Penyamun di Sarang Perempuan

Saya seorang laki-laki. Keterlibatan saya pada dunia aktivisme mahasiswa mengantarkan saya untuk berkenalan dengan isu gender. Pelatihan gender yang saya ikuti di akhir  tahun 90-an membuka kesadaran saya untuk pertama kalinya tentang bentuk ketidakadilan yang sebelumnya tidak pernah saya sadari.
Saya tidak pernah mempersoalkan ketika ibu saya melayani apa saja kebutuhan ayah saya. Saya tidak pernah menganggap ada yang salah ketika ayah saya menggunakan kata-kata keras ketika berkomunikasi dengan ibu saya. Saya menganggap hal yang biasa ketika saya disebut cengeng ketika saya mudah menangis. Saya juga tidak pernah memprotes ketika saya dianggap anak laki-laki yang tidak berguna ketika saya tidak bisa memanjat kelapa atau berenang. Waktu itu saya menganggap memang seharusnya demikian. Saya beranggapan saya saja yang tidak dapat memenuhi harapan bagaimana seharusnya menjadi laki-laki.
Pelatihan gender kala itu membuka kesadaran saya. Kesadaran itu pula yang menghantarkan saya kepada pilihan untuk bekerja pada isu yang mungkin jarang dipilih laki-laki, yakni bekerja pada lembaga yang disebut lembaga perempuan, bekerja mendampingi perempuan yang mungkin bagi sebagian besar laki-laki dianggap sangat tidak laki-laki.
Ketika pilihan saya jatuh kepada lembaga yang bekerja untuk isu perempuan bukan berarti  tanpa gejolak. Saya justru berada dalam situasi yang sulit, terkait dengan bagaimana seharusnya saya memposisikan diri saya dalam lembaga saya–dan dalam konteks gerakan perempuan secara umum. Saya seorang laki-laki dan saya bekerja di sebuah lembaga perempuan. Saya menyadari sepenuhnya betapa perempuan mengalami ketidakadilan dalam hidupnya yang disebabkan oleh sistem yang memberikan keistimewaan dan kekuasaan kepada kaum saya laki-laki.  Saya menyadari sepenuhnya bahwa untuk mengubah sistem yang tidak adil ini perempuan harus mendapatkan ruang yang memungkinkan mereka menjadi berdaya serta memiliki posisi yang setara dengan laki-laki.
Kesadaran saya ini menempatkan saya pada sebuah dilema antara dorongan kuat untuk melakukan upaya memberdayakan perempuan dan perasaan takut untuk menciptakan dominasi atas kolega perempuan saya dan atas kelompok-kelompok perempuan yang bekerja dengan saya. Dalam menjalani pekerjaan saya, saya seperti sedang mengendarai sebuah mobil, kadang saya menginjak pedal gas agak kencang, namun saya mendadak menginjak pedal rem untuk memperlambat laju mobil yang saya kendarai ketika saya menyadari bahwa saya  adalah seorang laki-laki yang saya kenali sebagai kelompok paling diuntungkan oleh sistem dalam masyarakat saya.
Analogi mengendarai mobil sebenarnya adalah analogi tentang proses bagaimana saya memposisikan diri saya dalam konteks lembaga saya yang nota bene adalah lembaga yang mengusung perjuangan untuk memberdayakan perempuan. Pergulatan dengan diri saya sebagai seorang laki-laki yang bekerja di sebuah lembaga perempuan membawa saya kepada sebuah pilihan bahwa saya akan memposisikan diri saya sebagai pendukung gerakan perempuan dan lembaga perempuan yang sangat saya cintai.  Alhasil, dengan pilihan ini saya berkomitmen kepada diri saya sendiri untuk tidak menempati posisi penting atau posisi pengambil keputusan dalam lembaga saya karena saya menyadari bahwa perempuan hanya menyisakan tempat di lembaga-lembaga mereka sendiri untuk dapat menempati posisi-posisi strategis dan pengambil keputusan. Lembaga-lembaga perempuan adalah tempat perempuan berlatih untuk menjadi pemimpin. Lembaga perempuan merupakan tempat perempuan belajar tentang politik dan proses-proses politik.
Jika posisi-posisi itu hilang dan kembali dikuasai laki-laki, apa lagi yang tersisa bagi perempuan? Mereka nyaris tidak disisakan ruang yang cukup untuk menempati posisi-posisi strategis dalam institusi-institusi laki-laki.
Di tengah pilihan  saya itu,  saya harus jujur bahwa saya kerap kali tergoda atau digoda untuk keluar dari jalur yang saya pilih, terkait dengan bagaimana saya memposisikan diri saya dalam lembaga saya dan dalam konteks gerakan perempuan.  Bisa jadi saya harus menyumpahi diri saya ketika pada akhirnya tak kuasa dengan godaan itu. Hingga suatu ketika saya memutuskan menerima tawaran untuk menempati posisi penting di lembaga saya. Tentu saja dalam proses pelanggaran akan komitmen yang saya anggap ideologis itu tidak hanya terjadi begitu saja akan tetapi melalui proses apa yang saya sebut sebagai intelektualisasi, sebuah proses membangun argumentasi yang kira-kira dapat memberikan alasan rasional mengapa prinsip saya itu saya langgar.
Bukankah saya menempati posisi penting itu bukan kehendak saya? Bukankah saya akan menggunakan kekuasaan yang diberikan kepada saya untuk kepentingan paling baik bagi perempuan? Bukankah jenis kelamin saya yang laki-laki akan bernilai strategis ketika menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender kepada laki-laki lain? Bukankah saya akan menjadi role model bagi laki-laki lain untuk menyuarakan keadilan gender dan anti kekerasan dan jika itu semua terjadi bukankah upaya mencapai kesetaraan gender akan lebih cepat dicapai?
Saya membayangkan diri saya kala itu seperti para pelaku kekerasan dalam rumah tangga ketika mereka melakukan rasionalisasi atau intelektualisasi bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah salah mereka, tetapi salah pasangannya yang memaksa mereka melakukan kekerasan. Atau mereka mencari pembenar dengan merujuk pada nilai-nilai yang bersumber dari agama atau budaya. Sebagai laki-laki sudah seharusnya saya memiliki kuasa atas perempuan–sayalah imam dan pemimpin di rumah. Apa yang saya lakukan adalah bagian dari amanah sebagai pemimpin keluarga untuk mendidik anggota keluarganya.
Melihat kemiripan tersebut, saya mencemaskan diri saya sendiri. Jangan-jangan saya sedang denying (menyangkal) bahwa tidak ada masalah dengan keputusan saya yang laki-laki menerima posisi penting di lembaga saya yang merupakan lembaga perempuan. Jangan-jangan saya seperti penyamun di sarang perempuan. Karena penyamun memiliki potensi membajak, merampas dan menguasai apa saja yang ada di sekelilingnya. Menjadi ngeri melihat wajah sendiri.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *