Tentang Saya dan Laki-laki

Akhir-akhir ini saya merasa terlalu kuat bagi laki-laki, dan laki-laki terlalu lemah bagi saya. Meskipun saya tidak suka dominasi, kini, sayalah yang sering mendominasi mereka, itu membuat saya tidak nyaman dengan diri saya sendiri, dan semakin malas berteman dengan laki-laki.

Di antara yang saya kenal, mereka terdiri dari orang yang manja, sangat tergantung, sering mengeluh, dan mudah putus asa. Mungkin saya salah, mungkin mereka memang sedang kalah, tetapi itu yang saya alami, dan saya jadi malas.

Di sisi lain, saya sering mendengar laki-laki harus kuat, melindungi kami, menanggung hidup kami, antar jemput kami, membelai kami, menggandeng kami, tetapi kenyataannya saya tidak mengalami itu semua dengan mereka.

Suatu hari saya ingin mempraktekan itu dengan laki-laki, awalnya mereka bisa, tetapi, lama-lama mereka capek sendiri, saya juga capek sendiri, dan akhirnya kami bertukar peran, bahkan saya ambil alih! Sayalah yang melindungi mereka, dan mereka yang manja dan tergantung dengan saya.

Ini aneh buat saya. Dan saya juga capek pertukaran peran-peran itu. Akhirnya saya memutusan untuk berjalan sendiri. Saya cukup bertempur dengan diri saya sendiri.

Dan kemudian saya justru bertemu dengan perempuan-perempuan yang sangat kuat, tidak ada kata putus asa, penuh dengan ide, berani dan selalu bisa menghadapi situasi.

Kami yang sesama seringkali terlampau bersemangat. Kadang saling melindungi, kadang berkelahi, kadang senang, kadang menatap kosong. Bertemu mereka (perempuan-perempuan itu), saya merasa ada yang terhubung, ada jejak-jejak yang sama, ada keinginan yang sama-sama tertunda. Saya bahagia, saya merasa tidak sendiri lagi.

Mungkin, karena laki-laki tidak bisa menganggap kita teman, tetapi pasangan, atau kepemilikan, atau karena kita mirip dengan ibu mereka. Mereka masih menganggap kita misterius, mahluk yang tidak bisa diterka. Mungkin, mereka menganggap kita adalah pelengkap saja, seperti tulang rusuk.

Kita diminta untuk melengkapi hidup mereka yang tidak lengkap itu. Lalu kita dipaksa mengenal mereka, budaya yang mereka buat, agama yang mereka buat, mitos-mitos yang mereka buat. Kita dipaksa untuk mengerti hidup mereka, tapi mereka kurang begitu kerja keras untuk mengenal hidup kita.

Mereka tidak pernah bersungguh-sungguh mengenal kita, kecuali payudara kita, kelamin kita, birahi kita, bisikan kita, rambut kita, tengkuk kita, pantat kita, ketiak kita, pinggul kita. Mereka hanya mengenal bagian-bagian tubuh kita seperti mengenal jamban atau alat-alat yang mereka sukai.

Mungkin karena laki-laki terlalu banyak diberikan keistimewaan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, jabatan, dunia politik, kepala keluarga, tidak mengasuh anak, tidak melahirkan, tidak ditanya kalau keluar malam, tidak dilirik kalau pulang pagi, tidak disiul-siul di jalanan, tidak diteriaki pelacur kalau mabuk dan telanjang dada.

Mungkin, karena laki-laki terlalu banyak kemudahan, sehingga mereka jadi lemah dan cepat putus asa, atau, terlalu dimomong terus oleh ibu-ibu mereka, diharapkan oleh banyak orang, dipuja-puja kalau kaya. Mereka jadi sulit untuk melihat kehidupan yang sebenarnya, atau terkejut ketika melihat kehidupan yang sebenarnya.

Mungkin, kita ini (perempuan) baginya adalah boneka cantik yang akan dimilikinya, disimpan dan diletakkan dalam kulkas supaya tidak lekas tua.

Mereka itu punya tuntutan aneh kepada kita. Untuk membuatkan kopi saja, mereka butuh perempuan. Untuk mencuci baju dan setrika, mereka butuh perempuan. Untuk menyiapkan celana dalam, mereka butuh ibu dan istrinya. Untuk menyiapkan sarapan makan siang dan makan malam, mereka lagi-lagi butuh perempuan.

Mereka dididik manja! Dunia ini tidak adil memperlakukan laki-laki. Mereka jadi rapuh sekali!

Mungkin, karena laki-laki dipaksa untuk dominan, kuat, dingin, rasional dan jauh dari kehangatan, kasih sayang, alam, rasa, intuisi, kelembutan. Mereka jadi mahluk yang tidak berpijak di bumi, penuh kekerasan, persaingan, mereka begitu terlantar dan lemah, mereka selalu harus dirawat, mereka selalu butuh perawat dan pelayan, mereka jadi rapuh dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Sayapun, akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka, karena saya tidak ingin merawat mereka, saya hanya ingin memperlakukan laki-laki sebagaimana memperlakukan diri saya sendiri, yang bertahan, yang penuh luka, yang bisa menangis, yang bisa memperlihatkan isi hatinya dengan gamblang.

Saya ingin mereka tidak cepat putus asa, bahagia, dan tidak merasa gagal hidup di dunia. Dengan begitu, saya bisa senang berteman dengan mereka. Dengan demikian, saya bisa bahagia bila di samping mereka.

Sementara kita, perempuan, dididik untuk melatih diri supaya besar nanti bisa merawat mereka (laki-laki), bisa melayani mereka secara seksual, bisa mencuci baju mereka, memakaikan sepatu mereka, menyediakan makanan, melahirkan anak-anak mereka, dan kita dididik untuk menjadi perawat dan pelayan laki-laki seumur hidup kita.

Itulah yang membuat perempuan tidak manja, kuat, dan tidak gampang mengeluh, karena kita dipaksa untuk tidak sempat memikirkan diri kita sendiri, tidak sempat merumuskan apa cita-cita kita sendiri, tidak sempat bercermin betapa wajah kita sudah mulai berkerut karena sibuk mengayomi mereka.

Kami, perempuan. Adalah manusia yang dibuat kuat oleh kebudayaan patriarkhi. Kami tidak melawan, tetapi kami diam-diam menjadi manusia yang tidak mudah marah, tidak mudah patah arang, dan selalu bisa mencintai mahluk lainnya, tidak suka merusak alam, tidak suka menyiksa hewan.

Kami sering menjerit ketika melihat darah, menjerit ketika melihat pemukulan, keroyokan, kekerasan. Hidup kami begitu dekat dengan alam, dengan kelembutan, dengan kedamaian, hidup kami begitu sibuk merawat kehidupan, begitu sibuk menopang kesusahan.

Tentu, ini bukan tentang semua lelaki dan semua perempuan. Kadang, terjadi sebaliknya. Tapi kita bisa lihat yang mana kebanyakan. Jadi, bisakah sekarang kita saling sepaham?

About Mariana Amiruddin

Salah satu pendiri Aliansi Laki-laki Baru. Saat ini menjabat sebagai komisioner Komisi Nasional Perempuan.

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

One comment

  1. Maaf, saya melihat penulis masih melakukan stereotype thd laki-laki. Penulis masih mengeluh ttg laki-laki yg tdk kuat seperti perspektif maskulinitas. Ini lah yg membuat saya masih ragu utk dukung gerakan ini. Sepertinya tujuannya bukan kesetaraan tapi yg enak bagi wanita. Laki-laki tetap boleh dirugikan dg tuntutan maskulinitas. Yang seperti ini bisa memunculkan diskriminasi thd laki-laki. Contoh: upah harus sama tapi kerjaan harus lebih banyak laki-laki karena “kamu kan cowok”. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *