20 tahun lebih saya menjadi bagian kecil dari upaya membangun masyarakat berkeadilan gender di Indonesia. Selama itu juga saya melihat upaya-upaya serius berbagai sektor mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan dan program pembangunan. Ihtiar ini dalam rangka memastikan bahwa semua orang, baik laki-laki, perempuan, dan kelompok lainnya tidak ditinggalkan dalam proyek-proyek pembangunan. Beberapa jejak dari perjuangan itu di antaranya ratifikasi konvensi-konvensi PBB yang terkait dengan jaminan akan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, kebijakan tentang pengaarusutamaan gender, undang-undang tentang perlindungan perempuan dari kekerasan dan berbagai kebijakan program di level kementerian dan lembaga yang memberikan perhatian tentang keadilan gender. Dengan melihat pencapaian-pencapaian ini saya merasa optimis bahwa bangsa ini telah mencapai hasil-hasil signifikan dalam pembangunan gender.
Namun ketika pandemi Corona menghantam bangsa ini dan bangsa-bangsa lain di dunia, optimisme saya mendadak redup. Saya tidak melihat dan merasakan sudut pandang gender mewarnai kebijakan dan program pengelolaan COVID-19 di Indonesia. Ada beberapa indikasi yang mendukung tesis saya ini. Pertama, representasi perempuan dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19. Di tingkat pusat, dasar hukum pembentukan gugus ini adalah Keppres No. 7 tahun 2020. Keputusan Presiden ini menunjukkan bahwa gugus tugas terdiri dari beberapa pejabat kementerian dan lembaga. Sedangkan gugus tugas di daerah mengacu kepada Surat Edaran Mendagri nomor 440/2622/SJ tanggal 29 maret 2020 yang menentukan bahwa gugus tugas di daerah dipimpin oleh kepala daerah masing-masing. Pada level nasional, saya hanya dapat mengidentifikasi satu perempuan menjadi bagian dari gugus tugas yakni menteri ekonomi yang menduduki posisi sebagai pengarah, namun belakangan diberitakankan Sri Mulyani menghilang dari gugus tugas ini. Lalu, jika merujuk kepada ketua gugus tugas di level daerah maka representasi perempuan dalam gugus tugas ini adalah 87 dari 1096 kepala daerah atau sekitar 8%. Data ini mengacu kepada data kepala daerah perempuan terpilih hasil pemilu 2015, 2017 dan 2018 (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018). Angka 8% adalah sangat kecil jika merujuk pada angka 30% kebijakan afirmasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu.
Realitas di atas membuat citra Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19 berwajah laki-laki. Citra ini dapat dirasakan setiapkali gugus tugas ini menyelenggarakan konferensi pers yang disiarkan langsung oleh berbagai stasiun TV nasional, rasa dan selera laki-laki itu begitu kental. Kematian direduksi menjadi semata angka-angka. Tragedi kemanusiaan dipaparkan secara datar, dingin, dan tanpa ekspresi. Konferensi pers dipenuhi dengan perintah-perintah dan jargon-jargon yang diulang-ulang dan cenderung membosankan. Wajah dan suara perempuan (dalam artian harfiah) hilang apalagi sudut pandang atau perspektif perempuan. Kalaupun ada suara perempuan, hanya ada dua perempuan yang kerap muncul ke publik yakni Risma Harini dan Khofifah Indarparawansa namun sayang belakangan pemberitaan tentang mereka berdua lebih mengungkap atmosfir kompetisi dari dua pemimpin perempuan ini (Amaludin, 2020).
Representasi perempuan dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19 ini berbanding terbalik dengan representasi perempuan dalam layanan penanganan virus ini yakni tenaga medis. Memang saya tidak menemukan data yang jelas tentang proporsi perawat dan dokter di Indonesia berdasarkan jenis kelamin namun jika merujuk pada data-data negara lain proporsi tenaga medis, terutama perawat, jumlah perempuan lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki. Sebagai contoh data State Council Information Office di China menunjukkan bahwa jumlah pekerja kesehatan perempuan di Hubei, salah satu kota di China, mencapai lebih dari 90% . Di antara yang mempengaruhi porporsi ini adalah nilai gender tentang perawatan yang dilekatkan kepada perempuan (Wenham, C., Smith, J., Morgan, R., 2020). Konsep gender serupa ini demikian kuat di Indonesia. Namun jumlah perempuan yang besar pada level pelaksana ini tidak dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan strategis penanganan COVID 19 di Indonesia.
Kedua, data kasus COVID 19, baik data terkonfirmasi positif dan data meninggal. Data-data yang dipaparkan gugus tugas tidak terpilah berdasarkan jenis kelamin. Data Global Health 50/50 menunjukkan Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memiliki data caovid 19 yang terpilah gender bersama dengan beberapa negara lain seperti Brazil, Israel, Luxemburg, Polandia, Malaysia, Rusia, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Turki, Meksiko dan India (Global Health 50/50, 2020). Padahal data pilah ini penting untuk mengenali kesenjangan gender dalam kasus pandemi. Data pilah itu juga dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana pandemi corona mempengaruhi kehidupan laki-laki, perempuan dan gender lainnya. Lebih-lebih ketika studi terhadap pandemi sebelumnya seperti EBOLA, SARS, dan MERS menunjukkan bahwa wabah-wabah itu membawa konsekuensi yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan (Purdie dkk, 2020). Bagaimana mungkin Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19 dapat merumuskan kebijakan dan program yang responsif gender jika datanya tidak terpilah gender.
Ketiga, wacana gender dominan dalam penanganan COVID 19. Wacana gender dominan dalam penanganan pandemi ini dapat dikenali dari narasi yang dibangun oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19. Gugus tugas menyebut masa pandemi ini sebagai periode perang melawan virus Corona, hampir semua media mengamini ini. Oleh sebab itu misi gugus tugas adalah meraih kemenangan. Virus corona harus ditaklukan, ditundukkan, dikuasai dan dikendalikan. Gugus tugas juga memunculkan istilah-istilah yang lazim dalam perang misalnya tenaga medis disebut sebagai garda depan atau pasukan yang berada pada posisi paling depan di medan pertempuran. Alat Pelindung Diri (APD), ventilator dan rapid test seringkali juga disebut sebagai senjata tenaga medis. Maka ketika krisis APD,ventilator dan rapid test terjadi di Indonesia, para tenaga medis diibaratkan sebagai pasukan yang diperintah berperang tetapi tidak dilengkapi dengan senjata atau dengan senjata ala kadarnya.
Narasi di atas memiliki aroma norma, meminjam istilah Raewyn Connell, maskulinitas hegemonik yang kental. Narasi itu menggambarkan cara berfikir dikotomis misalnya manusia versus spesies lain, kawan versus lawan, subyek versus obyek, kuat versus lemah. Mengedepankan dan memberi nilai kepada kekuatan, superioritas dan dominasi serta melihat kehidupan sebagai arena kompetisi sehingga penaklukan, kemenangan dan dominasi adalah puncak pencapaian manusia di muka bumi.
Mengacu kepada tiga poin di atas, saya menyimpulkan bahwa dimensi gender hilang dalam penanganan COVID 19 di Indonesia. Hilangnya perspektif gender ini menandakan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh banyak orang tentang transformasi gender belum berhasil menggeser struktur seksisme dalam tatanan sosial masyarakat kita. Struktur sosial atas dasar dominasi jenis kelamin itu ternyata jutsru terlihat kokoh di saat pandemi ini.
Hilangnya dimensi gender ini akan membawa konsekuensi serius di antaranya invisibilitas (ketersembunyian) aspirasi dan kepentingan perempuan dalam penanganan COVID 19. Misalnya potensi hilangnya perempuan dalam daftar penerima distribusi bantuan selama pandemi berlangsung. Potensi diabaikannya kebutuhan spesifik perempuan dalam pembangunan infrastruktur penanganan wabah seperti rumah sakit, pusat karantina dan infrastruktur lainnya. Potensi menjadikan laki-laki sebagai ukuran (standard) dalam penyusuan protokol, sistem kerja, termasuk produksi alat pelindung diri. Sehingga kebutuhan spesifik perempuan tidak secara seksama dipertimbangkan misalnya kebutuhan sistem atau protokol perlindungan tenaga medis perempuan dari tindak kekerasan, desain APD yang sensitif perempuan, kebutuhan hygiene kit (perlengkapan kebersihan) khusus perempuan untuk tenaga medis perempuan ketika mereka menjalankan tugas di saat pandemi.
Hilangnya sudut pandang gender dalam penanganan COVID 19 juga berpotensi menyebabkan pengabaian resiko perempuan selama pandemi. Misalnya resiko perempuan untuk mengalami kekerasan domestik pada saat kebijakan isolasi sosial diberlakukan. Beberapa negara telah melaporkan trend peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga ketika kebijakan isolasi sosial diberlakukan (UN Women, 2020). Tidak adanya perspektif gender akan membuat gugus tugas tidak memitigasi resiko ini sehingga tidak menjadikan strategi pencegahan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga sebagai bagian integral penanganan pandemi COVID 19.
Hilangnya dimensi gender dalam penanganan COVID 19 juga berpotensi terjadinya pengabaian akan resiko laki-laki dalam masa pandemi. Data angka kematian (mortality rate) akibat virus Corona menunjukkan bahwa angka kematian laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Selain konstruksi biologis laki-laki yang membuat laki-laki memiliki imunitas lebih rendah di banding perempuan, faktor sosial seperti perilaku dan gaya hidup ikut andil dalam meningkatkan resiko laki-laki dalam situasi wabah (Burrel, S., Ruxton, S., 2020). Selain persoalan imunitas, karena norma maskulinitas, laki-laki dalam situasi pandemi juga berpotensi mengalami masalah mental termasuk potensi menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Pengabaian terhadap resiko-resiko laki-laki dalam situasi pandemi ini akan membuat ketiadaan mitigasi serta langkah-langkah penanganan dan pencegahan gangguan mental dan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami dan dilakukan oleh laki-laki.
Dengan melihat keseriusan masalah sebagai akibat dari hilangnya perspektif gender dalam penanganan COVID-19 maka diperlukan upaya-upaya strategis untuk mendorong integrasi perspektif gender dalam penanganan COVID-19. Langkah-langkah yang pernah dilakukan pada saat respon bencana di berbagai daerah dapat diadopsi dalam situasi pandemi ini misalnya perlu adanya Kelompok Kerja Gender (Gender Working Group) yang melibatkan berbagai sektor dengan mandat melakukan advokasi pengintegrasian perspektif gender dalam penanganan COVID-19 termasuk merumuskan instrumen integrasi gender dalam penanganan COVID-19.
Hal penting lainnya, memunculkan kepemimpinan perempuan (feminist leadership) dan pendekatan feminist dalam menghadapi pandemi virus Corona. Kepemimpinan dan pendekatan feminis yang berorentasi kepada perawatan kehidupan, pelestarian lingkungan, keseimbangan hidup manusia dan alam, mengedepankan penghormatan kepada hak-hak ekologi spesies lain dapat dijadikan sebagai alternatif dari kepemimpinan laki-laki yang maskulin dengan orientasi penaklukan dan dominasi yang terbukti eksploitatif dan merusak Wallahu’alam.
Referensi
- Amaludin. (2020). Khofifah Sindir Risma Soal PSBB. Medcom.id.
- Burrel, S., Ruxton, S. (2020). Coronavirus reveals just how deep macho stereotypes run through society. The Conversation.
- Global Health 50/50. (2020). COVID-19 sex-disaggregated data tracker. Retrieved April 12, 2020, from https://globalhealth5050.org/covid19
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2018). Pilkada Serentak 2018 , Perempuan Terpilih Menjadi Kepala/Wakil Kepala Daerah Meningkat . Jakarta.
- Purdie dkk. (2020). Sex, gender and COVID-19: Disaggregated data and health disparities. BMJ Global Health.
- UN Women. (2020). COVID-19 and Ending Violence Against Women and Girls. UN Women.
- Wenham, C., Smith, J., Morgan, R. (2020). COVID-19: the gendered impacts of the outbreak. The Lancet, 395, March 14, 2020, 846-848.
Terimakasih atas artikelnya, sangat mencerahkan. Semoga teman-teman aliansi laki-laki baru selalu sehat dan bersemangat ikut menyuarakan, mendorong serta memperjuangakan kesetaraan keadilan (yet difference) gender khususnya di Indonesia.