Beberapa waktu terakhir, sebuah tagar menjadi viral di media sosial –khususnya Instagram– dan digunakan untuk menyerang poster-poster yang dibawa oleh partisipan aksi Women’s March 2018 di sejumlah daerah di Indonesia. Tagar tersebut ialah #feminismabok. Secara umum, tagar ini digunakan oleh orang-orang yang mengomentari poster-poster terkait otoritas dan kedaulatan tubuh. Di linimasa Instagram saya sendiri, sejumlah teman saya memiliki reaksi yang beragam atas kemunculan tagar ini. Meski demikian, terdapat satu pernyataan dari seorang teman yang saya perhatikan (dan saya pikir perlu kita bicarakan lebih lanjut secara serius). Ia menyatakan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya, orang-orang yang berkomentar miring tentang aksi Women’s March 2018 lalu hanya berisikan laki-laki. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut dan membahas persoalan ini lebih lanjut, saya ingin menegaskan satu hal terlebih dahulu: sebagai seseorang dengan identitas gender laki-laki, saya tidak bermaksud untuk melakukan pembahasan yang defensif dan apologetik. Laki-laki, sebagai satu kategori sosial (pun jika kita dapat mengkategorisasi laki-laki ke dalam satu kotak tersendiri), tentu memiliki peran dalam reproduksi patriarki. Kajian-kajian mengenai homososialitas laki-laki yang didasarkan pada nilai-nilai maskulinitas hegemonik telah menunjukkan bahwa kelompok-kelompok homososial laki-laki dapat memiliki relasi dengan tindakan kekerasan berbasis gender. Meski demikian, apakah kita hanya berbicara tentang laki-laki ketika kita berbicara mengenai patriarki?
Jika kita mengacu pada Sylvia Walby, kita memang dapat melihat bahwa patriarki merujuk pada sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Meski demikian, Walby pun menyatakan bahwa ancangan definitif tersebut merupakan definisi yang masih terlampau umum. Dalam bukunya yang berjudul Theorizing Patriarchy, Walby mengkonseptualisasi patriarki pada sejumlah tataran. Pada tataran yang abstrak, patriarki berwujud sebagai sebuah sistem relasi sosial, sedangkan pada tataran yang tidak demikian abstrak, patriarki terdiri dari enam struktur yang meliputi mode produksi patriarki, relasi patriarki pada pekerjaan dengan upah, relasi patriarki dalam negara, kekerasan laki-laki terhadap perempuan, relasi patriarki dalam seksualitas, dan relasi patriarki dalam lembaga budaya.
Dengan mengacu pada definisi patriarki yang dinyatakan oleh Walby tersebut, kita dapat memahami bahwa patriarki merupakan sistem struktur sosial. Hal inilah, yang bagi saya, menyebabkan patriarki menjadi sulit (catat: sulit, bukan berarti tak mungkin) didekonstruksi. Kesulitan ini muncul karena patriarki tidaklah sekadar karakteristik individual, melainkan ia menubuh dalam struktur sosial, nilai dan norma yang direproduksi ribuan tahun lamanya, dan relasi-relasi yang tak kasat mata. Dengan kata lain, patriarki berakar pada kebudayaan.
Ketika kita memahami patriarki sebagai sistem sosiokultural, maka persoalan lebih lanjut ialah patriarki tidak hanya lekat dengan laki-laki, namun ia dapat diadopsi oleh siapapun. Sederhananya, mengutip bell hooks, “patriarchy has no gender.” Saya pikir, kita harus menyadari bahwa bukan hanya laki-laki yang dapat mereproduksi patriarki (sebagai sistem sosial) dan bukan hanya laki-laki yang dapat merujuk pada nilai-nilai yang patriarkal (sebagai referensi nilai kultural). Lagi-lagi, saya tidak bermaksud defensif dan apologetik. Jika pernyataannya ialah ‘laki-laki lebih diuntungkan oleh patriarki ketimbang perempuan’, saya pun sepakat. Jika kita berbicara mengenai laki-laki sebagai sebuah kategori sosial, tentu patriarki lebih menguntungkan laki-laki, meski pada sejumlah aspek pun laki-laki dapat dirugikan oleh patriarki. Meski demikian, hal yang ingin saya garisbawahi ialah sebagai sebuah sistem kultural, patriarki tidak menjelma sebagai nilai-nilai yang, secara eksklusif, hanya dimiliki oleh laki-laki semata.
Bagi saya pribadi, tentu lebih mudah untuk menghancurkan patriarki jika ia sekadar karakteristik individual. Kita bisa saja, misalnya, langsung menunjuk hidung seseorang dan menyatakan bahwa “orang ini seksis!” atau “orang ini misoginis!”. Setidaknya, menjadi perkara yang lebih mudah bagi kita untuk melakukan pemetaan sosial; siapa saja orang yang patriarkal dan siapa yang tidak. Akan tetapi, dengan memahami bahwa patriarki menubuh dalam kebudayaan, kita dapat memahami bahwa patriarki terejawantah dalam aspek-aspek kehidupan yang tidak melulu konkret dan tangible.
