Judul di atas mungkin terbaca agak ribet? Semoga tidak. Yang saya maksud dengan judul di atas adalah bagimana kita mencari alasan atau konteks untuk menegaskan bahwa kita masih butuh, bahkan sangat butuh, feminisme saat ini.
Saat ini kita sedang dibikin heboh oleh aksi menolak feminisme (atau lebih tepatnya menolak feminis). Kita sudah tahu, aksi atau lebih tepatnya propaganda atau kampanye “virtual” dengan slogan #IndonesiaTanpaFeminis dikonsolidasi oleh sekelompok perempuan Muslim. Meski “virtual” alias sesungguhnya aksi ini sama sekali tidak memiliki basis massa aksi solid –hanya berbasis “follower— dan basis pemikiran yang kuat –hanya berdasar claim of truth–, dengan dinamika kehidupan sosial-politik yang saat ini lebih fokus pada kehidupan virtual, aksi ini tetap bisa berkembang menjadi wacana publik.
Kampanye dan propganda ini memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan saat ini terkait menguatnya kembali gerakan sosial-politik yang berambisi menghadirkan Islam sebagai identitas politik, baik formal maupun informal dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi ini –bagian dari gerakan politik Islam– kampanye #IndonesiaTanpaFeminis memang mengandung aspek serius. Kampanye ini bukan “sekedar” ekspresi ketidaksetujuan terhadap pemikiran feminisme, tapi bagian dari ambisi politik menjadikan Islam sebagai entitas politik dominan, jika bukan satu-satunya, di Indonesia. Serius bukan?
Di luar aspek serius ini, kampanye #IndonesiaTanpaFeminis menunjukkan aspek komikal atau bahkan komedik. Salah satunya, kampanye ini sesungguhnya sedang menyurakan sebuah kemustahilan; kenyataan yang dibayangkan oleh kampanye ini –Indonesia tanpa feminis– hanya bisa terjadi dalam cerita komik. Tidak mungkin Indonesia menjadi ruang tanpa feminis, apalagi tanpa feminisme.
Feminis dan feminisme adalah bagian dari proses kita menjadi Indonesia. Feminis dan feminisme tidak terpisahkan dari nationalist project kita. Feminisme –dengan para feminisnya- memiliki akar sejarah sosial (social history) yang kuat; akar sejarah yang melahirkan begitu banyak feminis dengan berbagai pemikiran dan aktivisme feminismenya.
Saat ini, pemikiran feminisme juga berkembang sangat pesat. Partisipasi perempuan dalam politik bukan lagi menjadi contoh yang “mengagetkan.” Saat ini, banyak kalangan yang mulai terlibat pada persoalan-persoalan sensitif yang selama ini hanya menjadi konsumsi ekslusif kelompok feminis, seperti, salah satunya persoalan homseksualitas. Kajian dan riset tentang khazanah keagamaan terkait homoseksualitas berkembang begitu kuat di kalangan Islam, seperti inistif beberapa akademisi di UIN Jakarta yang pernah saya dengar. Meski justru perkembangan ini salah satunya yang disasar kampanye semacam #IndonesiaTanpaFeminis, situasi ini menggambarkan feminisme yang semakin menguat dalam masyarakat kita. Perkembangan ini mengindikasikan, kita semakin banyak memiliki feminis. Jika feminisme dikonseptualisasi sebagai keasaran tentang keadilan, perkembangan ini merefleksikan menguatnya keasaran pentingnya keadilan –termasuk merdeka dari diskriminasi dan kekerasan– bagi kelompok gender dan seksualitas yang berbeda-beda. Karenanya, sekali lagi, kampanye semacam #IndonesiaTanpaFeminis adalah adalah komikal dan komedik karena mengkampanyekan kemustahilan.
Sebagai bagian dari gerakan (politik) Islam, kampanye semacam #IndonesiaTanpaFeminis menempuh jalan “kembali pada cara Islam;” tentunya Islam versi mereka, yang menerima secara take for granted insitusi dan ideologi patriarkhisme, misoginisme dan heteronormativisme. Dari “Tubuhku bukan milikku, tapi milik Allah;” “laki-laki adalah pemimpin sekaligus penjaga (guardian) perempuan;” sampai kampanye tentang poligami adalah beberapa contoh jalan “kembali pada cara Islam.” Seperti saya bilang di atas, saat ini pemikiran feminisme telah banyak melibatkan kalangan Islam, salah satunya dengan produk pengetahuan berupa tafsir berperspektif feminisme. Islam justru menjadi solusi atas patriakhi dalam insitusi Islam. Namun, keislaman yang feminis seperti itu bukan bagian dari Islam dalam kategori mereka yang mengkampanyekan “IndonesiaTanpaFeminis. Hanya Islam versi mereka yang otentik dan legitimate disebut Islam.
Dalam realitas sosial, pemikiran keislaman patriarkhal seperti yang mereka kampanyekan telah berimplikasi pada ketiakadilan, diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami kekerasan akibat praktek poligami. Itulah yang terjadi dalam kenyataan sosial. Banyak perempuan yang menjadi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, red) dengan legitimasi agama –seperti suami adalah pemimpin keluarga. Itulah yang terjadi dalam kenyataan sosial. Kampanye semacam #IndonesiaTanpaFeminis dengan slogan “kembali pada cara Islam” menunjukkan sikap yang tidak sensitif terhadap para korban, yang mengalami langsung kekerasan dan ketidakadilan itu. Salah satu agenda paling kuat feminisme adalah membangun sikap sensitif, sikap pembelaan, terhadap para korban kekerasan dan ketidakadilan, khususnya kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Kita justru masih sangat butuh feminisme karena masih banyak di antara kita yang tidak memiliki sensitifitas terhadap korban. Alih-alih mengkampanyekan #IndonesiaTanpaFeminis, kita justru perlu berkampanye #IndonesiaPerluLebihBanyakFeminis.