LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA
Oleh: Nur Hasyim
(Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, Direktur C-PolSis FISIP UIN Walisongo Semarang)
Pembuka
Belum hilang ingatan kita tentang perkosaan brutal 14 pemuda terhadap YY di Bengkulu 8 tahun silam, beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dibuat miris oleh perilaku tak kalah brutal 4 remaja yang belum genap 18 tahun. Anak-anak laki-laki bau kencur itu membunuh dan memperkosa perempuan belia di sebuah komplek pemakaman di Palembang. Perempuan yang menjadi korban itu masih duduk di sekolah menengah pertama. Ia telah kehilangan segalanya termasuk nyawanya. Peristiwa ini terjadi juga tak berselang lama dengan kasus perkosaan berkelompok (gang rape) terhadap seorang dokter perempuan yang terjadi di India yang juga menggemparkan dunia.
Pertanyaan yang serta-merta muncul adalah mengapa remaja laki-laki itu memiliki perilaku begitu keji. Apakah mereka memang terlahir untuk menjadi orang-orang keji tak berhati nurani?. Untuk menjawab pertanyaan ini akan membawa kita pada perdebatan lama apakah menjadi pelaku kekerasan termasuk perkosaan adalah bawaan (inherent) laki-laki? atau mereka menjadi pelaku kekerasan karena ada factor di luar dirinya yang membuat laki-laki melakukan kekerasan? Saya meyakini bahwa siapapun di dunia ini termasuk laki-laki tidak terlahir untuk menjadi pelaku kekerasan akan tetapi mereka belajar menjadi pelaku kekekerasan. Dari pandangan ini, maka anak-anak yang memperkosa dan membunuh di Palembang itu bukan karena mereka pemerkosa sejak dalam kandungan ibunya akan tetapi mereka “dilatih” untuk menjadi pemerkosa.
Patriarkhi sebagai “Training Ground”
Tak terbantahkan bahwa masyarakat di Indonesia dan sebagian besar masyarakat di dunia dibangun atas sistem sosial yang menempatkan jenis kelamin tertentu pada posisi dominan atas jenis kelamin yang lain (sexism) dan yang berlaku adalah laki-laki berada pada pusat kekuasaan sementara perempuan pada posisi di pinggiran kekuasaan (Patriarkhi). Dalam struktur ini laki-laki menikmati apa yang disebut sebagai privilese dan kekuasaan. Pada saat yang bersamaan perempuan dijadikan sebagai objek dan di-depersonalisasi (dipandang bukan subjek utuh sebagaimana halnya laki-laki). Perbedaan status dan kedudukan laki-laki dan perempuan ini selanjutnya menentukan pola hubungan keduanya yang antogonistik karena diwarnai oleh dominasi, eksploitasi, dan kekerasan. Tidak berlebihan jika patriarkhi sejatinya adalah sistem sosial yang destruktif atau merusak, penuh kekerasan, dan mendehumasi kemanusiaan baik laki-laki maupun perempuan.
Anak-anak yang memperkosa dan membunuh di Palembang itu hidup dalam struktur patriakhi ini, mereka sehari-hari mendapatkan pesan-pesan baik dalam bentuk verbal, berita, film, iklan, tayangan di media baik yang konvensional mupun media baru (sosial media), bahwa laki-laki adalah pusat kekuasaan, pemimpin, superior, dominan sebaliknya perempuan digambarkan sebagai dikuasai, dipimpin, inferior, didominasi. Pesan-pesan ini tidak berhenti dalam wacana akan tetapi juga mewujud dalam pengaturan hidup Bersama masyarakat. Institusi-institusi sosial di dalam masyarakat mulai dari keluarga, institusi agama, lembaga ekonomi, pemerintah dan lembaga sosial lainnya menempatkan laki-laki pada posisi-posisi penting sebaliknya perempuan adalah kelompok marginal. Pola interaksi yang tebangun antara laki-laki dan perempuan juga berlandaskan nilai-nilai keutamaan laki-laki. Ketika anak-anak laki-laki sejak dini menyerap pesan-pesan dan hidup dalam pengaturan sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan maka mereka akan memandang, meresapi dan meyakini bahwa mereka sebagai laki-laki memiliki status dan kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat lalu memandang dan meyakini bahwa perempuan memiliki status dan kedudukan yang lebih rendah. Lebih jauh mereka memandang bahwa pengaturan hidup patriarkhis ini adalah sebuah keniscayaan hidup, memang sudah seharusnya laki-laki berkuasa atas perempuan.
Dengan demikian patriarkhi tak ubahnya seperti training ground atau tempat di mana laki-laki dibentuk, dilatih untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh patriarkhi. Sebagai training ground, masyarakat merupakan arena habituasi atau proses pembiasaan bagi laki-laki. Melalui habituasi ini, nilai-nilai tentang menjadi laki-laki ala patriarkhi yang bercirikan kekuatan, dominasi, superioritas dan kekerasan tidak hanya menjadi cara pandang tetapi juga menjadi sikap dan perilaku sehari-hari laki-laki yang menubuh pada laki-laki. Pada akhirnya superioritas dan dominasi laki-laki seakan-akan alamiah dan kodrati. Anak-anak yang memperkosa dan membunuh itu, tumbuh dalam training ground patriarkhi ini.
Maskulinitas Patriarkhis sebagai “Kurikulum Pelatihan”
Sebagai sebuah struktur sosial dominan, patriarkahi mengatur bagaimana pengorganisasian masyarakat dijalankan. Patriarkhi mengatur norma bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku. Norma tentang bagaimana seharusnya laki-laki berfikir, bersikap, dan berperilaku inilah yang disebut dengan norma maskulinitas. Norma maskulinitas ini diciptakan dengan nafas patriarkhi karenanya mengorientasi laki-laki untuk menjadi penguasa. Itulah mengapa corak maskulinitas patriarkhis berhubungan dengan kekuatan fisik, dominasi, superioritas dan kekerasan.
Agar norma maskulinitas sebagaimana disebutkan diatas diikuti dan dipatuhi semua laki-laki, Patriarkhi selanjutnya mendisiplinkan laki-laki dalam bentuk-bentuk praktik-praktik yang harus dilakukan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Pendisiplinan laki-laki ini sebagai bagian dari mekanisme patriarkhi melestarikan dirinya sendiri. Sebagai bagian integral dari pendisiplinan, patriarkahi memberlakukan reward dan punishment. Laki-laki yang patuh pada norma yang digariskan akan mendapatkan insentif sosial sebaliknya laki-laki yang tidak patuh akan mendapat sanksi sosial. Insentif sosial yang diberikan patriarkhi kepada laki-laki berupa privilese dan kekuasaan. Privilese berhubungan dengan perlakuan istimewa sedangkan kekuasaan berhubungan dengan kontrol atas sumberdaya serta kontrol terhadap proses-proses pengambilan keputusan dalam masyarakat. Kekuasaan dan privilese inilah yang disebut sebagai dividen patriarkhi yang dinikmati oleh laki-laki. Sedangkan sanksi sosial yang diberikan kepada laki-laki yang “gagal” mejadi laki-laki seperti yang diinginkan patriarkhi berupa pelabelan negative, devaluasi (perendahan martabat), dipandangkan menyimpang, bahkan opresi dan kekerasan atau dengan bahasa lain, laki-laki yang gagal ini kemudian “diperempuankan”.
Jika struktur sosial patriarkhis adalah training ground bagi laki-laki , maka norma maskulinitas patriarkhis adalah kurikulum pelatihannya. Anak-anak yang membunuh dan memperkosa di Palembang itu “dilatih” dengan kurikulum norma maskulinitas patriarkhis ini dan proses-proses pelatihannya berlangsung dalam training camp yang meliputi berbagai institusi sosial seperti keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Dalam beberapa institusi sosial ini, laki-laki belajar nilai-nilai sekaligus praktik yang membuat laki-laki beresiko menjadi pelaku kekerasan seksual seperti perkosaan. Di antara nilai dan praktik tersebut adalah pertama, normalisasi pelanggaran atas otonomi dan integritas tubuh. Hal ini tercermin dari toleransi terhadap perilaku yang menerabas batas-batas personal (personal boundaries).
Sejak kanak-kanak, laki-laki cenderung diwajarkan ketika mereka menyerang tubuh orang lain termasuk menyerang seksualitas teman perempuannya. Misalnya anak laki-laki memukul teman laki-laki lainnya di sekolah atau anak laki-laki menyingkap rok teman perempuannya lalu mentertawakan warna celana dalam teman perempuannya itu dinormalisasi dan diwajarkan. Toleransi atas pelanggaran otonomi dan integritas tubuh ini mewujud dalam bentuk menganggap sepele atau memandang sebagai semata kenakalan anak-anak. Atas hal ini, anak-anak laki-laki sejak belia belajar bahwa menyerang tubuh orang lain adalah biasa, normal dan dapat diterima. Konsekuensinya laki-laki tidak mengenal hak atas otonomi dan integritas tubuh.
Laki-laki tidak memahami bahwa setiap orang memiliki hak atas keutuhan tubuhnya dan memiliki hak untuk mengambil keputusan atas tubuhnya termasuk hak untuk menolak orang lain memperlakukan tubuhnya tanpa seijin si pemilik tubuh. Laki-laki juga tidak memahami bahwa setiap orang memiliki batas-batas kenyamanan personal yang tidak boleh dilanggar. Tindakan memperkosa dan membunuh sebagaimana dilakukan oleh anak-anak laki laki belia di Palembang itu adalah konsekuensi nyata dari ketidakmengertian laki-laki tentang otonomi dan integritas tubuh perempuan.
Kedua, komsumsi pornografi. Dengan format yang berbeda-beda dari generasi ke generasi, pornografi menjadi konsumsi laki-laki yang jamak. Pada era 80-an konten pornografi berupa buku stensilan. Buku-buku porno ini beredar dari tangan ke tangan dan dibaca sembunyi-sembunyi. Meskipun beredar di bawah tanah namun cukup popular di kalangan laki-laki. Pada era 90-an, konten pornografi lebih maju dalam bentuk video. Video baik yang masih berupa kaset maupun yang sudah dalam bentuk CD disewakan pada outlet-outlet penyewaan CD yang biasanya proses menyewanya dilakukan dengan bisik-bisik, lalu acara nonton bareng film porno dilakukan di antara laki-laki yang disebar dari mulut ke mulut. Di era yang paling mutakhir, pornografi disebarkan dengan cara lebih canggih dan lebih massif. Jaringan produksi dan sirkulasi pornografi terhubung dari satu kota dengan kota lainnya. Jaringan ini akan selalu mengupdate produk terbaru dari konten pornografi. Dan di era media sosial para laki-laki menggunakan plaform tertentu untuk sirkulasi dan konsumsi pornografi.
Konsumsi pornografi dan kecenderungan melakukan kekerasan seksual seperti perkosaan di kalangan laki-laki memiliki kaitan yang erat. Karena konten pornografi diproduksi dengan perspektif (mata) laki-laki yang menempatkan laki-laki sebagai subjek seksual sementara perempuan diposisikan sebagai objek seksual. Selain itu, konten pornografi juga diorientasikan untuk pemuasan hasrat seksual laki-laki. Pada akhirnya konten pornografi melestarikan dan memperkuat nilai maskulinitas bahwa laki-laki adalah subjek seksual dan kelelakian diukur dari performa seksualnya. Pada saat yang sama memperkuat pandangan laki-laki tentang perempuan bahwa perempuan adalah objek seksual laki-laki. Pandangan-pandangan ini selanjutnya mempengaruhi bagaimana laki-laki membangun relasi seksual dengan perempuan dan pola relasi yang terbangun adalah relasi subjek dan objek atau menguasai dan dikuasai. Tidak heran jika diketahui bahwa sebelum anak-anak laki-laki di Palembang itu memperkosa dan membunuh korbannya, mereka terlebih dahulu menonton video porno. Pemerkosa yang kecanduan pornografi atau mengkonsumsi pornografi juga sering diberitakan oleh berbagai media yang sekali lagi menunjukkan kaitan yang erat antara kekerasan seksual dan pornografi.
Ketiga, keyakinan akan sexual entitlement atau hak atas layanan seksual. Laki-laki selain memandang dirinya sebagai subjek seks dan memandang perempuan sebagai objek seks, mereka juga memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki hak atas layanan seksual dengan atau tanpa persetujuan dari perempuan. Keyakinan ini menjadi factor resiko yang paling tinggi laki-laki melakukan kekerasan seksual selain alkohol. Keyakinan ini biasanya mendapatkan legitimasi agama yang disampaikan dalam pesan-pesan perkawinan yang menyebutkan bahwa salah satu hak laki-laki sebagai suami adalah dilayani oleh isteri dan di antara pelayanan itu adalah layanan seksual. Bahkan tak jarang para pengkhutbah perkawinan menyebut bahwa isteri itu wajib melayani hasrat seksual suaminya meskipun jika keinginan itu muncul saat mereka sedang berada di atas unta.
Keempat, tidak mengenal konsep consent (persetujuan). Sebagai konsekuensi dari ketidakpahaman akan otonomi dan integritas tubuh dan keyakinan akan sexual entitlement. Laki-laki tidak mengenal konsep consent atau persetujuan. Konsekuensi dari tidak adanya konsep consent dalam kamus laki-laki, mereka tidak memahami bahwa aktivitas seksual seharusnya adalah aktivitas konsensual atau di dasarkan pada consensus bersama artinya aktivitas seksual adalah aktivitas yang memang diinginkan dan dikehendaki oleh kedua belah pihak dan tidak didasarkan dengan paksaan baik paksaan yang terang benderang misalnya dengan ancaman fisik seperti ancaman penganiayaan sampai ancaman pembunuhan maupun ancaman halus seperti mengelabui, rayuan dan janji-janji palsu atau dengan menggunakan alkohol atau obat-obatan.
Ketidakpahaman laki-laki akan consent ini juga membuat laki-laki tidak dapat membedakan antara intimasi dan hasrat seksual. Intimasi yang bemakna kedekatan dan kehangatan secara emosional dimaknai sebagai keinginan atau hasrat seksual. Kebingungan ini membuat laki-laki kerapkali menyalahkan artikan perempuan yang ingin membangun kedekatan dan kehangatan emosional sebagai undangan untuk melakukan hubungan seksual. Selain itu laki-laki juga seringkali memaknai secara keliru beberapa hal berikut seperti status pacar dipandang sebagai persetujuan akan melakukan hubungan seksual, perempuan mendatangi kamarnya adalah bentuk persetujuan, pernah melakukan hubungan seksual berarti setuju untuk melakukan hubungan seksual berikutnya. Kebingungan akan konsep consent ini juga tercermin pada aparat hukum ketika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual. Tak jarang aparat hukum memandang jika korban kekerasan bertatus pacar, kejadiannya di kamar pelaku, atau sebelumnya telah melakukan hubugan seksual maka hubungan seksual itu dianggap sebagai suka sama suka. Cara pandang aparat hukum ini adalah cerminan dari ketidak pahaman apa itu consent.
Kelima, Ajakan sex seperti perang. di antara norma maskulinitas yang diyakini laki-laki adalah ketika laki-laki menginginkan sesuatu maka ia harus memperjuangkannya dengan segala ongkos yang harus mereka bayar. Konsep cinta ditolak dukun bertindak adalah cerminan dari nilai dan pandangan ini. Demikian halnya dengan soal keinginan laki-laki untuk memenuhi hasrat seksual kepada seseorang maka ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Mereka tidak akan menyerah meskipun target sudah mengatakan bahwa ia telah memiliki pacar, ia akan segera menikah atau bahkan dia sudah menikah. Apa yang dilakukan oleh remaja laki-laki di Palembang adalah cerminan dari konsep ajakan untuk melakukan hubungan laksana perang. Mereka harus memenangkan “at all cost”. Mereka harus mendapatkan apa yang mereka inginkan meskipun mereka harus membunuh.
Keenam, Tidak siap dengan penolakan. Ketika laki-laki memandang dirinya sebagai subjek seks yang memiliki hak atas layanan seksual, tidak memiliki konsep consent, serta memandang invitasi (ajakan) untuk melakukan hubungan seksual seperti perang maka konsekuensinya laki-laki tidak siap dengan penolakan. Bagi laki-laki mendapatkan penolakan berarti menyerang bagian terdalam dari laki-laki yakni harga diri (self-esteem). Laki-laki tidak ingin kehilangan muka (loosing face). Itulah mengapa Ketika laki-laki mendapatkan penolakan, mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan meskipun jika mereka harus melakukan kekerasan seperti yang dilakukan oleh 4 remaja di Palembang itu.
Penutup
Jika laki-laki melakukan kekerasan, memperkosa, dan membunuh karena mereka “belajar” dan “dilatih” maka sejatinya laki-laki dapat belajar dan berlatih sebaliknya. Laki-laki dapat belajar untuk menolak segala bentuk kekerasan, belajar untuk mencintai, mengasihi, dan merawat kehidupan. Pertanyaannya bagaimana proses pembelajaran laki-laki ini dilakukan? Pertama, mengubah (mentransformasi) training ground-nya. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa seksisme dan patriarkhisme adalah lingkungan atau struktur sosial yang melingkupi kehidupan laki-laki. Karena seksisme dan patriarkhisme terbukti membuat laki-laki memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan, perkosaan dan bahkan pembunuhan maka lingkungan dan struktur sosial baru harus diciptakan. Lingkungan sosial baru yang memandang kedudukan setiap orang tanpa membedakan identitas sosial (jenis kelamin, gender, abilitas, ras, kelas sosial) adalah setara artinya setiap orang adalah subjek utuh dan penuh sebagai manusia. Sebagai subjek, setiap orang harus diperlakukan secara adil, hak-hak dasarnya dihormati, dilindungi dan dipenuhi.
Kedua, dalam struktur sosial baru ini, berbagai institusi sosial di dalamnya (keluarga, sekolah, komunitas, media, dan negara) berperan dalam menanamkan nilai dan membangun praktik baru maskulinitas yang mencerminkan nilai kesetaraan dan keadilan. Konsep maskulinitas yang menghormati otonomi dan integritas tubuh setiap individu, yang memandang konsep persetujuan sebagai utama dalam setiap hubungan sehingga setiap hubungan seksual maupun hubungan lainnya didasarkan pada konsensus dan bukan didasarkan pada dominasi dan paksaan. Dengan nilai-nilai maskulinitas seperti ini, laki-laki akan menghormati seluruh pandangan, pendapat dan keputusan orang lain termasuk keputusan yang bertentangan dengan kehendaknya.
Menciptakan lingkungan atau struktur sosial baru dengan nilai dan norma maskulinitas baru ini adalah kerja-kerja peradaban yang membutuhkan waktu panjang dan komitmen berbagai pihak lintas sector dan lintas lapisan sosial. Jika tidak, kanal-kanal berita kita akan tetap dipenuhi oleh berita-berita laki-laki yang melecehkan, memperkosa, bahkan membunuh. Karena mereka masih berada dalam training ground dan kurikulum yang mengajari laki-laki melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual.