Mungkinkah Mandatori Konseling bagi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

Pendahuluan
Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan perkara yang membutuhkan penyelesaian multi dimensi, karena dapat menyangkut permasalahan sosial dan kemanusiaan. Penghukuman bagi pelaku saja tidak cukup untuk menanggulangi terjadinya kekerasan, karena sejatinya KDRT disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku. Penghukuman bagi pelaku saja tidaklah cukup memberikan keadilan bagi korban, mengingat seringkali masih meninggalkan permasalahan tersendiri bagi korban, seperti permasalahan ekonomi, psikologis dan sosial serta kesehatan, karena kekerasan yang dialaminya ataupun karena ketidakmandirian korban berkenaan dengan ketidak seimbangan kekuasaan dalam relasi korban dan pelaku. Ketidak seimbangan kekuasaan inilah yang menyebabkan KDRT seringkali terjadi secara berulang, karena ketergantungan dan ketidak mandirian korban berhadapan dengan pelaku yang dominan.
KDRT juga menyangkut permasalahan perlaku dan sistem nilai yang dianut oleh korban maupun pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang berpegaruh pada ketidak seimbangan kuasa di dalam keluarga. Dalam keluarga yang mengikuti noma budaya patriarkhi akan cenderung menempatkan laki-laki atau suami lebih dominan dalam keluarga dan perempuan atau istri sebagai pihak yang subordinat dalam keluarga. Situasi inilah yang menyebabkan perempuan atau istri lebih rentan dan lebih sering menjadi korban kekerasan dalam keluarga, dan laki-laki atau suami sebagai pelaku kekerasan.
Pemidanaan pelaku seringkali juga tidak berakibat pada terjadinya perimbangan kekuasaan dalam hubungan korban dan pelaku, setelahnya. Pendekatan penghukuman seringkali tidak menyentuh aspek perilaku maupun system nilai dan norma-norma dalam keluarga tersebut. Sehingga sekalipun pelaku telah dipidana, namun tetap berpotensi menjadi pelaku kekerasan, selama perilaku dan nilai-nilai yang diyakininya masih menempatkan dirinya dalam pihak yang dominan dan berkuasa dalam rumah tangga.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana hukum musti menjawab permasalahan ini? Dapatkah hukum menyentuh aspek perubahan perilaku dan sistem nilai pelaku kekerasan agar tujuan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) untuk mencegah dan menjaga keutuhan rumah tangga dapat terpenuhi?
Pendekatan Restorative Justice dalam Perkara KDRT
Ridwan Mansyur, dalam buku disertasinya “Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”, mengemukakan bahwa dalam penyelesaian perkara KDRT selama ini lebih menekankan pendekatan pemidanaan, sehingga tujuan dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk mencegah KDRT, melindungi korban KDRT dan memelihara keutuhan rumah tangga, tidak terpenuhi. Hanya tujuan represif atau menindak pelaku KDRT saja yang terpenuhi. Hal ini karena sistem peradilan pidana Indonesia sama sekali tidak bersifat konsolidatif, dalam artian bersifat memelihara kutuhan rumah tangga, sehingga penyelesaian KDRT menurut UUPKDRT tersebut tidaklah efektif. Dalam pandangannya perkara KDRT musti diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Salah satu bentuk mekanisme restorative justice adalah dialog atau yang dikenal dengan istilah mediasi penal. ((Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), (Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2010), hal. 259-260)) (Ridwan Mansyur: 2010).
Barda Nawawi Arief, dalam pandanganya menyatakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan haruslah dilakukan secara integral, karena kejahatan merupakan permasalahan kemanusiaan dan sosial. Sanksi pidana tidak mampu memberantas sumber masalah dan mencegah terulangnya kejahatan pelaku. Menurutnya, hakikat berfungsinya hukum pidana sebagai obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata (simtomatik) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas (kausatif). ((Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998), hal. 44-45)) Pandangan ini sangat relevan dengan pendapat Ridwan Mansyur yang mengajukan pendekatan restorative melalui mediasi penal sebagai penyelesaian perkara KDRT.
