purnawaktu, penulis saat sedang tidak banyak alasan. Feminis amatir yang masih lebih banyak wacana daripada aksi. (Sedang berlatih jadi) pemikir bebas, karena liberal tidak selamanya setan.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *