Anak Laki gak Boleh Kayak Banci

Ini terjadi beberapa tahun silam. Malam itu, saya berkumpul dengan empat teman perempuan saya di balkon lantai dua sebuah restoran cepat saji.

Kami tengah mengobrol sambil makan malam, ketika tatapan saya tiba-tiba jatuh pada ruangan yang dibatasi partisi jendela kaca. Dari balkon, saya memperhatikan seorang ayah dengan anak lelakinya.

Keduanya tengah duduk berhadapan. Wajah si ayah tampak berang, sementara si bocah yang tampak baru enam atau tujuh tahun itu sedang menangis. Entah apa yang sedang mereka ributkan.

Di luar dugaan, mendadak pria itu menampar si bocah. Makin celaka, dia melakukannya lagi dan lagi. Dia juga memaki-maki, sehingga tampak sekali bocah di hadapannya semakin sesenggukan. Meski tidak bisa mendengar, saya cukup jelas membaca gerak bibir pria itu:

“Diam. Jangan cengeng. Anak laki gak boleh kayak banci.”

Amarah saya timbul. Sayang, saking tegangnya, saya malah terdiam di tempat. Hanya mata saya yang menatap pria itu tanpa berkedip. Lebih tepatnya, terus memelototinya.

Seperti merasa diawasi, pria itu tiba-tiba berhenti dan menoleh. Mata kami bertemu. Saya masih memelototinya sampai salah satu teman tiba-tiba menegur:

“Kenapa?”

Perhatian saya sempat teralihkan. Setelah memberitahu mereka mengenai yang telah saya lihat barusan, berempat kami memandang ke arah pria tadi dan anaknya.

Sadar telah diawasi, rupanya pria itu akhirnya berhenti. Meski masih menatap marah pada anaknya, dia tidak menampar lagi. Bocah itu juga akhirnya berhenti menangis.

Entah apa yang terjadi dengan mereka berikutnya. Ayah dan anak itu pergi, sementara saya masih kepikiran.

“Setidaknya orang itu udah nggak mukul anaknya lagi,” ujar teman saya mencoba menghibur.

“Lagipula, itu juga bukan urusan kita.”

Bukan urusan kita. Ah, seperti biasa. Tiga kata yang cukup ampuh untuk membuat orang mundur dan bahkan cenderung menutup mata terhadap kekerasan pada anak yang jelas-jelas terjadi. Alasan-alasannya sama: enggan mencari keributan hingga takut dikatai sok ikut campur urusan orang lain.

Jujur, waktu itu saya juga dihantui rasa takut seperti itu, sehingga menumpulkan keberanian saya untuk maju: menegur pria itu dan membela anaknya, meski dengan resiko didamprat balik atau malah ikut ditampar sekalian!

Jika waktu itu saya memberanikan diri, pasti banyak yang akan berkomentar: “Ngapain?” Bahkan, bila terjadi pada sosok yang mereka kenal, reaksi mereka mungkin tidak akan jauh berbeda. “Itu urusan keluarga mereka.”

Bagaimana bila Anda pernah berada di posisi anak itu? Mungkin Anda merasa baik-baik saja. Saking ‘baik’-nya, Anda sampai mewariskan kekerasan ini pada anak Anda dan seterusnya dengan alasan: “Biar jadi jantan.”

Bagaimana bila Anda berada di posisi tak berdaya, di depan umum pula? Pasti Anda berharap akan ada yang menolong, ‘kan? Itu naluriah. Sayangnya, budaya patriarki tidak menghendaki kalian berbuat demikian. Label “cengeng”, “lemah”, “banci”, atau “kayak cewek” akan langsung menjadi milik Anda saat meminta pertolongan.

Lalu Anda mulai meyakinkan diri bahwa hanya ini caranya menjadi “lelaki sejati”. Harus jago berkelahi dan tahan sakit. Selesaikan masalah dengan otot, hanya atas nama harga diri.

Inikah masa depan yang ingin Anda berikan pada anak-anak lelaki Anda? Rebutan mainan? Mukul. Berselisih pendapat sama teman? Nonjok. Pacar ogah menuruti permintaan? Tampar.

Ada hubungannya? Ada. Mungkin Anda termasuk survivor yang tidak lantas berubah menjadi pelaku kekerasan akibat pernah dikasari orang tua waktu kecil. Sayangnya, belum tentu semua setangguh Anda.

Apakah saya lega pria itu berhenti memukul anaknya hanya karena dipelototi saya? Justru saya masih was-was akan nasib anak itu, karena bisa saja ayahnya melakukan yang lebih buruk bila tidak sedang ada saksi mata.

Tapi, mudah-mudahan sih, anak itu tidak apa-apa.

Ya, mudah-mudahan…

Mudah-mudahan juga, suatu saat nanti saya akan lebih berani daripada sekedar memelototi. Selain itu, saya harap sih, tak perlu ada lagi anak yang menjadi korban kekerasan orang tua sendiri…

About Ruby Astari

Penulis, penerjemah, dan pengajar bahasa Inggris. Saat ini menjadi kontributor untuk ALB

Check Also

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan

Reproduksi Perempuan Bukan Bentuk Kelemahan  Penulis: Ahmad Syahroni Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru   Seiring …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *