Maskulinitas dan Bunuh Diri

Jumat, 17 Maret 2017, media sosial Indonesia dihebohkan dengan status Live Facebook seorang laki-laki bernama PI yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri pada seutas tali tambang. Status Live yang memperlihatkan bagaimana PI menghabisi nyawanya sendiri tersebut menjadi viral sebelum akhirnya dihapus oleh Facebook karena mengandung konten sadis dan berbahaya. Sebelum memutuskan untuk bunuh diri, PI berkeluh kesah mengenai beban ekonomi dan tekanan hidup yang dialaminya. Pria tersebut mengaku tidak tahan akan rengekan anak dan istrinya, tetapi pada saat yang sama tak mampu berbuat apa-apa karena keterbatasan ekonomi.
Tekanan ekonomi yang membebani laki-laki mungkin bukan berita baru. Lelaki, menurut peranan gendernya dalam masyarakat, dituntut menjadi seorang pemberi nafkah, pelindung dan pengayom. Laki-laki sejati harus mampu kuat, tidak boleh menangis dan meratap. Man it up! Istilah londo-nya. Hadapilah selayaknya seorang laki-laki sejati. Apapun yang terjadi laki-laki harus tetap tegar dan menjadi problem solver. Laki-laki dalam kesehariannya harus mampu menjadi ksatria berkuda putih yang menyelamatkan sang putri dari cengkraman naga jahanam.
Nilai-nilai seperti ini diajarkan sejak dini dengan harapan terinternalisasi dan ke depannya mampu membentuk pria-pria maskulin harapan bangsa masa kini. Tentu sering kita dengar bagaimana orang tua membesarkan hati anak laki-lakinya yang mulai berubah air mukanya saat terjatuh ketika bermain, “Hayo jangan nangis. Laki-laki nggak boleh cengeng loh!” Bahkan artis legendaris kenamaan, Iwan Fals mengabadikannya dalam lirik lagunya, “Engkau lelaki, kelak sendiri.” Adalah biasa, di mata masyarakat, seorang laki-laki selalu kelihatan kuat dan menelan bulat-bulat apapun yang dirasakannya; senang atau sedih. Toh itu kan yang diharapkan?

Tekanan menjadi Laki-laki 

Maskulinitas (masculinity) secara umum dipahami sebagai nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seorang laki-laki seharusnya (dan tidak seharusnya) bersikap dan berperilaku di mata masyarakat. Dari sana lahirlah kriteria panjang bibit bebet bobot seorang laki-laki sejati yang musti dipenuhi. Sebagaimana dikutip dalam buku “The Guy’s Guide to Feminism”, karakter laki-laki yang dianggap maskulin biasanya identik dengan legitimasi, kepemimpinan dan otoritas. Jika seorang laki-laki tidak mampu mengatur dan memimpin, maka bersiaplah akan konsekuensi sosial yang musti ditanggung. Istilah Toxic Masculinity muncul dari sederetan efek samping maskulinitas yang pada intinya merujuk pada kesimpulan bahwa beberapa nilai maskulinitas yang saat ini dipercaya sebagai sebuah keniscayaan di tengah masyarakat sesungguhnya  beracun (toxic) dan membahayakan, baik bagi perempuan maupun laki-laki itu sendiri.
Biasa tidak lantas membuat semuanya menjadi benar. Perlahan tapi pasti, nilai-nilai maskulinitas yang beracun (Toxic Masculinity) ini menggerogoti jiwa laki-laki dan membuatnya menjadi rentan stress dan depresi. Begini ilustrasinya; bayangkan jika anda seorang laki-laki dengan istri dan dua anak. Menurut konsep pembagian kerja gender tradisional, adalah keharusan seorang laki-laki bekerja mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak. Tanpa bertanya banyak, anda mengikuti aturan sosial itu dan bekerja keras setiap hari, mulai pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun tiba-tiba perusahaan tempat anda bekerja gulung tikar dan anda menjadi salah satu karyawan yang terpaksa dirumahkan. Meyakini bahwa laki-laki sejati harus selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan perasaannya, anda pulang ke rumah seperti biasa; merahasiakan keputusan perusahaan tersebut dari istri dan anak anda. Lebih baik berbohong daripada terlihat lemah, begitu pikir anda.
Sebagai seorang pemberi solusi dari segala masalah, anda bertekad mencari pekerjaan baru tapi alas, tidak segampang itu. Kian hari istri anda semakin curiga karena bukan uang yang anda bawa, malahan tagihan hutang minyak dan beras dari toko sebelah. Hidup semakin sulit, tetapi anda urung bercerita. Anda semakin dihantui rasa bersalah karena rengekan anak yang minta jajan dan istri yang meminta jawaban. Anda tidak terpikir untuk meminta bantuan atau pendapat istri karena laki-laki. harus bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Saat semua buntu, anda merasa putus asa dan depresi. Pikiran negatif untuk mengakhiri hidup semakin membayangi; setidaknya dengan begitu anda tidak perlu membebani anak istri dan anda bisa lepas dari tekanan menjadi laki-laki sejati.

Maskulinitas dan Kontribusi Terhadap Bunuh Diri

Kita tidak akan pernah tahu bagaimana kisah PI sesungguhnya. Tetapi rentetan cerita di atas mungkin saja terjadi pada ribuan laki-laki di Indonesia yang menganut konsep maskulinitas yang membutakan. Bunuh diri menjadi ujung dari lingkaran setan tuntutan dan tekanan yang dirasakan laki-laki atas nama maskulinitas. Menurut laporan Badan Kesehatan Internasional (World Health Organization/WHO) berjudul “Preventing Suicide: A Global Imperative” yang dirilis pada tahun 2014, di negara-negara maju, laki-laki memiliki kemungkinan bunuh diri tiga kali lebih tinggi daripada perempuan. Sementara di negara berkembang, kecenderungannya turun menjadi setengahnya. Ini mengukuhkan fakta bahwa laki-laki memiliki kecenderungan bunuh diri lebih tinggi daripada perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh organisasi The Samaritans di Inggris pada 2012 mengatakan bahwa kasus bunuh diri laki-laki paling sering terjadi pada usia paruh baya dan kecenderungannya sepuluh kali lebih besar pada laki-laki dengan status sosial ekonomi rendah. ((https://www.samaritans.org/sites/default/files/kcfinder/files/Men%20and%20Suicide%20Research%20Report%20210912.pdf)) Laki-laki kondisi tersebut seringkali tidak memiliki pekerjaan atau tidak punya akses yang cukup terhadap pekerjaan tetap. Hal tersebut memicu rasa malu dan perasaan gagal karena mereka merasa kehilangan identitas maskulinitas mereka yaitu memiliki pekerjaan tetap dan kemampuan untuk menafkahi keluarganya.
Melihat keterkaitan ini, para peneliti menganjurkan agar kebijakan dan program pencegahan bunuh diri mempertimbangkan juga faktor maskulinitas, terutama bagaimana konsep menjadi seorang laki-laki sejati terbentuk dan tertanamkan dalam diri laki-laki. Ini diperkuat juga dengan penelitian yang mengungkapkan fakta bahwa laki-laki lebih sedikit mengkonsultasikan kondisi, perasaan atau situasi mentalnya dibandingkan oleh perempuan (Canetto & Sakinofsky, 1998).
Bagaimanakah tepatnya kecenderungan perilaku bunuh diri laki-laki Indonesia? Pada tahun 2012, WHO mengeluarkan data yang mengatakan jumlah laki-laki yang bunuh diri 3.7 sementara perempuan mencapai 4.9 dari 100.000 populasi di Indonesia. ((http://gamapserver.who.int/gho/interactive_charts/mental_health/suicide_rates/atlas.html)) Namun, sebuah penelitian yang dilakukan di Bali pada tahun 2008 – 2009 menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan bunuh diri. ((https://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2012_01/098_104.pdf)) Sampai saat ini belum ada penelitian yang cukup komprehensif di Indonesia terkait kasus bunuh diri dan konsep kelaki-lakian (maskulinitas).
Melihat data tersebut dan praktek  nilai-nilai Toxic Masculinity di Indonesia, bisa ditebak bahwa polanya mungkin tidak jauh berbeda. Sesungguhnya di luar sana mungkin banyak orang seperti PI yang berkutat dengan permasalahan hidup dan dilema menjadi laki-laki maskulin yang diharapkan masyarakat. Ini saat yang tepat untuk meninjau ulang konsep maskulinitas kita.
Apakah lebih penting menjadi laki-laki kuat atau laki-laki yang jujur? Apakah kuat harus selalu berarti berdiri sendiri dan menyembunyikan perasaan kecewa? Apakah harus selalu laki-laki yang mencari solusi dan memberi nafkah? Apakah tidak mungkin membagi peran dan tugas dengan perempuan karena secara logika akan lebih ringan jika tanggungjawab keluarga dipikul bersama? Apakah tidak mungkin masyarakat Indonesia memiliki konsep maskulinitas yang baru, yang sehat, setara dan tidak membebani? Jawabannya ada di tangan kita semua.
Jika kamu membutuhkan bantuan atau informasi terkait dengan pencegahan bunuh diri, silahkan kirimkan e-mail ke intothelight.email@gmail.com atau bergabung di fanpage In To The Light.
 

About Marisna Yulianti

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *