Covid-19 dan Keringkihan Laki-laki

Data global menunjukkan bahwa angka kematian (fatality rate) laki-laki karena virus korona lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian perempuan. Sebagaimana dilaporkan GlobalHealth 5050 bahwa rata-rata angka kematian laki-laki adalah dua kali lipat dibandingkan dengan perempuan. Berdasarakan data tanggal 26 April 2020, di Italia, dari 19.996 kematian, 65 persen adalah laki-laki dan 35 persen perempuan, sementara di Spanyol dari 12.364 kematian, 60 persen laki-laki dan 40 persen perempuan. Angka serupa juga terjadi di China yang menunjukkan 64 persen dari 2.114 kematian adalah laki-laki dan sisanya 36 persen adalah perempuan.

Data-data tersebut memunculkan pertanyaan apa faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian laki-laki? Jenny Grave, ahli genetika dari Universitas La-Trobe Australia mengatakan bahwa tingginya angka kematian laki-laki karena COVID 19 salah satunya disebabkan oleh faktor biologis (The Conversation, 20/04/2020). Secara genetik laki-laki dan perempuan memiliki kromosom dan hormon yang berbeda. Laki-laki memiliki kromosom XY sementara perempuan XX. Kromosom Y pada laki-laki hanya akan mengandung gen RXY (gen yang akan menentukan jenis kelamin laki-laki pada embrio) dan DNA sampah yang akan mempercepat penuaan pada laki-laki dan membuat laki-laki rentan terhadap virus. Selain itu, laki-laki memiliki masalah pada tingkat hormon testosteron yang berdampak pada berbagai macam penyakit khususnya penyakit jantung sehingga berpengaruh pada usia harapan hidup laki-laki.

Berbeda dengan laki-laki, perempuan memiliki kromosom XX yang menguntungkan. Kromoson X mengandung 1000 gen yang memiliki berbagai fungsi untuk mendukung metabolisme rutin, tingkat kebekuan darah dan perkembangan otak. Adanya dua kromosom X juga akan memberikan perempuan kromosom X cadangan jika gen pada salah satu kromosom X bermutasi. Hal ini tidak terjadi pada laki-laki yang hanya memiliki satu kromosom X artinya laki-laki tidak memiliki kromosom X cadangan yang menyebabkan anak laki-laki sering mengalami penyakit yang berkaitan dengan jenis kelamin mereka seperti haemophilia (gangguan pembekuan darah).

Faktor lainnya yang mempangaruhi tingginya angka kematian laki-laki akibat COVID 19 adalah sistem imunitas. Menurut Sharon Moaleem penulis buku The Better Half: On the Genetic Superiority of Women bahwa banyak gen yang terkait dengan imunitas tergantung dalam kromosom X artinya setiap perempuan memiliki 1000 gen ekstra di atas laki-laki yang hanya memiliki satu kromosom X. (Huffington Post, 16/04/2020)

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa faktor genetik dan sistem imunitas adalah dua faktor penting yang mempengaruhi tingginya angka kematian laki-laki di bandingkan dengan perempuan. Kedua faktor tersebut membuat laki-laki memiliki resiko kesehatan yang lebih besar di bandingkan dengan perempuan. Resiko semakin mengancam laki-laki ketika mereka dinyatakan positif COVID 19. Sebagaimana data yang ditemukan di China bahwa studi terhadap 99 pasien di Wuhan menyebutkan bahwa 2/3 dari pasien adalah laki-laki dan 50 persen dari pasien tersebut mengalami sakit kronis seperti sakit jantung dan diabetes. (The Washington Post, 20/03/2020)

Faktor lain yang dianggap berkontribusi pada tingginya resiko laki-laki yakni perilaku dan gaya hidup. Perilaku dan gaya hidup ini dipengaruhi oleh norma maskulinitas negatif yang diyakini laki-laki, misalnya kecenderungan laki-laki berperilaku beresiko. Menurut WHO data di Italia, Korea dan khususnya China, 48 persen laki laki di atas usia 15 tahun merokok sementara perempuan hanya 2 persen saja. Data ini berbanding lurus dengan data bahwa laki-laki di negara negara ini lebih sering meninggal dunia disebabkan oleh sakit jantung, kangker, diabetes dan penyakit pernapasan akut pada usia antara 30 – 70 tahun. (The Washington Post, 20/03/2020)

Selain perilaku beresiko di atas, laki-laki juga tertinggal dari perempuan dalam hal penerapan perilaku protektif terhadap penyakit dalam konteks pandemi. Studi yang dilakukan oleh Los Alamos National Laboratory sebagaimana dilansir The New York Times, edisi 17/03/2020 menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung mempraktikan perilaku protektif dibanding laki-laki seperti mencuci tangan, menggunakan masker dan menghindari kerumunan. Kecenderungan berbeda laki-laki ini juga memiliki kaitan dengan norma maskulinitas bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, sehingga mereka lebih peduli dengan resiko kehilangan pekerjaan dan ekonomi dari pada persoalan ancaman bakteri atau virus.

Perilaku beresiko di atas ditambah lagi dengan kecenderungan laki-laki untuk tidak mau mencari bantuan ketika mereka mengalami gangguan kesehatan. Mereka cenderung mengabaikan gejala-gejala gangguan kesehatan yang mereka alami. Atas dasar keyakinan bahwa laki-laki harus tampak kuat, mereka enggan mengakses layanan kesehatan karena beranggapan mencari pertolongan adalah bentuk dari kelemahan.

Dengan mempertimbangkan kerentanan genetik, upaya meningkatkan perilaku protektif pada kelompok laki-laki terhadap penyakit dalam konteks pandemi sangat penting. Agar proses modifikasi perilaku laki-laki berhasil harus didukung dengan upaya perubahan norma-norma maskulinitas yang mendorong perilaku dan gaya hidup beresiko. Modifikasi perilaku protektif ini harus menjadi bagian integral dari penanganan COVID 19 di Indonesia seiring dengan program bantuan sosial dan penanganan aspek kesehatan.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *