Feminist Legal Theory: Sebuah Tinjauan Singkat

A. Pengertian Feminist Legal Theory

Kata feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata benda (noun) atau kata sifat (adjective) yang diakitkan dengan kata feminism.

Dalam Merriam Webster’s Dictionary and Thesaurus, feminist merupakan kata sifat (adjective) dari feminism yang berarti (1) teori tentang kesetaraan politik, ekonomi dan social berdasarkan jenis kelamin, (2) aktivitas yang diorganisasi atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan. ((Merriam-Webster, 2006, Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus. Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus, Incorporated Springfield, Massachusetts. Hlm. 398))

Kata feminist sebagai kata benda (noun) berarti pula supporter atau pendukung feminism, atau kata sifat (adjective) yang berarti berhubungan dengan atau mendukung persamaan hak bagi perempuan. ((Dictionary, WordNet, 2003, http://www.webster-dictionary.org/. Princeton University, New Jersey-United States. Sebagaimana diakses pada tanggal 2 Maret 2014 di http://www.webster-dictionary.org/definition/feminist))

Sedangkan dalam Oxford English Dictionary (OED) feminism berarti advokasi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan jenis kelamin. ((Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 19))

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hanya ditemukan istilah feminism yang berarti gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kamu perempuan dan laki-laki. ((Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan, 1989, Op.Cit. Hlm. 241))

Feminism dalam pandangan para ahli dan aktivis feminis memiliki beragam makna. Linda Gordon mengartikan feminism sebagai “an analysis of women’s subordination for the purpose of figuring out how to change it” (suatu analisis terhadap subordinasi perempuan untuk tujuan mencari tahu bagaimana mengubahnya). ((Fineman, Martha Albertson, 2005, Feminist Legal Theory Journal of Gender, Social Policy & The Law))

Bagi Gordon, feminism juga berarti “sharing in an impulse to increase the power and autonomy of women in their families, communities, and/or society” (sharing dalam suatu dorong hati untuk meningkatkan kuasa dan otonomi perempuan dalam keluarga, komunitas dan/atau masyarakat mereka).

Pada kesempatan lain Gordon mendefinisikan feminism sebagai “critique of male supremacy, formed and offered in the light of a will to change it” ((Black, Naomi, 1989, Op. Cit., hlm. 17)) (kritik atas supremasi laki-laki yang dirupakan dan ditawarkan dalam cahaya kehendak untuk merubahnya).

Feminism juga dianggap sebagai pandangan yang berfokus pada ketidakadilan yang dialami perempuan karena jenis kelaimnnya. Janet Radcliffe Richard mendefinisikan feminism sebagai keyakinan bahwa “perempuan mengalami ketidakadilan sosial yang sistematis karena jenis kelamin mereka”.

Pengertian serupa disampailan oleh Alison Jaggar yang mendefiniskan feminis sebagai “mereka semua yang mengupayakan, tidak peduli karena atas dasar apa, untuk mengakhiri subordinasi perempuan.” ((Ibid., hlm. 19))

Pada kesempatan lain feminism juga diartikan sebagai paham atau teori yang menganut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ailen Kraditor dalam hal ini mendefinisikan feminism sebagai “the theory that women should have political, economic, and social right equal to those of men”. ((ibid. hlm. 19))

Feminism kemudian juga dipandang sebagai suatu keyakinan yang beroperasi dalam suatu group, yang berarti keinginan untuk meningkatkan otonomi perempuan. Sehingga feminism berarti pula gerakan atau upaya sekumpulan orang yang dilakukan atau yang berorientasi pada perubahan posisi perempuan. ((ibid. hlm. 18-29))

Pemikiran ini lahir karena adanya kesadaran mengenai ketidakadilan dan ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan. Karenanya Kraditor berpandangan bahwa inti feminism adalah menyarankan “otonomi perempuan” sebagai sesuatu yang diingkan perempuan,  sebagaimana yang tersirat dalam gerakan mereka. ((ibid. hlm. 19))

Sementara Feminist Legal Theory dalam Oxford Dictionary of Law diartikan sebagai;

“A broad movement that seeks to show how conventional legal theory, far from being gender-blind, ignores the position and perspective of women. Feminist write examine the inequalities to be found in the criminal law (especially in rape and domestic violence), family law, contract, tort, property, and others branches of the substantive law, including aspects of public law”. ((Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, 2006, OxfordDictionary of Law. Oxford Dictionary of Law, Sixth ed., Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, Eds., Oxford University Press, New York. Hlm. 221))

(Gerakan luas yang berusaha menunjukkan bagaimana teori hukum konvensional, jauh dari buta-gender, mengabaikan posisi dan perspektif perempuan. Kaum feminist menunjukkan kesenjangan yang dapat ditemukan dalam hukum pidana (terutama dalam pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga), hukum keluarga, kontrak, kesalahan, properti, dan cabang-cabang lain dari hukum substantif, termasuk aspek hukum publik).

Dengan demikian feminist legal theory atau teori hukum feminist adalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum feminis, yaitu suatu gerakan atau orang-orang, utamanya perempuan, yang memiliki keyakinan dan/atau pandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya dan karenanya berupaya untuk menghapuskannya dengan meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan.

B. Berbagai Aliran dan Pemikiran Feminisme

Pemikiran dan teori feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak adilan sosial yang dialami perempuan dalm dunia hukum. Para pemikir feminist legal theory percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan dihadapan laki-laki. ((Irianto, Sulistyawati, 2009, Op. Cit., hlm. 256))

Perkembangan sejarah dan realitas sosial yang dihadapi perempuan telah melahirkan berbagai gerakan, pemikiran dan teori feminis, yang kemudian menjadi landasan bagi pemikiran feminist legal theory. ((Gadis Arifia dalam bukunya Filsafat Berperspektif Feminis, memetakan pemikiran feminis dalam tiga gelombang besar yang masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu; feminism gelombang pertama dimulai sejak 1800an, yang melahirkan pemikiran-pemikiran dan aliran-aliran feminis, seperti feminism liberal, feminism radikal, serta feminism marxis dan sosialis.

Kemudian  feminism gelombang kedua yang berkembang pada awal-awal tahun 1960an, yang berorientasi pada kegiatan yang sifatnya teoritis, seperti mempengaruhi pemikiran New Left (Kiri Baru) dan melahirkan paham feminism kulturan atau eksistensialis.

Feminism gelombang ketiga merupakan paham feminism yang kemunculannya mengikuti atau bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti feminism postmodernisme, poskolonial, multikultur dan global. Lihat Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Hlm. 84))

Berikut ini beberapa aliran besar dalam feminism dan feminist legal theory;

1) Feminisme liberal

Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan adalah makhluk rasional yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi hak dan diperlakukan sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, diantaranya memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan pilihan-pilihan kesempatan untuk bekerja atau di rumah, serta hak politik yang sama dengan laki-laki. ((Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 18-21))

Meskipun terdapat perdebatan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mustikah mereka diperlakukan sama ataukan berbeda, namun pada akhirnya, sebagian mereka percaya bahwa ”hukum yang spesifik gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin.” ((ibid., Hlm. 45))

Feminis liberal percaya bahwa untuk mencapai kesetaraan perlu perjuangan melalui pendekatan hukum dengan cara mereformasi sistem yang ada agar perempuan memiliki hak yang sama di bidang politik, pendidikan, dan kesempatan kerja. ((Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit, hlm 99))

2) Feminisme radikal

Kalangan feminis radikal mencurigai bahwa ketertindasan perempuna terjadi karena adanya pemisahan antara wilayah privat dan publik, dimana ranah privat dianggap sebagai lebih rendah dibanding ranah publik. ((Ibid. hlm. 100))

Mereka meyakini bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental opresi/penindasan terhadap perempuan, dan dominasi yang terjadi atas seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat, merupakan awal dari penindasan tersebut. ((Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit. hlm. 69))

Karen Kate Millett dalam bukunya “Sexual Politics” berpendapat bahwa seks adalah politik, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigm dari semua hubungan kekuasaan. Sementara kekuasaan tersebut lahir karena adanya kendali dan penguasaan laki-laki terhadap dunia publik dan privat, yang disebut sebagai patriarkhi.

Sehingga, kebebasan perempuan hanya mungkin jika dominasi tersebut dapat dihapuskan, yaitu dengan menghapuskan perbedaan gender –terutama status, peran dan tempramen seksual− sebagaimana hal itu dibangun dibawah patriarkhi. ((Ibid. hlm. 73))

Karenanya kaum feminis radikal memiliki slogan untuk gerakan mereka bahwa “the personal is political” (yang pribadi adalah politis), yang artinya bahwa berbagai penindasan yang terjadi pada ranah pribadi (privat) merupakan juga penindasan yang terjadi di ranah publik. ((Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit. hlm. 101))

3) Feminisme marxis dan sosialis

Rosemarie Putnam Tong, menyatakan bahwa perbedaan feminism marxis dan sosialis lebih merupakan masalah penekanan daripada masalah substansi. ((Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm 139))

Feminisme marxis melihat bahwa masalah ketertindasan perempuan terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan peran perempuan. Penindasan tersebut terjadi melalui produk politik, social dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalisme. ((Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit., hlm. 111))

Mereka percaya bahwa kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang lebih baik bagi perempuan merupakan jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. ((Ibid. hlm. 120))

Sementara feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender dibandingkan penindasan kelas sebagai salah satu sebab penindasan perempuan. Feminism sosialis setuju dengan feminism marxis bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme, namun mereka mengklaim bahwa kapitalisme tidak mungkin dihancurkan kecuali patrairkhi juga dihancurkan.

Bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena ideologi patriarkhi. Bahkan sekalipun kapitalisme telah dihancurkan, perempuan akan tetap menjadi subordinat laki-laki, hingga perempuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran patriakh yang menempatkan perempuan kurang setara dari laki-laki. ((ong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm 177))

4) Feminisme kulutral/eksistensialisme

Feminisme kulturan memfokuskan diri pada pandangan mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Dengan melihat perbedaan psyche antara keduanya, mereka berpandangan bahwa ketertidasan perempuan karena perempuan tersosialisasi dan terinternalisasi dalam dirinya bahwa mereka lebih inferior disbanding laki-laki. Karenanya perempuan perlu mengkonstruksi konsep dirinya dan mendefinisikan sendiri apa itu perempuan. (( Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit. hlm. 124))

Perempuan dengan pengalaman hidup akan ketubuhannya sebagai perempuan memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Kemampuan perempuan untuk peduli membawa dampak luar biasa pada identifikasi sebagai perempuan, dan juga berdampak positif pada cara pandang perempuan terhadap dunia. Apa yang dimiliki perempuan tersebut adalah dasar dari visi pembebasan. ((Ibid. hlm. 126))

5) Feminisme postmodern

Feminist postmodern memandang bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena mengalami alienasi yang disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralism, diversifiksi dan perbedaan.

Alienasi tersebut terjadi secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan dilihat sebagai ”yang lain”, yang memiliki perbedaan cara berada, berpikir dan ”berbahasa” yang berbeda dari laki-laki.

Sedangkan, selama ini aturan-aturan simbolis yang berlaku sarat sarat dengan “aturan laki-laki” yang sangat maskulin. Hal ini yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan terus terjadi secara berulang. ((Ibid. hlm. 129))

6) Feminisme multikultural dan global/post kolonial

Feminisme multikultural dan global memiliki kesamaan dalam cara pandangnya mengenai perempuan yang dilihat sebagai Diri yang terfragmentasi (terpecah). Fragmentasi ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada seksual, psikologis, dan sastrawi. Keduanya menentang “esensialisme perempuan” yang memandang “perempuan” secara platonic, yang seolah setiap perempuan, dengan darah dan daging dapat sesuai dalam satu ketegori. ((Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm. 309))

Adapun perbedaan keduanya, feminism multikultural didasarkan atas pandangan bahwa dalam satu negara, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, dimana setiap perempuan akan mengalami opresi sebagai seorang perempuan secara berbeda pula. ((Ibid. hlm. 309-3010))

Sementara feminism global berfokus pada hasil opresif kebijakan dan praktek kolonial dan nasionalis, dimana “pemerintahan besar” dan “bisnis besar” membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai “dunia pertama” (yang berpunya) dan “dunia ketiga” (yang tak berpunya). Menurut mereka opresi terhadap perempuan di satu bagian di dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain, bahwa tidak akan ada perempuan bebas hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan dimanapun juga. ((Ibid. hlm. 330))

Feminisme global atau post kolonial juga berpandangan bahwa pengalaman perempuan dunia pertama berbeda dengan pengelaman perempuan dunia ketiga, dimana perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.

7) Ekofeminisme

Ekofeminisme yakin bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan juga dengan dunia bukan manusia, atau alam. Ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistic antara feminis dan isu ekologi.

Asumsi dasar dunia dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkhal yang opresif, yang bertujuan menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan dominatif, khususnya dominasi laki-laki atas perempuan.

Cara berfikir patriarkhis yang hirarkhism dualistic, dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Hal ini karena perempuan “dinaturalisasi”, ketika digambarkan melalui acuan terhadap binatang, missal, “sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina, otak burung, otak kuda, dll”.

Demikian pula alam “difeminisasi” ketika “ia” diperkosa, dikuasai, ditakhlukkan, dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki, atau ketika “ia” dihormati atau disembah sebagai “ibu” yang paling mulia dari segala ibu. ((Ibid. hlm. 359-360))

Bahwa penindasan manusia terhadap alam juga berakibat pada penindasan pada manusia lainnya. Karenanya menyelamatkan manusia berarti menyelamatakan alam dan juga sebaliknya.

C. Kerangka Konsep dan Metode Pendekatan Feminist Legal Theory

Berbagai pemikiran dan aliran feminism tersebut di atas memiliki kontribusi besar terhadap pemikiran feminist legal theory. Karena pada dasarnya feminist legal theory adalah sebuah falsafah hukum yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik, ekonomi dan sosial.

Feminist Legal Theory didasarkan pada pandangan gerakan feminis bahwa dalam sejarah, hukum merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi perempuan dibawah subordinasi laki-laki. Sejarah yang ditulis kaum laki-laki telah menciptakan bias dalam konsep kodrat manusia, potensi dan kemampuan gender, dan dalam pengaturan masyarakat.

Dengan menyatakan ke-laki-laki-an sebagai norma, maka ke-perempuan-an adalah deviasi dari norma dan hal ini merupakan hegemoni dalam konsep dan penguatan hukum dan kekuasaan yang patriarkal. Pandangan tersebut berdasarkan atas beberapa kenyataan bahwa;

Pertama, bahwa hukum dan teori hukum secara empiris merupakan domain laki-laki, karena merekalah yang menuliskan hukum dan teori-teori hukum. Hal ini nampak dari para ahli teori hukum kebanyakan adalah laki-laki dan mengemukakan teorinya dari sudut pandang laki-laki. (( Savitri, Niken, 2008, Feminist Legal Theory Dalam Teori hukum. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Irianto, Sulistyowati, Ed., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hlm. 56; lihat juga Rifkin, Janet, 1993, Toward a Theory of Law and Patriarchy. Feminist Legal Theory: Foundation, Weisberg, D. Kelly, Ed., Temple University Press, Philadelphia. Hlm. 412-417; Polan, Diane, ibid. hlm. 419-435))

Kedua, bahwa hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hukum adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Sebagai akibatnya hukum seolah-olah hanya bicara untuk laki-laki dalam kultur yang dominan tersebut, tapi tidak berbicara atas nama perempuan atau kelompok terpinggirkan lainnya. Hal ini misalnya nampak dari putusan-putusan hakim terhadap kekerasan sekual pada perempuan dengan kecenderungan sanksi yang rendah, dengan asumsi bahwa korban berperan serta atas terjadinya tindakan tersebut, dengan menafikan persepsi korban. ((Savitri, Niken, 2008, Op. Cit., hlm. 57))

Ketiga, secara tradisional, teori hukum adalah patriarkhi karena seringkali berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum di mana hukum sesungguhnya tidak netral dan seringkali digunakan oleh orang-orang yang memiliki pengalaman dan kuasa untuk menekan orang lain, termasuk terhadap perempuan. Hukum akan cenderung berpihak pada kelompok dimana ideologi dan budaya tersebut berasal, misalnya dalam hukum perkawinan, perceraian, perkosaan menurut konsep KUHP, dan lain-lain. ((Ibid. hlm. 57-58))

Feminist legal theory juga menolak konsep netralitas hukum yang mengandaikan imparsial (tidak memihak) pada satu pihak atau golongan. Dalam prakteknya konsep netarlitas dan objektivitas hukum justru terbukti membenarkan marginalisasi perempuan dan berbagai kelompok minoritas lainnya.

Karena hukum hanya melegitimasi “kebenaran” patriarkhis tentang norma hubungan laki-laki dan perempuan yang berlaku di masyarakat. ((Danardono, Donny, 2008b, Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, kedua ed., Irianto, Sulistyowati, Ed., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hlm. 25))  Obyektifitas hukum hanya bisa dicapai jika polaritas dan dikotomi maskulin feminin dihilangkan.

Penolakan terhadap gagasan mengenai netralitas dan objektivitas hukum ini melahirkan adanya padangan mengenai konsep kesetaraan melalui persamaan atau pembedaan, apakah melalui “perlakuan setara” atau justru “perlakuan istimewa”.

Sebagai contoh dalam pemberian cuti haid, cuti hamil dan cuti melahirkan bagi perempuan pekerja, sebagian menganggapnya sebagai “perlakuan setara” karena mempersamakan kondisi-kondisi biologis yang dialami perempuan tersebut sebagai “kondisi sakit” pada laki-laki.

Sementara lainnya berpendapat bahwa tindakan tersebut bukan sebagai ”perlakuan setara” namun justru dipandang sebagai ”perlakuan istimewa”. Kekhususan biologis tersebut tidak boleh membuat perempuan dirugikan dan tempat kerja tidak boleh bersifat netral secara gender karena selama ini lingkungan kerja cenderung dibentuk dengan hanya menguntungkan pekerja laki-laki.

Pandangan lain lagi muncul bahwa yang penting adalah bukan soal ”perlakuan setara” atau ”perlakuan istimewa” namun justru bagaimana menciptakan suasana sektor publik dan sektor privat (rumah tangga) yang tidak bersifat subordinasi dan ramah bagi perempuan maupun laki-laki. ((Lihat dalam Williams, Wendi W., 1993, Equality’s Riddle: Pregnancy and the Equal Treatment/Special Treatment Debate. Feminist Legal Theory: Foundation, Weisberg, D. Kelly, Ed., temple University Press, Philadelphia. Hlm. 142-152; Kreiger, Linda J. and Patricia N. Cooney, ibid., The Miller-Wohl Controversy: Equal Treatment, Positive Action and The Meaning of Women’s Equality. Temple University Press. Hlm. 156-168))

Feminist Legal Theory juga menolak dikotomi hukum privat dan hukum publik. Laki-laki mendominasi baik ranah publik maupun domestik diantaranya melalui intrumen hukum yang lebih banyak mengatur masalah publik. Ketidak hadiran hukum pada persoalan-persoalan privat rumah tangga berkontribusi pada dominasi laki-laki kepatuhan perempuan atas laki-laki. ((Taub, Nadine and Elizabeth M. Schneider, ibid., Women’s Subordination and Role of Law. Tempe University Press, Philadephia. Hlm. 9-10))

Pemisahan ini juga mengandung pengertian bahwa ranah privat dianggap lebih rendah dari wilayah publik. ((Arifia, Gadis, 2003, hlm. 100)) Karenanya kekerasan di wilayah domestik juga harus dianggap sebagai tindak kejahatan.

Feminist legal theory memperjuangkan konsep hukum yang didasari oleh pengalaman perempuan sebagai starting point. Kesadaran hukum bagi perempuanpun perlu dibangun untuk memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama.

Metode hukum feminist menurut Barlett berakar pada epistemology yang memfokuskan pada tiga pertanyaan, pertama, menanyakan perempuan tentang apa yang dibutuhkan untuk diungkapkan. Harus dilihat apakah hukum memberi implikasi gender dan tidak mengekalkan subordinasi perempuan.

Kedua, mengutamakan alas an praktis feminis yang meliputi beberapa aspek deduktif logis tetapi dimasukkan dalam pertimbangan pengalaman-pengalaman unik dan menekan. Pendekatan ini tidak hanya dalam satu dimensi fenomena tetapi menyoroti dilemma dengan multiperspektif, kontradiksi dan konsisten; ketiga, munculnya kesadaran, yang bertujuan untuk penguatan individu dan kelompok, tidak hanya untuk dendam pribadi. ((Widanti, Agnes, 2005, Op. Cit., hlm. 65))

Pengkajian kritis hukum yang terkait dengan feminis, terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, meliputi;

  • Pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan ini penting sebagai dasar pertimbangan bagi penalaran hukum baru.
  • Bias gender secara implisit. Hal ini terlihat melalui berbagai perundangan yang terkesan netral dan objektif, namun ternyata tidak demikian.
  • Ikatan ganda dan dilemma dari perbedaan. Tidak tersedianya pilihan bagi perempuan sehingga kemudian mau tidak mau harus mengambil pilihan yang sesungguhnya merugikan dan tidak adil baginya, contoh: perempuan korban KDRT, perempuan dalam dilemma antara karier dan pekerjaan rumah tangga.
  • Reproduksi model dominasi laki-laki. Pembentuk undang-undang atau kebijakan seringkali mereproduksi peraturan yang seolah-olah berpihak pada perempuan, namun sesunggunya tidak lebih baik dan tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi perempuan. Misalnya, perda tentang larangan perempuan keluar malam, alasannya untuk melindungi, tapi sesungguhnya lebih untuk mengontrol dan membatasi.
  • Membuka pilihan-pilihan bagi perempuan. Hukum beranggapan bahwa pilihan yang dimiliki (dipilih oleh) perempuan berasal dari kenyataan biologisnya, khususnya kodrat alamiahnya yang akhirnya memotivasi perempuan untuk menjalankan kegiatan secara tradisional sehingga hukum menganggp perempuan bertanggungjawab atas hal tersebut. Pilihan yang dipilih perempuan tersebut seringkali dipengaruhi oleh kesempatan yang tersedian untuknya dan kultur dominan yang ada di antara mereka. Perempuan yang memilih mengembangkan karir dan meninggalkan pekerjaan domestik, dianggap sebagai ‘meninggalkan kodratnya.’ ((Savitri, Niken, 2008 Hlm. 46-49))

Ditulis oleh Saeroni, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mad, saat ini aktif di Rifka Annisa dan Aliansi Laki-laki Baru.

About Saeroni

Salah satu pegiat Aliansi Laki-laki Baru dan aktif di Rifka Annisa, Yogyakarta.

Check Also

Ilustrasi

Idola Kampus, Kekuasaan dan Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual masih menjadi masalah akut di Indonesia. Komnas perempuan dalam catatan Tahunan 2020 melaporkan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *