Referensi

Idola Kampus, Kekuasaan dan Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual masih menjadi masalah akut di Indonesia. Komnas perempuan dalam catatan Tahunan 2020 melaporkan bahwa sepanjang tahun 2019 tercatat 2.807 kasus kekerasan seksual di ranah privat dan 3.602 kasus di ranah publik (Komnas Perempuan, 2020). Berita tentang kasus kekerasan seksual yang dilaporan media cetak maupun elektronik juga tidak pernah sepi. Beberapa waktu terakhir, perhatian masyarakat tertuju pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kampus Perguruan Tinggi. Kasus-kasus ini membuka tabir bahwa lembaga terhormat itu tidak bersih dari tindak kejahatan terhadap kemanusiaan ini.

Tirto.id secara khusus melakukan investigasi terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Kampus. Investagasi ini berhasil menghimpun laporan yang cukup mencengangkan. Tirto.id berhasil mengungkap 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus perguruan tinggi yang tersebar di 29 kota di Indonesia (Tirto.id, 2019). Liputan Tirto.id ini memecah kebisuan terhadap kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan tinggi. Selama ini kekerasan seksual di kampus hanya menjadi rumor, ada beberapa kasus yang muncul ke permukaan namun seringkali penyelesaiannya tidak jelas. Tidak sedikit kampus yang justru menyembunyikan, menutup rapat demi “nama baik” kampus bahkan di antara otoritas kampus cenderung melindungi pelaku karena pelaku adalah orang penting secara keilmuan, berjasa karena memenangkan proyek pembangunan fisik, atau karena para petinggi kampus juga memiliki riwayat yang tidak bersih terkait dengan persoalan kekerasan seksual.

Di antara kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus, terdapat kasus dengan pelaku tunggal namun jumlah korbannya banyak, seperti yang pernah terjadi di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Dalam kasus seperti ini biasanya pelaku adalah sosok berpengaruh, penting, atau menjadi idola baik karena keilmuannya, kiprahnya di kampus, penampilan yang menarik atau gabungan dari ketiganya. Modusnya beragam di antaranya dalih membantu korban secara akademik, memberikan bimbingan, konsultasi, kursus privat, menjadikan asisten atau menawarkan buku-buku untuk peningkatan kapasitas akademik korban.

Dalam kasus korban yang mengidolakan pelakunya, dinamika hubungan antara pelaku dan korban sangat khas. Korban pada awalnya merasa bergairah karena memiliki hubungan dengan pelaku yang diidolakan dan disukai banyak orang sebelum akhirnya sadar bahwa mereka menjadi korban kekerasan. Kegairahan, emosi yang meluap-luap penggemar inilah yang sebenarnya meletakkan mereka pada posisi rentan dan beresiko terhadap kekerasan. Kasus-kasus seperti ini biasanya bersifat kompleks dan rumit karena hubungan antara pelaku dan korban diwarnai romantisme, harapan, teror dan kekerasan. Kompleksitas kasus kekerasan seksual yang terjadi antara idola dan yang mengidolakan ini sering membuat pendamping mengalami kebingungan dalam melakukan penanganan kasus karena berhadapan dengan penyintas yang berubah-ubah emosi dan sikapnya terhadap pelaku.

Artikel ini hendak mendiskusikan kompleksitas pola hubungan kasus kekerasan seksual antara idola dan yang mengidolakan dalam setting perguruan tinggi. Idola dalam tulisan ini mencakup dosen, mahasiswa atau unsur lain dalam lingkungan kampus. Artikel ini hendak menjawab bagaimana pola hubungan idola (pelaku kekerasan seksual) dan yang mengidolakan (korban kekerasan seksual) dan bagaimana faktor resiko dan kerentanan kekerasan dalam hubungan idola-penggemar dalam konteks perguruan tinggi.

Sehubungan dengan keterbatasan kajian tentang pola hubungan pelaku kekerasan seksual yang menjadi idola korbannya maka saya mencoba melacak studi-studi yang membahas pola hubungan penggemar dan idolanya atau yang sering disebut sebagai fandom culture (budaya penggemar). Sebagain besar kajian hubungan penggemar dan idola terkait dengan budaya populer seperti musik, film, dan program TV. Kajian-kajian yang ada juga menunjukkan bahwa pola hubungan idola dan penggemarnya sangat beragam (Paramita, 2018; Wohlfeil, 2011), keberagaman ini dapat dipengaruhi banyak hal misalnya jenis kelamin. Fanboy dan fangirlcenderung memiliki pola hubungan dengan idola yang berbeda, demikian juga idola individu dengan idola yang tergabung dalam kelompok atau organisasi penggemar (Paramita, 2018).

