Masalah tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia kembali mencuat. Hal ini dipicu data Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo (sebagaimana dilansir beberapa media) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2021 tercatat 266 permohonan dispensasi menikah dan tahun 2022 tercatat 191 permohonan. Ternyata tidak hanya di Ponorogo, tingginya permohonan dispensasi menikah ini juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, 3 kabupaten dengan angka permohonan dispensasi menikah tertinggi pada tahun 2022 adalah Kabupaten Sleman dengan 190 permohonan, Kabupaten Gunung Kidul dengan 141 permohonan dan Kabupaten Bantul dengan 137 permohonan. Data-data ini menunjukkan bahwa angka perkawinan usia anak di Indonesia masih sangat tinggi. Secara nasional UNICEF melaporkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah pada usia di bawah 18 tahun dan setiap harinya diperkirakan ada 375 anak perempuan menikah (BPS, UNICEF, PUSKAPA UI, 2020). Situasi ini menempatkan Indonesia berada pada posisi ke 7 negara-negara di dunia dengan angka perkawinan anak yang tinggi.
Tingginya angka perkawinan anak jelas akan menghambat pencapaian agenda pembangunan nasional dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 – 2024 bahwa agenda ke tiga dari tujuh agenda pembangunan nasional adalah meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Sementara target 5.3 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) adalah menghapuskan semua praktik-praktik berbahaya, termasuk perkawinan usia anak pada 2030. Bagaimana mungkin keluarga dari perkawinan anak dapat menghasilkan generasi berkualitas dan memiliki daya saing jika mereka tidak memiliki kapasitas untuk dapat melahirkan generasi terbaik (khairunnas)?.
Selain itu, perkawinan anak ditengarahi memiliki kaitan erat dengan masalah-masalah genting lainnya di antaranya pertama, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Angka kematian Ibu di Indonesia mencapai 305/100 ribu kelahiran (SUPAS, 2015) sementara Angka Kematian Bayi mencapai 24 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2017). Resiko kematian Ibu dan bayi menjadi tinggi pada ibu hamil dengan status anak karena persoalan organ reproduksi mereka yang belum matang untuk mendukung pertumbuhan janin.
Selain itu, resiko preeklamsia juga dialami oleh ibu hamil di bawah usia 20 tahun yang dapat menyebabkan komplikasi serius pada proses kehamilan dan persalinan. Kedua, stunting atau gagal tumbuh pada bayi. Selain soal organ reproduksi yang belum matang, masalah pemenuhan kebutuhan gizi anak juga masalah yang dihadapi ibu hamil yang berstatus anak karena Ibu hamil masih harus berebut dengan janinnya dalam pemenuhan gizi. Situasi ini membuat gizi janin/anak tidak terpenuhi secara maksimal padahal gizi yang cukup sangat diperlukan dalam 1000 hari pertama kehidupan. Ketiga, putus sekolah. Resiko putus sekolah sangat tinggi bagi anak-anak yang berstatus menikah. Tidak saja soal tantangan membagi waktu antara sekolah dan rumah tangga, akan tetapi juga kebijkan sekolah yang belum sensitive terhadap siswa yang berstatus menikah apalagi untuk siswi yang hamil.
Situasi tingginya angka perkawinan usia anak menunjukkan kegentingan yang menuntut respon segera dari berbagai pihak, baik pemerintah atau para pengambil kebijakan, sekolah, lembaga sosial keagamaan, keluarga maupun masyarakat secara umum.
Di antara yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan, pertama pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas komprehensif. Saatnya untuk berhenti melanggengkan salah paham tentang pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas dan kesehatan komprehensif harus dipahami secara benar yang mencakup tiga hal penting yakni pemahaman anak remaja tentang organ seksual dan reproduksi, fungsi, serta sistemnya. Termasuk di dalamnya pemahaman akan resiko kehamilan, inveksi menular seksual, serta resiko kematian ketika hamil pada usia yang masih belia. Selain resiko kesehatan, anak remaja juga perlu memahami resiko sosial seperti kemungkinan putus sekolah dan hambatan untuk mencapai cita-cita mereka di kemudian hari. Poin penting kedua adalah kecakapan berelasi yang mencakup bagaimana anak remaja dibekali kemampuan berelasi yang setara dan adil. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengatakan tidak terhadap ajakan untuk melakukan tindakan yang beresiko seperti seks di luar perkawinan. Poin ketiga adalah soal nilai-nilai. Anak remaja difasilitasi untuk belajar tentang nilai-nilai sosial dan agama yang hidup di masyarakat terkait dengan soal seksualitas dan reproduksi.
Kedua, kampanye remaja berencana. Apa yang sudah dilakukan pemerintah terkait dengan kampanye GENRE perlu perluas dan menjangkau remaja di pedesaan. Kampanye remaja berencana setidaknya mencakup tiga hal yakni kesadaran akan pentingnya menikah pada usia yang ideal, menjadi remaja yang bertanggungjawab dalam setiap tindakannya, baik tanggungjawab secara individual maupun secara sosial, dan menjadi remaja yang dapat menjaga diri dari penularan HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Dua hal di atas harus melibatkan semua komponen bangsa karena upaya pencegahan perkawinan usia anak ini soal masa depan bangsa.
Oleh : Nur Hasyim
Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru
Tulisan ini pernah dimuat Surat Kabar Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Januari 2023.