Namun pendekatan restorative tersebut bukanlah tanpa masalah. Fatahilah A. Syukur dalam bukunya “Mediasi Penal KDRT: Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia”, mengemukakan bahwa pendekatan restorative berpotensi memprivatisasi KDRT sebagai persoalan keluarga semata dan sedikit memberikan perlindungan pada korban. Prinsip self determination yang ada dalam mediadi akan menempatkan korban KDRT yang relative berada dalam posisi lemah tidak mampu bernegosiasi secara konstruktif untuk diri sendiri dikarenakan ketidak seimbangan kuasa (power imbalance). Demikian pula pelaku KDRT biasanya juga sulit diajak kerjasama dengan baik dalam proses negosiasi karena terbiasa menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya pada korban. ((Fatahilah A. Syukur, Mediasi Penal KDRT: Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia (CV. Mandar Maju, Bandung, 2011), hal. 19)) Lebih lanjut Profesor Hilary Astor, seorang pakar mediasi dari Australia, menambahkan bahwa proses mediasi dapat memberikan beban yang sangat berat bagi korban KDRT (yang kebanyakan adalah perempuan) yang harus berhadap dengan pelaku di ruang sidang mediasi, proses mediasi juga bisa membahayakan korban bilamana tidak segera memberikan proteksi terlebih dahulu terhadap korban terhadap serangan pelaku. ((Ibid, hal. 71))
Berdasarkan pertimbangan di atas, Fatahilah A. Syukur mengemukakan beberapa prasayarat subatantif agar mediasi penal bisa menjadi metode yang efektif penyelesaian perkara KDRT, yaitu; ((Ibid, hal. 75))

  • Pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab dan memperbaiki diri hingga KDRT tidak berulang;
  • Mediasi penal lebih baik ditujukan untuk pelaku pemula yang belum pernah dihukum pengadilan sebelumnya;
  • Korban bersedia untuk menempuh proses mediasi penal dengan bekal informasi yang cukup dan bersikap realistis terhadap kemungkinan hasil yang bisa dicapai;
  • Kedua belah pihak (korban dan pelaku) hadir dalam persidangan awal untuk ditanyakan kesediannya menjalani proses mediasi penal dan selalu hadir dalm setiap tahapan proses mediasi penal;
  • Pelaku wajib mengikuti konseling untuk menyembuhkan perilaku kekerasan;
  • Pelaku wajib membayar ganti rugi kepada korbanuntuk biaya pemulihan penderitaan atas kekerasan yang dialami bila korban KDRT menghendaki, terutama bila tetap terjadi perceraian. Dengan demikian mediasi penal juga memberi keadilan kepada korban dimana selama ini pelaku justru membayar denda pada negara.

Pendekatan mediasi ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam lingkup peradilan perdata, atau yang lebih dikenal dengan istilah mediasi saja. Berdasarkan pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2008, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib diupayakan mediasi terlebih dahulu. Bahkan peluang dilakukanya mediasi ini juga dibuka di tingkat banding, kasasi ataupun peninjauan kembali sepanjang perkara tersebut belum diputus (pasal 21 Perma No. 1 Tahun 2008). Sehingga dalam konteks KDRT yang menempuh peradilan perdata di Pengadilan Agama, akan selalu terlebih dahulu dilakukan proses mediasi. ((Lebih lanjut tentang mediasi perkara KDRT di Pengadilan Agama lihat Fatahilah A. Syukur, op.cit. Hal. 99- 105))
Pentingnya Konseling bagi Pelaku dalam Proses Mediasi
Menarik untuk dicermati beberapa syarat substantive yang diajukan oleh Fatahilah A. Syukur di atas, yaitu bahwa pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab dan memperbaiki diri hingga KDRT tidak berulang serta syarat bahwa pelaku wajib mengikuti konseling penyembuhan perilaku kekerasan. Syarat ini menjadi sangat penting mengingat berdasarkan pengalaman Rifka Annisa dalam melakukan konseling perubahan perilaku laki-laki dalam konteks rumah tangga dihadapkan oleh karakteristik pelaku yang tidak mudah untuk diajak bernegosiasi dan menyadari perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kebanyakan laki-laki pelaku kekerasan akan melakukan penyangkalan (denial), menganggap remeh persoalan (minimizing), melakukan pembenaran (justifying), menyalahkan orang lain (blaming others), dan intelektualisasi atau rasionalisasi untuk mendukung tindakannya (intellectualizing).((Rifka Annisa, bahan bacaan untuk konseling laki-laki dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, naskah tidak dipublikasikan.)) Karakter ini terbangun karena laki-laki dibiasakan menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan yang mendominasi, terutama ketika mereka merasa tidak aman atau terancam. Bagi mereka kekuasaan adalah kekuasaan untuk mengatasi dan kekuasaan untuk mengendalikan. Karenanya untuk merubah perilaku kekerasan, pelaku harus belajar menggunakan kekuasaan secara positif dan kekuasaan secara negative. Pelaku perlu belajar bertanggungjawab atas tingkahlakunya dan tidak menyalahkan pihak lain atas kekerasan yang dilakukannya. Ia perlu belajar melihat kekuasaan sebagai kekuatan bersama antara dia dan pasangannya dalam rumah tangga, daripada melihat dirinya sebagai orang yang memiliki kekuasaan dan mengunakannya untuk mengendalikan pasangan. ((Tim RutgersWPF-Mozaic-Rifka Annisa-WCC Cahaya Perempuan, Perangkat Konseling untuk Laki-laki Dalam Konteks Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), (RutgersWPF Indonesia, Jakarta, 2011), hal. 42))
Berdasarkan pengalaman Rifka Annisa dalam memberikan layanan pendampingan bagi perempuan korban KDRT, bukanlah hal yang mudah untuk mengajak laki-laki secara sukarela dan menempatkan dirinya setara dengan korban dalam proses mediasi. Kebanyakan laki-laki pelaku kekerasan yang mengakses layanan Rifka Annisa, mereka bersedia untuk melakukan mediasi manakala mereka memiliki kepentingan yang hendak diperjuangkannya dalam proses mediasi tersebut, seperti pembagian harta goni gini dan pengasuhan anak. Keinginanya untuk mengikuti mediasi seringkali tidak dilandasi oleh kesadarannya untuk bertanggungjawab dan merubah perilaku kekerasannya, namun lebih untuk memenangkan kepentingannya. Sementara keberhasilan proses mediasi juga sangat tergantung pada iktikad baik dari para pihak untuk mencari solusi bersama tanpa harus terjebak pada menang dan kalah. Dalam kasus dimana pelaku telah menyadari tindakannya dan bersedia untuk mengikuti konseling perubahan perilaku, peluang keberhasilan mediasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang sebaliknya.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana mengajak pelaku KDRT untuk mengikuti konseling dan menyadari kesalahannya serta mau bertanggungjawab atas perbuatannya, sebagai dua syarat substantive mediasi seabagaimana yang diajukan oleh Fatahilah A. Syukur di atas? Oleh karenanya menjadi penting untuk membangun mekanisme hukum agar pelaku menyadari perbuatannya dan bersedia untuk memperbaiki diri dan melakukan konseling perubahan perilaku kekerasan yang dilakukanya. Sedikitnya terdapat dua pedekatan yang bisa dilakukan yaitu, secara kesukarelawanan (voluntary) dan secara diwajibkan (mandatory).
Pendekatan secara sukarela dapat dilakukan selama proses mediasi, dimana pelaku secara sukarela mengikuti konseling perubahan perilaku kekerasan. Konseling ini bisa menjadi satu bagian yang disepakati dalam proses mediasi, artinya dalam salah satu klausul kesepakatan mediasi adalah agar pelaku menyadari tindak kekerasan yang dilakukannya dan bersedia mengikuti konseling perubahan perilaku. Dengan kata lain proses mediasi akan berjalan, selama syarat substantive tersebut dipenuhi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip mediasi yang menekankan kesukarelawanan para pihak dalam melakukan mediasi, sehingga akan sangat membantu keberhasilan mediasi. Tetapi bukan berarti pendekatan kesukarelawanan ini tanpa tantangan, karena berdasarkan pengalaman Rifka Annisa mengajak pelaku KDRT secara sukarela mengikuti konseling bukanlah hal yang gampang dilakukan. Sejak tahun 2007 hingga  Juli 2012, sedikitnya telah ada 79 laki-laki yang telah mengakses layanan konseling perubahan perilaku di Rifka Annisa. Jumlah ini hanya meliputi 6,4% dari jumlah klien kekerasan terhadap istri yang mengakses layanan di Rifka Annisa. Artinya peluangnya hanya sekitar 1 orang pelaku  dari 15 kasus KDRT dimana pelakunya bersedia mengikuti konseling perubahan perilaku secara sukarela. Sementara dari yang telah mengikuti konseling tersebut hanya 50% saja yang bersedia melanjutkan konseling berikutnya hingga mendpati adanya perubahan positif, sementaranya selebihnya memilih untuk berhenti pada pertemuan-pertemuan awal. ((Diolah dari data klien konseling Men’s Programe di Rifka Annisa, per Juni 2012))
Pendekatan kedua, konseling bagi pelaku ini bisa dilakukan dengan cara diwajibkan atau mandatory. Meskipun pendekatan mandatory ini bertentangan dengan prinsip mediasi yang menekankan voluntary (kesukarelawanan), namun bisa menjadi mungkin dilakukan bila merujuk pada tujuan UU PKDRT sebagaimana disebutkan sebelumnya. ((Lihat pasal 4 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004)) Sementara pada konteks mediasi tetap berdasarkan prinsip voluntary, artinya baik korban maupun pelaku tetap memiliki hak untuk menolak atau memilih terlibat dalam proses mediasi. Sehingga ketika proses mediasi dilakukan maka syarat substantive tersebut telah dapat dipenuhi.
Mungkinkah Pelaku KDRT Diwajibkan Mengikuti Konseling?
Kemungkinan pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk mengikuti konseling sebenarnya telah diatur dalam pasal 50 UU PKDRT yang menyebutkan bahwa; “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu dari pelaku; b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.” Dalam pasal tersebut jelas bahwa kewajiban mengikuti konseling adalah pidana tambahan, yang hanya mungkin dilakukan setelah adanya putusan pidana.
Namun demikian sebenarnya terdapat alternatif atau peluang hukum yang dapat digunakan untuk mewajibkan pelaku mengikuti konseling, baik dalam proses pidana maupun perdata KDRT. Pertama, dalam konteks protection oder atau surat perintah perlindungan sementara, sebagaimana diatur dalam pasal 28-34 UUPKDRT, korban baik sendiri atau diwakilkan dapat mengajukan surat permohonan perintah perlindungan pada pengadilan. Atas dasar permohonan tersebut pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus dalam surat perintah perlindungan, termasuk di dalamnya menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan yang dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Kondisi khusus dan tambahan perintah perlindungan dalam surat perintah perlindungan tersebut dpat berupa pembatasan gerak pelaku dalam radius dan waktu tertentu dari korban. ((Lihat pasal 28-34 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004))
Kedua, konseling perubahan perilaku sebagai sanksi alternative bagi pelaku KDRT. Mungkin hal ini belum dikenal dalam sistem hukum di Indonesa. Rifka Annisa pernah mendampingi kasus klien laki-laki seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berlibur di Florida, Amerika Serikat, melakukan KDRT terhadap istrinya, berupa pemukulan dan menghalangi istrinya untuk menghubungi kepolisian. Kemudian tetangga hotel dimana ia menginap melaporkan kasusnya ke keamanan hotel, dan kemudian keamanan hotel melaporkannya ke kepolisian setempat. Kasus tersebut ditangani oleh Pengadilan Florida, yang kemudian memutuskan bahwa laki-laki tersebut telah melakukan KDRT, denda USD 500 atau penjara 1 tahun, dan dianggap telah menghalangi menghubungi pihak berwajib didena USD 1.000 atau penjara 5 tahun. Klien tersebut sempat dikurung semalam di penjara dan kemudian dibebaskan dengan syarat setelah membayar jaminan USD 1.500 dan harus mengikuti konseling perubahan perilaku selama satu tahun. Pengacara klien kemudian menghubungi Rifka Annisa untuk menjadi lembaga pendamping klien mengikuti konseling perubahan perilaku. Selama proses pendampingan, dipantau oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh pengadilan, yaitu Orange.
Pendekatan tersebut menarik, karena pelaku KDRT tidak serta merta langsung dipidana, tetapi ia dapat dikenakan sanksi alternative untuk mengikuti konseling perubahan perilaku, dimana bila dalam proses pendampingan tersebut, dinyatakan klien tidak berhasil melalui proses perubahan periaku, maka sanksi pidana bisa dikenakan. Menariknya selama dalam proses pendampingan konseling, mediasi antara klien (pelaku) dan istrinya (korban) tetap berlangsung. Proses pendampingan yang dilakukan Rifka ini dilaporkan oleh lembaga pemantau independen Orange, dan kemudian dilaporkan ke Pengadilan Florida. Penulis kira pendekatan ini bisa dikaji lebih lanjut untuk diadaptasi bagi pengembangan sistem hukum dalam penanganan KDRT di Indonesia. ((Berdasarkan laporan penanganan klien Men’s Program di Rifka Annisa. Perbandingan mediasi perkara KDRT di beberapa Negara seperti Thailand, Jerman dan Australia dapat dilihat di Fatahilah A. Syukur op.cit hal 186 – 210))
Ketiga, dalam konteks KDRT yang mengajukan kasusnya secara perdata di Pengadilan Agama, misalnya berupa gugatan cerai, mandatory konseling perubahan perlaku juga memiliki peluang untuk diajukan pada proses peradilan perdata melalui gugatan provisional. Gugatan provisional adalah gugatan yang bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan yang sifatnya mendesak untuk dilakukan terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara disamping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.((Abdul Manan, Prof. Dr., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Kencana Media Group, Jakarta, Cet. Ke-5 2008), hal 49)) Dalam gugatan provisional tersebut penggugat dapat mengajukan gugatan provisional, atas pertimbangan keamanan, agar pengadilan memutuskan tergugat untuk dibatasi ruang geraknya dalam radius dan waktu tertentu serta tergugat diwajibkan untuk mengikuti konseling perubahan perilaku. Hal ini sangat mungkin dilakukan berdasarkan pertimbangan terjadinya KDRT sebagaimana yang diatur dalam UUPKDRT. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan tugas dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II edisi revisi tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, UU PKDRT menjadi sumber hukum materil dan hukum acara di Pengadilan Agama. ((Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010 (MARI, Jakarta, 2010), hal. 55-56))
Padangan penulis di atas, tentu saja baru sebatas telaah awal mengenai kemungkinan mandatory konseling bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Kajian lebih lanjut masih harus terus dilakukan, misalnya bagaimana menempatkan mandatory konseling bagi pelaku KDRT ini dilakukan dalam konteks mediasi perkara KDRT baik dalam konteks pidana maupun perdata. Kanjian ini penting mengingat bahwa perkara KDRT bisa menyangkut masalah pidana maupun perdata sekaligus. Pendekatan pemidanaan seringkali tidak menyelesaikan masalah, sebagaimana telah disebutkan diawal, bahkan bisa menimbulkan masalah baru. Mandatory konseling bagi pelaku KDRT penting dilakukan agar tujuan UUPKDRT untuk mencegah terjadinya kekerasan dan menjaga keutuhan rumah tangga dapat terwujud.

About Saeroni

Salah satu pegiat Aliansi Laki-laki Baru dan aktif di Rifka Annisa, Yogyakarta.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

2 comments

  1. Pendekatan Restorative Justice menyajikan sudut pandang yang menarik. Namun tentu disaat menginginkan keluarga tetap utuh menjadi sulit untuk mencapai tujuan tersebut.
    Apakah keluarga besar serta teman dapat pula mendukung pendekatan tersebut?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *