Telah banyak pembahasan yang mengungkapkan bahwa pernikahan sirri atau pernikahan yang tidak dicatatkan berdampak buruk pada kehidupan rumah tangga. Bahkan nikah sirri disebut sebagai salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga.
Sekalipun demikian praktek nikah sirri masih saja terus terjadi. Hal ini tampak dari besarnya jumlah permohonan istbat nikah melalui Pengadilan Agama pada tahun 2012 yang mencapai angka 28.009 perkara (infoperkara.badilag.net). Sebagian besar perkara istbath nikah ini (95%) adalah pernikahan yang terjadi setelah tahun 1974 (Rasyid: 2012).
Artinya pernikahan yang diisbatkan setelah adanya UU No. 1 tahun 1974 tersebut adalah pernikahan yang tidak dicatatkan atau pernikahan yang dilakukan secara sirri.
Tulisan ini tidak akan membahas permasalah hukum yang diakibatkan oleh pernikahan yang dilakukan secara sirri. Namun akan berusaha untuk mengkaji bagaimana dinamikan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam relasi pernikahan sirri berdasarkan pengalaman dan data lembaga layanan Rifka Annisa.
Rifka Annisa adalah sebuah women crisis center pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1993 di wilayah Yogyakata. Tulisan ini akan membahas bagaimana karakteristik korban dan pelaku kekerasan dalam relasi nikah sirri, bagaimana dinamika kekerasan yang dialami, serta faktor-faktor apa yang menyebabkan pernikahan sirri tersebut dapat terjadi.
Sejak tahun 1993 hingga 2012 Rifka Annisa telah pendampingan hampir 5.000 perempuan korban kekerasan. Namun demikian sistem pendataan yang cukup lengkap dan terkomputerisasi baru dilakukan sejak tahun 2000.
Selama tahun 2000 hingga 2012 terdapat 101 kasus pernikahan sirri yang ditangani. Data inilah yang penulis gunakan dalam kajian ini.