Agar tulisan ini tidak jatuh pada pembahasan yang terlampau abstrak dan seolah teoritik, mari kita bicara soal sejumlah contoh kasus. Salah satu hal yang kerapkali menjadi pertanyaan di benak saya ialah: apakah politisi perempuan pasti mengedepankan agenda politik yang feminis? Saya pikir jawabannya tentu tidak. Terlepas dari kesepakatan saya bahwa ruang-ruang politik terlampau didominasi oleh laki-laki, saya pikir kita pun perlu mengingat ulang bahwa seorang perempuan yang duduk di bangku pemerintahan belum tentu mengedepankan kepentingan perempuan. Margaret Thatcher, misalnya. Sang Iron Lady memang merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Akan tetapi, alih-alih membangun kebijakan demokratik terkait kepentingan perempuan, ia justru melakukan perubahan massif pada beragam bidang: ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial. Dampaknya jelas: kelompok miskin Inggris pada masa tersebut memperoleh dampak yang demikian keras. Kita pun mengetahui bahwa sejumlah gerakan sosial yang interseksional (layaknya Lesbian and Gay Support the Miners dan Lesbian Against Pit Closure) terlibat dalam aksi-aksi protes yang dilakukan oleh para buruh tambang yang terkena dampak kebijakan-kebijakan ekonomi Thatcher.
Contoh lain dapat kita lihat dari ruang-ruang akademia. Selama beberapa dekade terakhir, terdapat kritik bahwa akademia; institusi pendidikan, sekolah, dan universitas, terlampau didominasi oleh laki-laki dan bernuansa maskulin (baik pada fokus studi, metodologi riset, hingga ancangan aksiologis dari akademia itu sendiri). Saya tentu bersepakat. Ketika membaca Feminism and Anthropology dari Henrietta L. Moore, saya tidak bisa tidak bersepakat bahwa metodologi penelitian antropologi pada masa Moore menulis sangatlah maskulin dan mengabaikan perspektif perempuan.
Persoalannya, apakah perempuan yang menjadi akademisi sudah pasti menggunakan metodologi kajian yang feminis? Saya pikir, jawabannya tentu tidak. Contoh sederhana yang demikian kasat mata ialah Aliansi Cinta Keluarga, sebuah kelompok yang terdiri dari sejumlah akademisi –yang mayoritas ialah perempuan– yang gencar melakukan upaya kriminalisasi di ranah hukum pada kelompok minoritas gender dan seksual. Aliansi ini dengan konsisten mengajukan Judicial Review pada KUHP dan mengkritik Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual. Aliansi ini, misalnya, menolak bahwa kejahatan seksual (mereka tidak menggunakan istilah ‘kekerasan seksual’) disebabkan karena ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, namun disebabkan karena hilangnya peran keluarga. Aliansi ini pun menolak gagasan mengenai aktivitas seksual yang konsensual karena dipandang terlampau individualis dan menghilangkan peran keluarga. Dengan demikian, apakah aliansi ini mengejawantahkan metodologi berpikir yang feminis? Saya pikir jawabannya tidak.
Pun jika kita kembali pada konteks Women’s March 2018 dan viralnya tagar #feminismabok, terdapat satu fenomena yang penting untuk diperhatikan. Ketika saya mencoba mengetik tagar #feminismabok di Instagram, saya menemukan sejumlah video yang berkali-kali dipos oleh banyak orang yang berbeda. Video singkat tersebut berisikan narasi seorang perempuan yang mengomentari dua buah poster di Women’s March 2018, menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya lemah dan amat bergantung pada Penciptanya, serta ia menyerukan agar para penonton berhati-hati dengan paham beracun bernama feminisme (dan liberalisme) serta mengajak para penonton –khususnya yang beragama Islam– untuk menyatakan “Saya antifeminisme”. Bagi saya, konten video ini menjadi penting karena video ini dengan gamblang menunjukkan bahwa bukan hanya laki-laki yang dapat mereproduksi nilai-nilai yang patriarkal; tindakan reproduksi nilai patriarkal dan pengejawantahannya pun, saya pikir, dapat dilakukan pula oleh perempuan.
Pada akhirnya, sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menyatakan kembali bahwa saya memang seorang laki-laki dan saya tidak memiliki pengalaman kebertubuhan yang serupa dengan perempuan. Meski demikian, saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyerang perempuan secara partikular atau untuk memecah-belah gerakan perempuan, saya sekadar ingin menyatakan bahwa sebagai sistem struktur sosial, patriarki bukan sekadar acuan tindakan bagi laki-laki, namun ia dapat diadopsi oleh siapapun, tak peduli apa identitas gendernya. Dengan demikian, ketika kita telah menyadari bahwa patriarki dapat diadopsi dan direproduksi oleh siapapun, saya pikir kita harus melihat kembali pentingnya pedagogi kritis dengan epistemologi feminis; bahwa proses penyadaran dan pembelajaran mengenai patriarki dan feminisme tidak dapat sekadar dilakukan hanya pada laki-laki, namun pada siapapun yang hidup di bawah kerangka patriarkal, dengan kata lain, kita semua. Saya pikir, hanya dengan mendekonstruksi patriarki sebagai sistem pengetahuan dan sosiokultural yang holistik dan pervasif, kita dapat melangkah maju untuk membangun peradaban yang adil dan setara.

Selama benevolent sexism masih dinikmati, dan perempaun kietawa2 aja saat laki-laki didiskriminasi di ruang publik. Ya akan gitu2 aja, berharap sekali aktivis2 kesetaraan gender sadar akan hal ini. Sebagai contoh pernah ada yg care amsalah ini?, adakah 1 saja aktivis anda singgun ini? Tidak!
https://news.detik.com/suara-pembaca/d-4500865/evaluasi-ruang-khusus-wanita-busway-dengan-aturan-tambahan
pasti dibilang amsalah kecil atau jangan2 krn korbannya lelaki? Selain itu Tau ada penusukan di halte busway dan korbannya laki-laki?
Bagus sekali tulisannya, Pak. Akan saya jadikan referensi untuk berdiskusi. Para pelaku patriarkis jelas bukan hanya laki-laki saja, saya setuju. Segalanya harus ditinjau secara objektif, bijak, dan berimbang. Terima kasih sudah menuliskan ini. Salam