Saya hanya ingin sedikit membagi cerita, selama setahun belakangan beberapa teman teman di Malang, Jawa Timur sedang merintis sebuah embrio gerakan feminis. Kata embrio menjadi tepat mengingat gerakan ini masih sangat kecil dan rapuh.
Tentu saja kami tidak bermuluk muluk seperti ingin menghancurkan masyarakat patriarkis, menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang adil dalam melihat perbedaan, peka terhadap gender dan bersih dari segala jenis seksisme.
Itu ada di mimpi kami, meski itu sangat jauh dan kami tahu mimpi mimpi itu hanya akan terwujud bersama dengan komunitas atau organisasi lain yang bervisi sama. Terutama laki laki yang paling banyak mendominasi peta gerakan masyarakat sipil di Malang.
Tentu saja kami mengenal berbagai komunitas lain yang sudah lebih dulu dan lebih besar, dan mereka selalu humble untuk berbagi ilmu dengan kami. Mereka hanya selalu mengingatkan hal yang sama “bergerak di wilayah keadilan gender akan sangat berat, akan kering dukungan, akan menjadikan banyak kawan berguguran.
Kalian harus kuat akan hal itu” pertama kalimat itu berlalu begitu saja. Sampai akhirnya kami benar benar merasakannya sendiri. Bahwa tidak semua orang dan komunitas maupun NGO (Non-Government Organization, red) lain bisa menerima gerakan ini.
Gerakan gerakan feminis tentu tidak bisa berdiri sendiri, melawan budaya patriarki yang sudah bertengger di tiap asumsi filosofis dan landasan berpikir masyarakat sangat berat dan membutuhkan kawan seiring. Oleh sebab itu gerakan kami di Malang tentu selalu melibatkan komunitas-komunitas lain yang sudah lebih dulu ada dan mapan.
Seperti yang mudah ditebak hujatan cukup sering datang menerpa. Beberapa dari para komunitas yang didominasi oleh laki-laki.
Beberapa mendahulukan prasangka hingga munculnya diksi diksi semacam “kita kan musuhnya sama, perjuangan kita untuk keadilan sama harusnya kalian mendukung bukan mengoreksi” hingga diksi seperti “apa sih gerakan perempuan itu tambah nambahin konflik saja, hari ini perempuan sudah di beri ruang kok gak bersyukur”.
Percayalah itu terdengar sama seperti diksi “apa sih mahasiswa itu demo buruh itu demi bukannya bersukur bisa kuliah, dapet gaji bisa makan. Malah nambahin konflik”
Kami memahami betul bahwa prasangka dan konflik adalah buah dari dialog yang tidak selesai. Tapi sayangnya tidak pernah ada dialog, hanya ada cemooh. Jangan kan dialog mendengar diksi feminis saja yang muncul adalah perasaan ngeri sembari membayangkan perempuan perempuan jalang yang tak punya rasa bersyukur.
Stigma miring bahwa feminisme adalah gerakan egosentris yang menyuarakan kesetaraan namun hanya memikirkan satu gender benar benar sudah meradang.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana definisi keadilan yang diperjuangkan bisa muncul jika tak ada ruang bagi subjek subjek subordinat seperti perempuan, gender ketiga atau ras ras yang diperlakukan inferior untuk mendefinisikan keadilan.
Ini menujukan fakta bahwa keadilan di definisikan secara sepihak oleh subjek dominan. Bagaimana bisa ada kesetaraan khas suara suara kiri, jika mendengarkan pendapat perempuan saja terburu buru untuk tersinggung.
Ingin sekali kami menjelaskan bahwa feminisme bukanlah tentang meninggikan perempuan. tetapi feminisme adalah tentang kesetaraan. Bagaimana laki laki perempuan maupun gender ketiga bisa memiliki ruang akses keadilan yang sama. Bagaimana definisi keadilan dari setiap subjek dapat bertemu dan terealisasi?
Lalu mereka buru-buru akan menjawab “kalian itu yang dipikirkan laki laki perempuan saja. Ada hal lain yang lebih penting. Ada ribuan orang yang tidak bisa makan karena kelaparan, ada orang orang yang tertindas lalu kejahatan negara. persoalan revolusi jauh lebih penting dari pada sekedar konflik kecil yang kalian anggap penindasan. Sekarang yang terpenting kita merebut hegemoni dari penguasa”
Dan kami akan berkata dalam hati, syukur syukur jika berani menjawab dengan lantang. “persoalan penindasan terhadap perempuan akan tetap ada. Apakah kalian yakin revolusi akan menghilangkan penindasan terhadap perempuan? kami para perempuan saja bergidik mendengar kata hegemoni”, apakah hasilnya akan sama jika hegemoni di pegangkan kepada mereka yang di hatinya masih ada prasangka, dan bahkan enggan memberi ruang subjek subordinat berbicara tentang keadilan menurut pendapatnya sendiri?
Itu sama menakutkannya dengan kondisi hari ini.Selama kita belum selesai mendudukkan keadilan dengan sudut pandang yang seimbang.
Para pegiat feminis tak pernah ingin meninggi. Kami hanya ingin berbagi ruang gerakan yang nyaman. Ruang tanpa seksisme, dan prasangka. Ruang tanpa disproporsi keadilan dan opresi.
Ruang yang tak mungkin dicapai tanpa melibatkan lelaki; tanpa pemahaman laki-laki bahwa seksime itu bukan joke populis, bahwa kami pun berusaha membebaskan laki-laki dari stereotype.
Kami percaya tak semua laki-laki berjiwa patriarkis. Masih ada para lelaki yang tidak membiarkan produk patriarki menguasai pikiran mereka. Bahwa masih banyak laki laki yang adil sejak dalam pikiran.
Dan kami menginginkan mereka menjadi bagian di dalamnya. Mengapa demikian? Karena sebagai laki laki yang hidup di jaman patriarkis suara mereka akan lebih lantang terdengar.
Tak ada orang yang akan mengatai mereka Jalang! Atau perempuan tak tahu di untung. Mengapa? Karena mereka laki laki. Karena sebenarnya mereka telah memegang hegemoni.
Percayalah kami tidak merendahkan kalian, kami bahkan mengakui kemampuan kalian mengendalikan wacana. Dengan kalian berdialog dengan kami dan memahami tujuan yang sama, mungkin kelak kalian akan mau tampil di depan dan menyuarakan keadilan yang interseksional.
Karena kami tak memungkiri, bahwa sampai hari ini suara laki-laki masih menjadi suara yang paling di dengar.
Dan Feminisme, bukan gerakan yang ingin menyingkirkan laki laki, namun justru kami ingin meluhurkan laki-laki bersama sama dalam ruang yang seimbang.
I support you to not to hide your voice about feminist..
Let’s do something great for gender equality, not gender justice..