Aktif, Kreatif, dan Produktif Cerminan Generasi Muda Indonesia

Tanggal 12 Juni 2017 di Sulawesi Selatan, penduduk dihebohkan dengan pernikahan pasangan termuda, yaitu berusia 13 dan 14 tahun. Lalu di Probolinggo juga ada peristiwa mengenaskan, seorang gadis yang masih bersekolah di SMP dan orang tuanya menjadi korban pembunuhan. Mengapa demikian? Semua gara-gara lamaran seorang pemuda yang ingin menikahinya ditolak.

Ini hanyalah sedikit dari fenomena gunung es yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini: pernikahan anak (berusia di bawah 18 tahun) di Indonesia. Tidak hanya di daerah pedesaan, praktik ini juga tidak kalah marak di daerah perkotaan.

Masalah ini semakin ramai dengan glorifikasi pernikahan anak melalui media sosial. Mulai dari alasan ajaran agama (“untuk menghindari zina”), mengurangi beban ekonomi, hingga kekhawatiran bahwa si anak perempuan akan keburu (terlalu) tua, hingga sulit mendapatkan jodoh alias dicap “perawan tua” karena dianggap “nggak laku”.

Bahkan, ada juga yang kerap merendahkan, menakut-nakuti dan mengancam perempuan yang memilih untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin dan berkarir. Dikatain sombong-lah, terlalu pemilih-lah, hingga dianggap “melawan kodrat”.

Kampanye “Ayo, Nikah Muda” juga semakin gencar dengan pemberitaan berlebihan seputar pernikahan selebriti yang mewah dan seindah cerita dongeng, seperti artis Raisa dan Hamish Daud. Belum lagi serangkaian unggahan Instagram yang ibarat mengartikan pernikahan sebagai “solusi instan menuju kebahagiaan abadi”.

Ada apa dengan pernikahan anak di Indonesia?

Para pembicara yang hadir pada acara “Media Diskusi Aktif, Kreatif, dan Produktif Cerminan Generasi Muda Indonesia” pada tanggal 28 September 2017, di ke:kini, Cikini, Jakarta Pusat, menyampaikan pendapat yang senada:

Psikolog Ajeng Raviando:
“Fenomena menikah muda terjadi akibat masih adanya mental ala “cerita dongeng”: menikah pasti bakal bikin happy-ending.”

James Ballo (dari Plan International):
“Latar belakang budaya yang sangat kuat juga melanggengkan pernikahan anak.”

Bunga Mega (dari Cewek Quat):
“Belum banyaknya agent of change dalam pencegahan pernikahan anak, terutama dari teman sebaya dalam rangka edukasi.”

Sanita Rini (penyintas pernikahan anak, aktif dalam Youth Coalition for Girls):
“Tidak semua anak perempuan berani menolak dinikahkan, namun saya bernegosiasi dengan orang tua saya.”

Priscilla (menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan sehari di NTT):
“Budaya berpengaruh sangat kuat dalam melanggengkan pernikahan usia anak. Mirisnya, ada orang tua yang memaksa anak hingga memalsukan usia anak di KTP – bekerja sama dengan dinas catatan sipil setempat.”

Tidak ada yang salah dengan pernikahan, namun butuh banyak persiapan, baik dari segi ekonomi, mental, psikologis, dan masih banyak lagi. Semua itu belum didapatkan mereka yang masih di bawah umur, meskipun secara fisik mungkin sudah matang untuk bereproduksi. (Misalnya: laki-laki sudah mimpi basah dan perempuan sudah haid.)

Akibatnya? Banyak sekali. Sanita Rini, yang masih melakukan riset dan edukasi di desa asalnya, Rembang, Jawa Tengah, melihat buktinya. Teman-temannya yang menikah muda bahkan akhirnya malah semakin membebani orang tua. Selain putus sekolah (hingga sulit mendapatkan pekerjaan layak), meninggal karena melahirkan (akibat organ reproduksi masih terlalu muda), hingga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan harus bercerai.

Bahkan, tidak jarang Sanita Rini mendapatkan ancaman dari warga setempat, karena ingin mengekspos praktik pernikahan anak yang justru lebih banyak merugikan anak perempuan. Ada juga yang dilakukan dengan cara kekerasan, yaitu mengurung si anak perempuan di dalam kamar agar sang suami dapat langsung menghamilinya.

Menurut pengamatan Priscilla, banyak anak perempuan yang sulit melanjutkan pendidikan, seperti ingin kuliah. Di daerahnya di NTT, banyak anak perempuan yang tidak bisa kuliah karena status mereka sebagai istri orang. Tanpa izin resmi dari suami, akan sangat sulit bagi mereka untuk kuliah.
Kalau begini terus, bukan beban ekonomi keluarga yang akan berkurang. Kemiskinan justru akan berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Because I Am A Girl – gerakan global pencegahan pernikahan dini

Dalam rangka menyambut Hari Anak Perempuan Internasional pada tanggal 11 Oktober, Plan International Indonesia mengajak masyarakat untuk turut aktif berperan dalam pencegahan praktik pernikahan anak di Indonesia. Menurut James Ballo, sudah saatnya ada regulasi yang melindungi anak-anak dari pernikahan anak, terutama yang dipaksa. Bahkan, ortu juga harus diedukasi dan masyarakat harus intervensi agar tidak ada lagi makan korban seperti gadis SMP dan ortunya di Probolinggo yang dibunuh karena menolak lamaran.

Bunga Mega juga sependapat: “Kita membutuhkan agent of change sesuai dengan umur target yang butuh diedukasi, bisa juga lewat media sosial.”

Jangan sampai satu generasi hilang akibat praktik pernikahan anak. Remaja perempuan juga berpotensi memajukan bangsa. Mereka bukanlah “beban ekonomi” maupun “sumber fitnah”.

About Ruby Astari

Penulis, penerjemah, dan pengajar bahasa Inggris. Saat ini menjadi kontributor untuk ALB

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *