Tragedi Biru dan Krisis Maskulinitas

Sabtu pagi, 24 Desember 2011, warga Yogyakarta dikejutkan oleh berita yang memilukan yang terjadi di Dusun Biru, Trihanggo, Gamping, Sleman. Supeno, seorang laki-laki paruh baya, tewas bunuh diri di rumahnya dengan cara gantung diri. Dan yang membuat peristiwa ini semakin memilukan adalah ketika aparat kepolisian menemukan dua bocah balita, yang tak lain adalah anak Supeno, tewas mengenaskan di tempat tidur mereka. Kuat dugaan sebelum bunuh diri Supeno terlebih dahulu membunuh kedua anaknya tersebut.
Masih menurut berbagai pemberitaan di hampir semua media lokal di Yogyakarta, peristiwa tragis itu dipicu oleh konflik rumah tangga berkepanjangan yang disebabkan oleh persoalan tekanan ekonomi. Supeno diketahui tidak memiliki pekerjaan tetap, sementara istri Supeno bekerja sebagai satpam pada sebuah pusat perbelanjaan di Malioboro.
Berbagai analisis dari pengamat sosialpun bermunculan, pilihan mengakhiri hidup sekaligus membawa serta anaknya dilakukan oleh Supeno karena persoalan tekanan ekonomi yang kemudian membuatnya frustrasi. Hal lain lagi, semakin renggangnya ikatan-ikatan sosial membuat kontrol masyarakat menjadi semakin lemah sehingga tidak dapat mendeteksi atau mencegah terjadinya peristiwa yang mengenaskan tersebut. (Kedaulatan Rakyat, 24/12/2011)
Peristiwa ini meninggalkan misteri. Mengapa Supeno memilih mengakhiri hidup? Adakah kaitannya dengan statusnya sebagai laki-laki atau suami yang pengangguran dan sebaliknya istri yang memiliki pekerjaan tetap? Tulisan ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut.
***
Sebagaimana diungkap oleh berbagai media, bahwa Supeno diketahui tidak memiliki pekerjaan tetap atau dengan kata lain Supeno adalah seorang pekerja serabutan. Tidak memiliki pekerjaan tetap berarti juga tidak memiliki penghasilan tetap. Kondisi Supeno ini bertolak belakang dengan keyakinan, nilai, stereotip, mitos tentang laki-laki di dalam masyarakat Jawa yang patriarkhis. Laki-laki, secara normatif, dianggap sebagai pemimpin, pencari nafkah utama, pelindung atau dalam kajian maskulinitas laki-laki disebut sebagai leader (pemimpin), protector (pelindung), dan provider(penyedia/pencari nafkah).
Situasi tersebut di atas membuat Supeno mengalami apa yang disebut sebagai krisis maskulinitas (masculinity in crisis) karena dia gagal memenuhi ekspektasi (harapan) sosial tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki. Supeno mengalami krisis maskulinitas karena basis eksistensinya (baca: pekerjaan dan penghasilan) sebagai laki-laki telah tercerabut. Laiknya situasi krisis, Supeno sedang mengalami kebingungan beradaptasi dengan situasi yang berubah.
Situasi tersebut pada gilirannya mempengaruhi bagaimana Supeno membangun citra dirinya. Perasaan menjadi pribadi yang gagal, tidak berguna dan bahkan perasaan sebagai laki-laki yang kalah seringkali menjangkiti laki-laki dalam situasi seperti ini. Gejala-gejala serupa kerap dijumpai pada laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Sebagian dari mereka juga tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap.
Laki-laki dalam situasi seperti ini biasanya cenderung sensitif, sangat mudah tersinggung, selalu curiga dan pencemburu terhadap pasangan, menganggap pasangan tidak lagi menghormati dirinya sebagai suami dan kepala keluarga, terlibat penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Dalam beberapa kasus juga ditemukan adanya intensi (niatan) bunuh diri. Studi-studi tentang bunuh diri menunjukkan bahwa laki-laki memiliki angka bunuh diri empat kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan dan diantara penyebab laki-laki mengakhiri hidupnya adalah karena tekanan terkait dengan pemenuhan peran-peran sosial mereka sebagai laki-laki.
Krisis maskulinitas yang dialami Supeno ini diperparah dengan kenyataan bahwa isterinya yang justru memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Secara normatif, tugas perempuan atau isteri adalah mengurus rumah tangga, merawat anak dan melayani suami. Menghadapi situasi yang serba terbalik ini Supeno mengalami apa yang disebut sebagai “kehilangan muka” sebagai laki-laki. Karena bukan bekerja di luar rumah, dilayani oleh isteri akan tetapi dia harus mengurus rumah dan mengurus anak-anak. Situasi ini semakin sulit ketika masyarakat juga tidak memberi nilai terhadap laki-laki yang tinggal di rumah, mengurus rumah dan anak akan tetapi sebaliknya justru memberikan stigma. Contoh yang paling populer tentang stigma untuk laki-laki atau suami yang tinggal di rumah adalah pemberian gelar suami-suami takut isteri. Sebuah gelar yang ditakuti laki-laki dalam jagad kelelakian.
***
Penghargaan diri yang negatif karena merasa gagal memenuhi ekspektasi masyarakat dan adanya perasaan “kehilangan muka” sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga membuat hubungan interpersonal Supeno dengan pasangannya mengalami masalah.
Krisis hubungan interpersonal ini juga dipengaruhi oleh ketidakcakapan interpersonal laki-laki yang disebabkan oleh proses-proses konstruksi maskulinitas di dalam masyarakat. Laki-laki secara sosial tidak dilatih untuk dapat mengelola emosi secara positif, laki-laki dibesarkan dalam situasi yang kompetitif sehingga membuat laki-laki cenderung selfish dan egois serta laki-laki memiliki kecenderungan memiliki pola komunikasi yang agresif.
Kombinasi antara penghargaan diri yang negatif dan ketidakcakapan interpersonal sebagai akibat konstruksi sosial tentang laki-laki inilah yang biasanya mempengaruhi pola relasi interpersonal laki-laki yang berada dalam situasi seperti Supeno dengan isteri atau pasangan mereka. Frekuensi konflik yang sangat sering terjadi antara Supeno dan isteri, sebagaimana diungkapkan tetangga Supeno, dapat dilihat dari perspektif ini.
***
Ibarat balon jika terus ditiup maka pada saat balon tidak lagi mampu menampung udara maka balon dapat meledak. Analogi balon ini  dapat digunakan untuk menjelaskan tragedi yang dialami oleh Supeno. Kecenderungan Supeno untuk memendam sendiri persoalan yang dialami menyebabkan persoalan menjadi menumpuk dan pilihan mengakhiri hidup dilakukan karena Supeno tidak lagi dapat menampung tumpukan pesoalan yang dia hadapi.
Tragedi Biru terjadi juga karena ketidaktersediaan ruang atau saluran untuk melepaskan tumpukan beban yang ditanggung oleh korban. Ketidaktersediaan ruang atau saluran untuk melepas beban ini juga ada kaitannya dengan norma maskulinitas yang diyakini secara luas oleh laki-laki. Bagi laki-laki, seberat apapun persoalan yang dihadapi, laki-laki harus tegar dan kuat. Pantang bagi laki-laki untuk berkeluh kesah, karena berkeluh kesah adalah identik dengan kecengengan dan kecengengan adalah tidak laki-laki. Respon Supeno yang cenderung menolak intervensi keluarga dan masyarakat terhadap masalah yang dihadapinya adalah bagian dari upaya memenuhi ekspektasi bahwa laki-laki harus kuat dalam menanggung beban hidup yang dipikulnya meskipun akhirnya Supeno menyerah dengan mengakhiri hidupnya.
***
Uraian dalam tulisan ini mengungkapkan bahwa konstruksi maskulinitas membawa konsekuensi negatif bagi laki-laki, Supeno adalah contoh laki-laki yang harus menanggung konsekuensi negatif tersebut. Dengan melihat dampak serius dari konstruksi maskulinitas yang diyakini luas di dalam masyarakat terebut maka beberapa rekomendasi berikut ini penting untuk dipertimbangkan: pertama, transformasi konsep maskulinitas. Keyakinan bahwa menjadi laki-laki harus menjadi pemimpin atau superior, pelindung dan pencari nafkah utama dan sebagainya hendaknya ditransformasi menjadi keyakinan yang memberikan ruang kepada laki-laki untuk menjadi dirinya sendiri, termasuk memberikan kebebasan kepada laki-laki untuk mengambil peran-peran yang selama ini dianggap tidak lazim seperti menjadi bapak rumah tangga, mengurus rumah dan mengasuh anak.
Transformasi konsep maskulinitas ini diperlukan untuk membantu laki-laki mudah beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi misalnya sempitnya lapangan pekerjaan, atau keharusan berbagi peran dengan pasangan ketika pasangan juga bekerja di luar rumah. Transformasi ini juga penting bagi masyarakat untuk tidak memberikan stigma kepada laki-laki yang bekerja di rumah, mengurus rumah tangga, mengasuh anak. Sebaliknya masyarakat memberikan nilai (value) kepada laki-laki yang mengambil peran domestik dan reproduktif.
Kedua, Menyediakan ruang-ruang konseling yang aman bagi laki-laki tanpa harus takut mendapatkan stigma lemah, cengeng atau tidak laki-laki. Ruang-ruang konseling ini merupakan ruang bagi laki-laki berkonsultasi atau sharing ketika menghadapi persoalan di dalam hidup mereka. Dengan adanya ruang konseling bagi laki-laki ini diharapkan peristiwa di Biru tidak terulang lagi.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *