Gerakan Laki-laki Anti Kekerasan

Menarik membaca dua artikel yang ditulis oleh Syafiq Hasyim dan Sudirman H Nashir pada rubrik SWARA Harian Kompas,  senin, 24 September 2007. dua artikel tersebut seperti memberi perspektif baru dalam melihat persoalan laki-laki dan kekerasan terhadap perempuan sekaligus memberi inspirasi atas kemungkinan strategi baru yang bisa dikembangkan dalam mengeliminasi masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Harus diakui bahwa selama ini pendekatan yang digunakan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah pendekatan perempuan. Tentu saja pendekatan ini memiliki argumentasi yang sangat kuat yang membuatnya harus dilakukan oleh aktivis perempuan di Indonesia pada kurun waktu lima belas tahun terakhir. Dan pendekatan ini  memiliki kontribusi besar dalam pemberdayaan perempuan korban kekerasan dan berkontribusi besar terhadap lahirnya berbagai produk kebijakan yang berorientasi pada perlindungan perempuan dari kekerasan. Sebut saja sederet kebijakan pada level nasional yang lahir dari kontribusi pendekatan ini seperti Deklarasi Zero Tolerance Policy di penghujung tahun 1999 yang kemudian diikuti oleh Rencana Aksi Nasional Penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2000, Surat Kesepakatan Tiga Menteri yang menjadi pijakan penting bagi pembentukan penanganan terpadu bagi perempuan korban kekerasan, kemudian Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada tahun 2004, dan yang paling terakhir UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun di sisi lain pendekatan perempuan ini-meskipun tidak disengaja- melahirkan citra gerakan perempuan sebagai gerakan melawan laki-laki. Pada gilirannya gerakan anti kekerasan terhadap perempuan kerap disalah pahami dan diprasangkai.  Wujud dari salah paham itu adalah bentuk penolakan dan pembelokan misalnya gerakan perempuan di anggap gerakan merusak tatanan masyarakat, gerakan perempuan dianggap gerakan melawan agama dan seterusnya.
Melihat situasi yang ditimbulkan dari pendekatan perempuan an-sich, menjadi menarik dan penting untuk mencari strategi baru yang dapat menjawab stagnasi dari gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dewasa ini dan apa yang ditulis Syafiq Hasyim dan Sudirman H Nashir memiliki relevansi untuk didialogkan mengingat keduanya mengusung isu pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Bagi saya setidaknya ada tiga level keterlibatan laki-laki yang patut dipertimbangkan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan; pertama, laki-laki menjadi mitra aktiv dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Seperti pernah ditulis oleh Nur Iman Subono, bahwa sebenarnya secara statistik laki-laki yang tidak melakukan kekerasan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki pelaku kekerasan, namun mereka menjadi silent mayority atau mayoritas yang diam, situasi ini membuat laki-laki mayoritas ini terjebak pada sikap kolutif dengan laki-laki pelaku kekerasan, karena mereka mendiamkan dan tidak bisa berkata tidak kepada laki-laki pelaku kekerasan.
Salah satu bentuk partisipasi aktif laki-laki ini adalah dengan membentuk aliansi laki-laki anti kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang pernah muncul beberapa tahun lalu di Jakarta ketika ada sekelompok laki-laki mendeklarasikan CANTIK yang memiliki kepanjangan Cowok-Cowok Anti Kekerasan. Meskipun akhirnya kelompok ini tak lagi kedengaran gaungnya namun sebenarnya gerakan seperti CANTIK ini sangat penting dan strategis dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Strategis artinya aliansi laki-laki dapat berperan sebagai kelompok penekan bagi laki-laki pelaku kekerasan dan meneguhkan bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan bukan persoalan perempuan semata akan tetapi persoalan laki-laki dan perempuan secara bersama.
Mengingat posisinya yang strategis, aliansi laki-laki anti kekerasan terhadap perempuan layak untuk dihidupkan kembali di Indonesia untuk mempercepat upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dalam upaya membangkitkan kembali Aliansi Laki-laki anti kekerasan terhadap perempuan ada baiknya bila belajar dari pengalaman CANTIK.  Mengingat pembentukan Aliansi seperti ini bukan tanpa tantangan. Dan tantangan ini menuntut untuk dijawab dengan tepat. Di antara tantangan itu adalah sinisme dan cemooh dari kelompok laki-laki sendiri mulai dari anggapan tidak punya kerjaan, laki-laki yang kalah atau cap negatif terkait dengan orientasi seksual tertentu. Tantangan lainnya adalah bagaimana membangun trust atau keperyaan dari aktivis perempuan akan gerakan laki-laki. Syafiq memberi rambu-rambu yang jelas, untuk membangun kepercayaan itu adalah sejak awal gerakan laki-laki anti kekerasan terhadap perempuan harus jelas posisi politiknya dalam kontek gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Gerakan laki-laki adalah sebagai pendukung gerakan perempuan dan tidak akan mengambil alih gerakan yang sudah dibangun oleh perempuan.
Kedua, Membuka ruang dialog tentang konsep maskulinitas atau kelelakian. Membuka ruang dialog ini penting mengingat laki-laki cenderung enggan membicarakan tentang dirinya. Ruang dialog ini dapat dimulai dengan melakukan studi-studi tentang laki-laki atau maskulinitas yang memang di Indonesia belum mendapat porsi yang memadai jika dibandingkan dengan studi tentang perempuan. Studi laki-laki atau maskulinitas akan memberi ruang untuk melakukan kritik terhadap konsep maskulinitas hegemonik yang ternyata membawa banyak persoalan baik bagi perempuan maupun laki-laki sendiri. Studi-studi laki-laki juga memiliki peluang untuk merumuskan konsep baru maskulinitas yang lebih positiv misalnya maskulinitas yang lebih egaliter, supportive, dan anti kekerasan.
Ketiga, program-program perubahan perilaku bagi laki-laki. Kekerasan bukanlah sesuatu yang secara alamiah melekat pada laki-laki akan tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari melalui mekanisme rumit yang disebut konstruksi sosial. Sebagai sesuatu yang dipelajari maka kekerasan adalah perilaku yang memungkinkan untuk diubah. Meskipun demikian program-program perubahan perilaku bukanlah program pemaafan (excuse) atas kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki akan tetapi sebaliknya adalah program-program untuk membuat laki-laki bertanggungjawab seratus persen terhadap kekerasan yang dilakukan. Untuk selanjutnya memfasilitasi laki-laki untuk dapat merefleksikan dampak kekerasan yang mereka lakukan bagi orang-orang yang menjadi korban termasuk bagi dirinya sendiri. dan hal penting lainnya dalam program perubahan perilaku bagi laki-laki adalah memfasilitasi laki-laki untuk membiasakan dengan perilaku baru yang berkaitan dengan kesetaraan, respek, dan anti kekerasan terhadap perempuan.
Semoga tulisan ini memberi sumbangan bagi upaya menemukan format yang tepat bagi gerakan laki-laki melawan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Salam.
Catatan : Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Kompas edisi 1 Oktober 2007

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *