Categories: Wacana

Gurita Kekerasan Seksual: Diam Bukan Jawaban

Ancaman serangan seksual yang paling berbahaya dan paling banyak terjadi, pelakunya justru dari pihak yang dikenal, atau dekat dengan kehidupan sehari-hari korban. Lihat saja bagaimana hampir setiap hari kita dibuat miris dengan berita dari media masa yang menginformasikan kasus kekerasan seksual dengan pelaku yang berasal dari tetangga, family, ayah, pacar, atau pihak-pihak yang masih berinteraksi dengan kehidupan sehari-sehari sang korban. Padahal, terkait ancamanan kekerasan seksual, publik pernah mengarahkan perhatiannya pada jalanan dan kendaraan angkutan umum. Dengan begitu dapat kita tarik satu review, bila di dalam rumah saja sudah menjadi horor bagi perempuan dan anak-anak, bagaimana dengan di jalanan? Lalu di manakah tempat aman bagi perempuan untuk ia terbebas dari ancaman serangan seksual?
Sementara itu pihak berwenang justru melakukan blunder akibat ketidakpekaan perspektifnya terhadap perempuan, alih-alih membuat kebijakan untuk menjamin rasa aman, justru mengontrol tubuh dan kehidupan perempuan dengan beragam peraturan yang mengekang.
Perkosaan dan Relasi Kuasa
Ketika terjadi kasus perkosaan di mana pelakunya adalah orang yang dikenal oleh korban, publik, bahkan penegak hukum, perspektifnya seperti sudah tersistem, bahwa itu bukan perkosaan, tetapi hubungan seksual atas dasar suka sama suka, apalagi bila yang dilaporkan sebagai pelaku adalah sang pacar. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa banyak kasus kekerasan seksual semacam itu tidak dilaporkan, karena korban menganggap hanya akan menggali “kubur” bagi dirinya sendiri. Apalagi bila korban tidak mengenal lembaga bantuan hukum atau pendamping yang akan mengadvokasi dirinya, maka kasus kekerasan seksual yang menimpanya akan ia telan sendirian.
Lain lagi bila kekerasan seksual dengan pelaku yang memiliki kuasa (power) atas korban, seperti guru, dosen, atasan, tokoh masyarakat, pejabat, dan pihak-pihak yang secara struktur sosial memiliki pengaruh. Pada banyak kasus, kesaksian korban perkosaan justru diragukan, bahkan kesaksian korban dianggap sebagai upaya fitnah terhadap pelaku, akibatnya korban justru yang dilaporkan kembali ke aparat penegak hukum.
Selain itu, banyak pihak terjebak pada istilah perkosaan adalah terjadinya hubungan seks, dan karena kedangkalan makna, maka kemudian banyak pejabat yang menjadikan kasus perkosaan sebagai lelucon yang mengasyikan bagi mereka. Padahal perkosaan bukanlah semata-mata tentang hubungan seks, tetapi perkosaan adalah tentang relasi kuasa yang tidak imbang, dan di sana ada ancaman-ancaman dari pelaku. Karenanya, akibat ketimpangan cara berpikir tentang kekerasan seksual, banyak kasus perkosaan yang opininya kemudian dialihkan menjadi hubungan suka sama suka, sehingga melencenglah makna pemaksaan kehendak sang pelaku yang memiliki power.
Menggugah Mayoritas yang Diam
Kekerasan seksual seharusnya tidak dianggap kasus yang sederhana, sehingga ia sulit mencuri perhatian kita pada persoalan tersebut. Menjadi peduli pada kasus kekerasan seksual jangan sampai menunggu harus orang terdekat atau kita sendiri yang menjadi korban, karena itu mulailah bergerak dari yang paling mudah dan sangat dekat.
1. Turut Kampanye
Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi media sosial, kita bisa melakukan kampanye murah melawan kekerasan seksual dengan memberikan opini, pendapat, hingga memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual. Selain media sosial, maksimalkan juga relasi pertemanan, baik pertemanan di media sosial, atau dikehidupan sehari-hari untuk membahas isu kekerasan seksual, serta memberikan opini terkait keberpihakan pada korban. Selain itu, jangan lupakan keluarga serta orang terdekat untuk membahas isu tersebut, dengan begitu, kita berharap gerakan melawan kekerasan seksual semakin massif.
2. Sanksi Sosial
Indonesia bisa dibilang negeri yang aneh. Tetapi sayangnya aneh bukan karena unik, tetapi aneh karena tidak memiliki rasa malu bagi pelaku kejahatan, terutama pelaku perkosaan. Ironisnya lagi, salah kaprah sebagian masyarakat, khususnya laki-laki tentang maskulinitas, justru mengukur maskulinitas dari seberapa brengseknya dia, dan hal itu (brengsek) dianggap sebagai laki-laki pemberani yang tidak gentar dengan tantangan. Untuk itulah, memberikan hukuman sosial pada pelaku kekerasan seksual harus diterapkan. Alasannya sangat sederhana, selain karena masa hukuman penjara yang sangat tidak setimpal dengan perbuatannya, juga sebagai pembelajaran kepada pelaku dan masyarakat, bahwa apa yang dilakukan pelaku merupakan perbuatan kejahatan yang sangat buruk.

Wawan Suwandi

Kordinator Aliansi laki-laki Baru wilayah Jakarta

Recent Posts

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas…

5 bulan ago

Kegentingan Perkawinan Anak

Masalah tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia kembali mencuat. Hal ini dipicu data Pengadilan…

1 tahun ago

Menjadi Suami dan Ayah Seutuhnya

MENJADI SUAMI DAN AYAH SEUTUHNYA Oleh : Nur Hasyim Secara sosial laki-laki yang sudah menikah…

2 tahun ago

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan  Penulis: Ahmad Syahroni Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru   Seiring…

2 tahun ago

Menjadi Keluarga Adaptif Di Saat Pandemi

Oleh : Nur Hasyim Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru Pandemi telah mendorong terjadinya perubahan mendasar dalam…

2 tahun ago

Partisipasi Laki-laki di Ranah Domestik Meningkatkan Akses dan Kemitraan Gender Perempuan dalam Ekonomi

Partisipasi Laki-laki di Ranah Domestik Meningkatkan Akses dan Kemitraan Gender Perempuan   dalam Ekonomi Oleh: Saeroni,…

2 tahun ago