Salah satu tulisan yang membahas pola hubungan idola dan penggemar di dunia hiburan adalah tulisan Izu Mizumi yang mengkaji hubungan artis K-Pop dan penggemarnya di Korea Selatan. Mizumi menggambarkan salah satu di antara pola hubungan penggemar K-Pop dengan idolanya adalah adanya penggemar yang memiliki kecenderungan melakukan segala cara untuk menarik perhatian sang Idola. Misalnya penggemar menulis surat kepada idolanya dengan menggunakan darah haid atau menggunakan rambut kemaluan (pubic hair). Ada juga penggemar yang menjual jasa seksual kepada sopir taksi agar dapat membututi idola mereka (Mizumi, 2017). Atas kecenderungan penggemar menguntit idolanya inilah meraka juga digambarkan sebaga delutional stalker atau penguntit yang delusif, irasional dan terobsesi dengan idolanya (Wohlfeil, 2011).

Izumi juga mengamati reaksi penggemar terhadap adegan-adegan yang tersaji dalam videoklip idola terutama adegan yang mengandung unsur kekerasan. Sebagai contoh adegan sang idola yang ditikam dengan menggunakan pecahan botol, reaksi penggemar terhadap adegan ini adalah bukan pada kekerasannya akan tetapi justru bereaksi bahwa betapa kuat dan maskulinnya idola mereka. Sedangkan reaksi terhadap klip yang mengandung unsur kekerasan domestik, para penggemar cenderung mengabaikannya (Mizumi, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa penggemar dapat memaknai berbeda dari pandangan umum terhadap apa yang dilakukan atau dialami oleh idolanya.

Penulis lainnya menggambarkan para penggemar ini seperti penganut sebuah agama yang menyembah idolanya seperti tuhan melalui ritual bersama dan sakralisasi benda-benda yang berkaitan dengan sang idola (Wohlfeil, 2011). Gambaran ini sejalan dengan arti Idola yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di definisikan sebagai orang, gambar atau patung yang menjadi pujaan. Lebih lanjut, fenomena menjadikan idola seperti tuhan sejalan dengan asal kata idola yang memiliki akar dari bahasa Prancis, idole yang berarti Tuhan kaum pagan. Dalam tradisi Hindu, patung-patung dewa mereka di sebut sebagai religious idol (patung relijius).

Mengacu pada beberapa analisis di atas tergambar bagaimana pola hubungan antara idola dan penggemar menunjukkan bahwa penggemar berada dalam situasi terasing dengan dirinya sendiri karena hidup dipenuhi obsesi akan idolanya. Penggemar juga berada dalam situasi delusif karena dipenuhi dengan fantasi akan idolanya yang membuat penggemar hidup dalam situasi yang jauh dari kenyataan. Para penggemar tanpa mereka sadari berada dalam perangkap, penundukan halus, dan kekuasaan idolanya. Dengan situasi ini maka salah satu pola hubungan idola dan penggemarnya diwarnai dengan relasi kekuasaan yang kuat dan cenderung tidak seimbang. Relasi kuasa yang tidak seimbang antara idola dan penggemar ini berkelindan dengan pola relasi kuasa atas dasar identitas sosial lainnya seperti gender, kelas, warna kulit, kewarganegaraan dan sebagainya.

Meksipun dalam konteks relasi yang berbeda, hubungan antara idola dan penggemar dalam budaya populer menurut penulis dapat digunakan sebagai kerangka analisis untuk memahami pola relasi pelaku kekerasan seksual dan korban yang mengidolakannya di lingkungan perguruan tinggi. Dengan menggunakan pola hubungan idola dan penggemar dalam industri musik, film atau TV sebagaimana diuraikan, pola hubungan korban kekerasan seksual dengan pelaku yang merupakan idolanya dapat dijelaskan dengan beberapa karakteristik berikut; pertama, hubungan yang obsesif dan irasional. Hubungan ini terkait dengan ketertarikan romantis korban terhadap pelaku (romantic attraction). Hal ini ditandai dengan kepedulian yang berlebihan dan cenderung tidak masuk akal. Pada tingkat tertentu ada kecenderungan posesif atau hasrat untuk memiliki sang idola. Dalam hubungan seperti ini, pendamping akan menemukan situasi korban yang menunjukkan kecemburuan korban dengan orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan pelaku bahkan mungkin cemburu dengan pasangan pelaku ketika pelaku berstatus menikah. Pada kasus tertentu, ada korban yang menggunakan pengaduan kasus sebagai strategi untuk mendapatkan perhatian dari pelaku. Situasi ini yang kerapkali mempengaruhi mengapa korban cenderung berubah-ubah sikap pada saat tertentu menggebu ingin melaporkan pelaku namun pada saat yang lain tidak ingin melaporkan pelaku, bahkan masih membangun hubungan dengan pelaku meskipun proses pendampingan sedang berjalan.

Kedua, hubungan penghambaan dan pengendalian. Dalam hubungan seperti in korban memperlakukan pelaku seperti sesembahan sehingga korban berada dalam kontrol penuh pelaku. Hal ini ditunjukkan dengan korban menuruti semua keinginan pelaku. Misalnya korban mengikuti segala yang diinginkan oleh pelaku seperti melakukan seluruh keinginan pelaku melalui video call seperti telanjang di depan kamera, menunjukan bagian-bagian tubuh tertentu, memperagakan gaya-gaya dalam melakukan hubungan seksual.

Ketiga, hubungan yang delusif. Hubungan ini ditandai dengan situasi korban yang hidup dalam fantasi atau tidak sejalan dengan realitas. Dalam industri musik atau film dikenal dengan istilah fanfiction atau penggemar mengarang cerita fiksi terkait idolanya. Jadi dengan analogi ini korban kekerasan seksual yang mengidolakan pelakunya hidup dalam dunia fiksi. Di antara gejala dari hubungan ini adalah korban memberikan pemaknaan terhadap perilaku pelaku yang berbeda dengan pemaknaan umum misalnya korban akan cenderung mengabaikan kenyataan bahwa pelaku telah memiliki isteri dan menganggapkan tidak masalah sementara secara pandangan umum melihat hubungan di luar perkawinan dengan seseorang yang sudah menikah adalah tidak dibenarkan.

Dalam pola hubungan idola kampus dan penggemarnya –sebagaimana telah dibahas– sangat rentan dan beresiko terjadi kekerasan termasuk kekerasan seksual. Lebih-lebih ketika sang idola memahami dan memanfaatkan dinamika emosional penggemar serta menggunakan kekuasaan dan kontrol yang ia miliki untuk memenuhi kepentingan dan hasrat pribadinya. Itulah mengapa korban kekerasan seksual dari pelaku yang menjadi idola biasanya lebih dari satu orang. Lebih lanjut, dalam konteks masyarakat dengan rape culture (budaya perkosaan) dan tendensi blaming the victim (menyalahkan korban) yang kuat, pelaku kekerasan seksual lebih cenderung diuntungkan misalnya dianggap kekerasan seksual yang dilakukannya dianggap biasa, normal, dan sebuah kewajaran dari seorang yang diidolakan apalagi dalam norma maskulinitas yang di antaranya menilai status laki-laki dari seberapa banyak perempuan yang dapat dapat ditaklukkan. Sebaliknya korban rentan disalahkan bahkan oleh kelompok perempuan sendiri dengan menilai korbanlah yang menginginkan hubungan itu, kegenitan, analogi kucing dan ikan asin serta korban dinilai memiliki agenda tersembunyi untuk memiliki hubungan dengan pelaku.

Dalam dinamika kasus seperti ini para pendamping dituntut untuk memiliki pemahaman yang memadai terhadap kompleksitas kasus sehingga memiliki kesiapan mental dalam menghadapi sikap dan perilaku korban yang berubah-ubah. Dengan pemahaman akan kompleksitas hubungan pelaku dan korban ini, pendamping juga dapat menjelaskan unsur-unsur kekerasan yang kerapkali diragukan dan dipertanyakan dalam proses hukum. Terakhir, pemahaman pendamping akan situasi ini juga menyiapkan pendamping tentang berapa cadangan energi yang dibutuhkan dalam pendampingan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi idola di sebuah perguruan tinggi.

Wallahua’lam

Daftar Bacaan

  • Komnas Perempuan. (2020). Kekerasan Meningkat : Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan . Jakarta: Komnas Perempuan .
  • Mizumi, I. (2017, May 4). Understanding the Kpop Idol Fan Culture. Retrieved from medium.com: https://medium.com/@isu.mizumi/understanding-the-kpop-idol-fan-culture-b65baea82ec4
  • Paramita, J. S. (2018, Desember). Makna Idola Dalam Pandangan Penggemar (Studi Komparasi Interaksi Parasosial Fanboy dan Fangirl ARMY Terhadap BTS). Koneksi, 2(2), 393 – 400.
  • Tirto.id. (2019). Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota.
  • Wohlfeil, M. (2011). Life As A Jena Malone Fan: An Introspektif Study of a Consumer’s Fan Relationship with a Film Actress. Waterford: Waterford Institute of Technology.
Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Recent Posts

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas…

5 bulan ago

Kegentingan Perkawinan Anak

Masalah tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia kembali mencuat. Hal ini dipicu data Pengadilan…

1 tahun ago

Menjadi Suami dan Ayah Seutuhnya

MENJADI SUAMI DAN AYAH SEUTUHNYA Oleh : Nur Hasyim Secara sosial laki-laki yang sudah menikah…

2 tahun ago

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan  Penulis: Ahmad Syahroni Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru   Seiring…

2 tahun ago

Menjadi Keluarga Adaptif Di Saat Pandemi

Oleh : Nur Hasyim Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru Pandemi telah mendorong terjadinya perubahan mendasar dalam…

2 tahun ago

Partisipasi Laki-laki di Ranah Domestik Meningkatkan Akses dan Kemitraan Gender Perempuan dalam Ekonomi

Partisipasi Laki-laki di Ranah Domestik Meningkatkan Akses dan Kemitraan Gender Perempuan   dalam Ekonomi Oleh: Saeroni,…

2 tahun ago