Menjadi Suami dan Ayah Seutuhnya

MENJADI SUAMI DAN AYAH SEUTUHNYA

Oleh : Nur Hasyim

Secara sosial laki-laki yang sudah menikah memiliki status sebagai suami dan ketika sudah memiliki anak, status mereka bertambah menjadi ayah bagi anak-anak mereka. Dalam status sebagai suami dan ayah, norma sosial masyarakat kita yang patriarchal memberikan peran yang begitu ketat meliputi tiga peran utama yakni sebagai pemimpin (leader), sebagai pencari nafkah (provider) dan sebagai pelindung (protector).

Sebagai pemimpin, laki-laki secara sosial menjadi kepala keluarga, selain memiliki otoritas atau kekuasaan penuh di dalam rumah, laki-laki juga menjadi representasi keluarga dalam hubungannya dengan dunia luar misalnya komunitas maupun pemerintah dalam konteks program-program pembangunan. Sebagai pencari nafkah, laki-laki memiliki peran memenuhi kebutuhan fisik-material isteri, anak dan seluruh anggota keluarga. Peran ini biasanya diwujudkan dalam bentuk bekerja yang menghasilkan uang (paid work). Sementara sebagai pelindung, laki-laki memiliki peran untuk menjamin keamanan semua anggota keluarga dari segala bentuk bahaya yang mungkin mengancam keselamatan dan kesejahteraan keluarga.

 

Peran-peran ini di atas tidak selalu mudah dijalankan oleh laki-laki. Ada sebagian laki-laki  yang merasa bahwa peran-peran yang dilekatkan masyarakat pada laki-laki sebagai suami dan ayah itu berat dan sulit untuk ditunaikan. Sebagian laki-laki ini berada dalam situasi konflik antara citra ideal laki-laki dan citra aktualnya (Hasyim dkk, 2009). Lebih lanjut, laki-laki yang berada dalam situasi ini kerapkali juga menghadapi tekanan yang terus menerus untuk dapat mewujudkan citra ideal laki-laki sebagai suami dan ayah sebagaimana dicitrakan oleh masyarakat.

 

Sementara perempuan yang memiliki status sebagai isteri dan ibu secara sosial memiliki peran yang berhubungan dengan perawatan kehidupan (domestic-reproductive) seperti mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan merawat mereka yang membutuhkan seperti anggota keluarga yang sakit atau lansia. Itulah mengapa secara global perempuan harus memikul 2,5 kali lebih berat dari laki-laki untuk kerja-kerja tak berbayar atau unpaid work (ILO, 2016). Beban ini adalah salah satu factor yang menghalangi perempuan berpartisipasi dalam proses-proses pembangunan.

 

Status dan peran sosial laki-laki sebagai suami dan ayah sebagaimana digambarkan di atas nampak baik-baik saja, namun jika ditilik lebih dalam, peran sosial laki-laki tersebut membatasi dan bahkan mereduksi (mengurangi/menyempitkan) hakekat laki-laki sebagai suami dan ayah. Peran suami dan ayah direduksi menjadi semata-mata peran pemenuhan kebutuhan fisik-material isteri dan anak. Selain itu sebagai ayah, peran laki-laki juga direduksi semata sebagai sosok yang memastikan kepatuhan anak dan memberikan hukuman kepada anak tatkala anak tidak patuh dan berbuat salah.

 

Reduksi peran ayah sebagai semata-mata peran pemenuhan kebutuhan fisik dan material isteri, anak dan keluarga ini membuat laki-laki merasa sudah tuntas kewajibannya ketika mereka telah memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan isteri dan anak mereka. Sebagai suami dan ayah, laki-laki tidak menganggap penting memberikan perhatian soal membangun kelekatan (attachment) dengan anak, memastikan kesejahteraan emosional anak, memenuhi kebutuhan spiritual anak dan kebutuhan-kebutuhan non fisik lainnya. Padahal semua kebutuhan non material tersebut memiliki pengaruh besar pada tumbuh kembang anak. Lebih lanjut laki-laki juga tidak merasa perlu meringankan beban isteri dalam menjalankan peran-peran perawatan kehidupan khususnya pengasuhan anak, karena mereka merasa itu bukan peran dan tanggungjawab mereka sebagai laki-laki.

 

Reduksi peran ayah sebagai semata sosok yang mendisiplinkan dan menghukum anak juga menjadikan ayah seperti satuan pengamanan di rumah. Ayah hanya akan dihadirkan figurnya baik secara imajiner maupun secara fisik ketika terjadi masalah pada anak. Kita sering mendengar ungkapan “jangan nakal, nanti saya bilangin ayah”. Ayah digunakan sebagai sosok untuk menakut-nakuti anak.  Situasi ini membuat anak cenderung memiliki citra yang negatif tentang ayah. Ayah menjadi sosok yang menakutkan bukan pengayom atau pelindung bagi anak.

 

Reduksi peran laki-laki sebagai suami dan ayah di atas membawa konsekuensi negatif baik bagi isteri, anak maupun bagi laki-laki sendiri. Di antara konsekuensi itu adalah laki-laki sebagai ayah menjadi berjarak dan tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak. Begitu juga sebaliknya anak tidak dekat secara emosional dengan ayah. Anak merasa butuh dengan ayah hanya berhubungan dengan materi. Kepatuhan anak kepada ayah lebih didasarkan kepada rasa takut dan bukan atas dasar tanggungjawab, penghormatan dan cinta kasih anak kepada ayahnya. Sementara bagi perempuan sebagai isteri dan ibu ketika peran perawatan kehidupan seperti pengasuhan anak menjadi tanggung jawabnya sendiri membuat perempuan memikul beban yang berat dan merasa tidak bahagia dengan kehidupan perkawinannya.

Padahal, jika para suami dan para ayah ditanya untuk apa mereka bekerja? Apa yang mereka perjuangkan sebagai suami dan ayah? Jawabanya adalah kebahagian isteri dan anak. Jika anak-anak dan isteri tidak Bahagia sebagai konsekuensi dan pemaknaan sempit peran suami dan ayah bukankah bertentang dengan apa yang diinginkan laki-laki sendiri sebagai suami dan sebagai ayah.

 

Laki-laki perlu mengetahui bahwa menjadi suami dan ayah tidak melulu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik dan material suami dan isteri akan tetapi juga pemenuhan kebutuhan emosional, spiritual, sosial isteri dan anak-anak. Pemenuhan semua kebutuhan tersebut dijalankan dalam bentuk keterlibatan suami dan ayah dalam pengasuhan dan kerja-kerja perawatan kehidupan. Studi menunjukkan keterlibatan aktif laki-laki sebagai suami dan ayah dalam pengasuhan dan kerja-kerja perawatan kehidupan ini membawa dampak positif di antaranya ayah memiliki hubungan yang baik dan lebih kuat dengan anak baik anak laki-laki maupun perempuan, selain itu keterlibatan laki-laki ini juga membuat pasangan merasa bebannya lebih ringan, memiliki kepuasan seksual dan lebih bahagia kehidupan perkawinannya. Laki-laki yang terlibat dalam pengasuhan anak dan kerja-kerja perawatan kehidupan juga memiliki Kesehatan mental yang lebih baik, memiliki kepuasaan seksual dan kehidupan perkawinan yang lebih bahagia (Barker, et al., 2011).

 


 

Referensi

Barker, G., Contreras, J.M., Heilman, B., Singh, A., Verma, R. and Nascimento, M. (2011). Evolving Men: Initial Results from the International Men and Gender Equality Survey (IMAGES). Washington, DC: International Center for Research on Women (ICRW) and Rio de Janeiro: Instituto Promundo.

Hasyim, N., Kurniawan, A.P., Hayati, E.N., 2009. Menjadi Laki-Laki : Pandangan Laki-Laki Jawa tentang Konsep Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Rifka Annisa dan Open Society Institute.

ILO. (2016). Women at Work, Trend 2016. Women’s Economic Empowerment in the Changing World of Work. https://interactive.unwomen.org/multimedia/infographic/changingworldofwork/en/index.html

About Fauzan Zailani

Seorang karyawan swasta, relawan di Aliansi Laki-laki Baru, Fasilitator Muda Laki-laki Peduli, yang percaya bahwa kesetaraan adalah hak & kewajiban kita semua

Check Also

Menjadi Keluarga Adaptif Di Saat Pandemi

Oleh : Nur Hasyim Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru Pandemi telah mendorong terjadinya perubahan mendasar dalam …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *