Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan 

Penulis: Ahmad Syahroni

Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru

 

Seiring waktu, dalam perjalanan panjang umat manusia sampai pada titik peradaban modern di abad 21 dengan begitu banyak lompatan kemajuan dalam berbagai bidang. Luar biasa, bukan?

Tapi begitu ada hal yang sepertinya tidak juga bergerak maju secara signifikan, yakni diskriminasi berbasis gender, atau seseorang mengalami ketidakadilan hanya karena ia lahir sebagai perempuan, dimana situasi demikian masih terjadi hingga hari ini!

Kita tahu, secara biologis, fungsi reproduksi laki-laki dan perempuan tercipta berbeda. Tetapi meski begitu, perbedaan tersebut bersifat pemberian Yang Maha Pencipta, dan semestinya hal itu tidak membuat manusia menciptakan norma sosial yang diskriminatif pada perempuan. Salah satunya ialah stigma bahwa perempuan lemah dan tidak pintar, yang pada akhirnya membatasi perempuan dan mengkonstruksi peran gendernya sebagai orang yang di rumah saja, atau yang biasa disebut sebagai domestifikasi.

 

Hak atas tubuh 

Seksualitas manusia meliputi dimensi yang luas seperti biologis, psikologis, sosial dan kultural. Seksualitas dalam dimensi biologis mencakup pemahaman yang berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk memahami organ reproduksi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konsep hak atas tubuh diri sendiri. Setiap orang memahami bahwa diri dan anggota tubuhnya merupakan satu kesatuan dari keberadaan pribadinya di dalam dunia sejak masa kelahiran hingga kematian, dan dengan demikian secara otomatis memiliki hak atas tubuhnya secara absolut. Konsep kesatuan kepemilikan tubuh ini mendapat dukungan ketika pengakuan atas pentingnya hak asasi manusia (HAM) di deklarasikan melalui deklarasi HAM (Universal Declaration of Human Right) pada tahun 1958. 

 

Interpretasi masyarakat pada tubuh perempuan 

Memahami fungsi reproduksi dalam diri manusia tidak dapat dipisahkan dari pemahaman secara menyeluruh tentang seksualitas dalam dimensi biologis. Organ reproduksi perempuan berbeda dan lebih kompleks daripada organ reproduksi laki-laki, oleh karenanya, fungsi reproduksi dan pengalaman secara biologisnya menjadi lebih kaya untuk dieksplorasi kedalam narasi pengalaman hidup. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, narasi tentang pengalaman biologis perempuan tersebut tidak berkembang sebagai bagian dari pengalaman hidup karena lebih didominasi oleh cerita-cerita pengalaman biologis, persepsi dan fantasi laki-laki.

Sudut pandang masyarakat dalam menarasikan cerita-cerita pengalaman biologis perempuan cenderung ditampilkan sebagai bentuk kelemahan bahkan sebagai aib untuk dapat diceritakan. Pengalaman biologis perempuan jika diceritakan juga harus dalam kapasitas terbatas seperti hanya untuk kelompok perempuan saja atau hanya untuk sebatas pengetahuan dasar saja tanpa disertai dengan apresiasi dan bahkan dalam situasi tertentu malah menjadi sesuatu yang mengerikan. 

Di sisi lain, laki-laki tidak memiliki ruang yang cukup untuk memahami tentang pengalaman biologis perempuan terkait reproduksi dan oleh sebab itu kemudian sulit untuk berempati dalam proses fungsi-fungsi reproduksi perempuan. Laki-laki mengalami kesulitan dalam menterjemahkan rasa sakit perempuan ketika menstruasi, beratnya membawa kandungan di badan setiap hari selama sembilan bulan, sampai kepada sulitnya membayangkan tentang pertaruhan nyawa dalam proses melahirkan dan bersalin.  

Bahkan dalam beberapa tradisi di masyarakat, laki-laki justru dijauhkan dari pengalaman-pengalaman biologis perempuan karena dianggap sesuatu yang tabu atau memalukan untuk perempuan. Contoh sederhana misalnya, perempuan cenderung sembunyi-sembunyi ketika membutuhkan pembalut dan berusaha menghindari keterlibatan saudara laki-lakinya dalam persoalan ini. Beberapa kebiasaan yang lain juga mencegah kehadiran laki-laki (suami/saudara/bapak) dalam proses melahirkan dan bersalin. Tradisi di masyarakat yang cenderung mencegah kehadiran laki-laki dalam proses-proses pengalaman biologis perempuan ini dilandaskan atas pemikiran yang juga menyudutkan perempuan –  bahwa hal tersebut dianggap tabu dan merupakan bentuk kelemahan perempuan. Di sisi lain, praktek pembungkaman pengalaman biologis reproduksi perempuan terjadi pada sudut perempuan itu sendiri, alih-alih pengalaman tersebut menjadi cerita kepahlawanan setiap perempuan, tapi justru menceritakan pengalaman biologis terkait reproduksinya dianggap masyarakat sebagai sebuah ungkapan kelemahan. Kemudian pengaruh intimidatif ini berkembang sebagai arena pembungkaman pengalaman hidup perempuan secara menyeluruh. Secara mental, perempuan telah mendapatkan opresi dari tatanan sosial dimana untuk menceritakan pengalaman biologis atas tubuhnya saja sudah tabu, apalagi membincangkan pengalaman hidupnya.

Dalam konteks lainnya, pengalaman biologis terkait seksualitas baik perempuan maupun laki-laki dalam kehidupan sosial cenderung mengarah kepada fungsi kreasi daripada fungsi rekreasi. Fungsi kreasi yang dimaksud adalah ketika kehidupan sosial mengembangkan narasi reproduksi hanya seputaran kelahiran, memiliki anak, hingga kepada istilah “banyak anak banyak rejeki”. Sehingga mereka yang tidak dapat. atau belum mampu, atau bahkan memilih untuk tidak mau mencapai itu dianggap sebagai sebuah kecacatan reproduksi. Padahal, fungsi biologis pada organ reproduksi tidak melulu tentang upaya menghasilkan keturunan. Dalam konteks hak ketubuhan, setiap orang memiliki pilihan untuk meneruskan keturunan ataupun tidak (salah satu dari 10 hak-hak seksual) dan keputusan tersebut tidak bisa dijadikan dasar oleh masyarakat sebagai bentuk dari “kecacatan”. Seksualitas secara lebih luas juga tentang pelibatan organ reproduksi sebagai fungsi “rekreasi” dimana setiap orang dapat menemukan kepuasan biologisnya dan memiliki pengalaman yang luas sebagai kodrati makhluk seksual apapun jenis kelaminnya. 

Terbatasnya ruang berbagi pengalaman biologis terutama terkait reproduksi perempuan ini sangat berkontribusi pada langgengnya budaya patriarki, di mana narasi tentang kehidupan biologis manusia didominasi oleh perspektif laki-laki. Sementara laki-laki itu sendiri masih lemah dalam proses internalisasi pengalaman biologis perempuan sebagai sesuatu yang alami/natural, reproduksi perempuan (dan juga laki-laki) perlu dipahami secara benar dan obyektif, sehinga tidak perlu dilekatkan dengan mitos, tabu tertentu termasuk heroisme. Maka dari itu, selain laki-laki memberi ruang yang lebih bagi perempuan, dalam rangka membangun narasi kehidupan masa depan menjadi lebih inklusif, maka sudah semestinya penting laki-laki mengedukasi dirinya tentang reproduksi perempuan, sehingga bisa berempati dan menghormatinya.

Pengalaman biologis setiap individu terkait seksualitas termasuk reproduksi adalah sebuah narasi ilmiah yang patut untuk dihormati dan bahkan dijunjung sebagai satu kesatuan utuh hak asasi manusia. Oleh karena itu setiap individu berhak untuk mendapatkan ruang yang nyaman dan aman dalam mengekspresikannya. Setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda sehingga tidak bisa di-generalisasi-kan meskipun cenderung muncul kesamaan persepsi. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk menghormati hal yang terkait kepentingan reproduksinya masing-masing. Langkah ini tidak hanya untuk upaya membangun empati dalam relasi antar manusia tetapi juga menjadi langkah sederhana dalam mencegah tindakan pelecehan dan tindak kekerasan. 

 

Membangun kemitraan untuk bersama berperan

Kekhasan reproduksi perempuan bukan kelemahan, sehingga tidak ada alasan untuk melanggengkan norma gender yang timpang. Dengan menyingkirkan segala stigma pada perempuan, maka sudah sepatutnya laki-laki dan perempuan membangun kemitraan yang setara dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi perempuan mengakses berbagai kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya. Dengan begitu, tagline #BersamaBerperan menjadi sebuah ajakan yang inklusi untuk sama-sama terlibat, sama-sama berproses, dan sukses bersama.

Berikut beberapa opsi kemitraan yang dapat dibangun:

  • Rekan kerja/teman: tidak menjadikan menstruasi/PMS sebagai bahan untuk mengolok atau bahkan menuduh dan mencari alasan untuk mengindari kerja, tapi menanyakan kepada rekan/temannya itu jika ada yang perlu dibantu.
  • Sebagai pasangan: memahami bahwa hasrat seksual sama-sama dimiliki laki-laki dan perempuan, sehingga masing-masing punya kapasitas untuk mengekspresikannya. Namun tindakan/kegiatan seksual hanya layak jika tidak ada paksaan dan penghormatan yang sadar oleh pihak yang terlibat.
  • Sebagai suami: terhadap istri yang hamil, melahirkan atau nifas, perlu mengambil peran aktif untuk mencari informasi/belajar mengenai proses kehamilan, persalinan, hingga proses pengasuhan, sehingga bisa maksimal mendampingi dan merespon kebutuhan istri.
  • Sebagai Ayah: terlibat dalam mengedukasi anak, terutama anak laki-lakinya tentang bagaimana bersikap terhadap temannya yang perempuan, dan sebaliknya. Untuk edukasi, tentu saja konten edukasi disesuaikan dengan usia anak.
  • Masyarakat umum: tidak melanggengkan stigma, tabu, stereotype tapi mengedepankan informasi, edukasi dan kemauan untuk mendengarkan pengalaman dan membangun empati.[]

About Fauzan Zailani

Seorang karyawan swasta, relawan di Aliansi Laki-laki Baru, Fasilitator Muda Laki-laki Peduli, yang percaya bahwa kesetaraan adalah hak & kewajiban kita semua

Check Also

Menjadi Suami dan Ayah Seutuhnya

MENJADI SUAMI DAN AYAH SEUTUHNYA Oleh : Nur Hasyim Secara sosial laki-laki yang sudah menikah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *