Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan dari kekerasan seksual. Komnas Perempuan memang sebelumnya mencatat, setiap hari, sedikitnya empat perempuan menjadi korban kekerasan seksual di ruang publik. Inisiatif gerbong khusus perempuan bukanlah hal yang unik, yang terdapat di Indonesia saja. Brasil, India, Iran, dan Jepang juga menerapkan inisiatif serupa. Sementara Iran, Uni Emirat Arab, dan Meksiko menerapkan area khusus perempuan di bus komuter.

Gerbong khusus perempuan merupakan upaya untuk menghilangkan hambatan perempuan dalam mengakses layanan dasar, berpartisipasi penuh di sekolah, tempat kerja dan kehidupan bermasyarakat. Namun, dalam diskusi-diskusi publik mengenai pengalaman terkait fasilitas ini, para perempuan yang harus menyandarkan pilihan mobilitasnya pada KRL sering kali berhadapan dengan pembicara laki-laki yang dengan cara mansplaining, mengkritisi dua hal: relevansi kebijakan KRL dan kekhususan buat perempuan.

Pertama, kebijakan KRL tidak relevan buat era di mana perempuan mengelu-elukan terealisasinya kesetaraan gender. Menerjemahkan affirmative action dan membenturkannya dengan argumen salah kaprah bahwa karena perempuan menuntut kesetaraan gender, maka perlakuan khusus tidak dibutuhkan, adalah sebuah cacat pikir. Ini tentu saja tidak relevan karena tidak seorang laki-laki pun yang mengkhotbahi perempuan mengenai tidak diperlukannya gerbong khusus perempuan pernah berada di ruang publik dalam tubuh perempuan. Affirmative action yang menjelma dalam bentuk gerbong khusus perempuan adalah tindakan khusus sementara yang perlu diambil untuk mempercepat persamaan kesempatan dan manfaat guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini dipertegas oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabinet Indonesia Bersatu II, Linda Amalia Sari, saat peresmian pengoperasian fasilitas tersebut, bahwa “Ini merupakan wujud kepedulian pemerintah (Kementerian Perhubungan dan PT. KCJ) dalam pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana pelecehan seksual merupakan salah satu bentuknya. Gerbong khusus perempuan merupakan bentuk kebijakan yang dibuat untuk melindungi perempuan dari perlakuan bernuansa kekerasan seksual di dalam kereta api. Harapannya kebijakan ini terus berlaku sampai ada perubahan pola pikir bahwa perempuan bukan obyek tindak kekerasan seksual, tetapi merupakan mitra yang setara dalam segala bidang kehidupan dengan kaum lelaki.” Masih tersedianya fasilitas ini setelah satu dekade pengoperasiannya mengindikasikan bahwa perubahan pola pikir yang menempatkan perempuan sebagai mitra yang setara belum terjadi.

Kedua, para pembicara laki-laki tersebut berargumen bahwa jika ingin mengakses ruang publik, maka lupakan perlakuan khusus. Pernyataan ini lucu. Justru status quo yang patriarkis inilah yang memberikan laki-laki perlakuan khusus, dan perempuan sebanyak mungkin rintangan dan pembatasan. Ketidakpedulian bahwa kerentanan perempuan dalam mengakses transportasi publik yang berakar pada kultur patriarki ini membentuk infrastruktur yang tersedia jadi mengabaikan kebutuhan perempuan akan personal space. Sejatinya, pembangunan infrastruktur harus mengacu pada prinsip-prinsip berikut: pemenuhan kebutuhan seluruh kelompok; perencanaan yang setara; dan nilai yang manusiawi. Thus, transportasi publik yang tersedia mengabaikan kebutuhan perempuan akan personal space yang luas. Kondisi ini adalah pengejawantahan dari kultur patriarki di mana kebijakan transportasi yang tidak ramah terhadap perempuan, anak, lansia dan disabilitas serta kelompok rentan lainnya adalah bentuk ekstrim kontrol patriarki.

Sehingga, penting untuk memahami affirmative action ini dengan berbasiskan pada pengalaman perempuan! Tatkala pemerintah belum mampu menghadirkan ruang publik yang bebas dari kekerasan seksual bagi perempuan, tidak sepatutnya wacana yang dimunculkan adalah penghapusan fasilitas. Namun seyogyanya kita kritis menggugat pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi publik yang ramah terhadap perempuan—karena nyatanya sistem transportasi publik saat ini paling tidak ramah terhadap perempuan. Komnas Perempuan melaporkan bahwa sejak 1998 hingga 2011, tercatat sebanyak 22.284 kasus kekerasan seksual di ruang publik dan merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual. Di 2017 saja, tercatat 2.670 kasus kekerasan seksual di ranah publik. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek kekerasan seksual dengan menyerukan penghapusan gerbong khusus perempuan, namun di saat yang sama, jumlah laki-laki yang nyata berkontribusi dalam merubah pola pikir yang menantang maskulinitas rapuh tersebut belum cukup. Come on men, you’ve got to do better rather than mansplaining us!

About Mirisa Hasfaria

Check Also

Covid-19 dan Keringkihan Laki-laki

Data global menunjukkan bahwa angka kematian (fatality rate) laki-laki karena virus korona lebih tinggi dibandingkan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *