Tindak kekerasan jalanan, saat ini dikenal dengan klitih, yang dilakukan remaja anggota geng motor di Yogyakarta semakin merajelala dan meresahkan. Pada puncaknya, hal ini pula yang membuat warga Yogyakarta menggelar “Aksi Jogja Damai 9119” sebagai bentuk keprihatinan atas maraknya klitih di jalanan Jogja.
Upaya yang dilakukan kepolisian dengan menangkap para pelaku, termasuk menggiatkan patroli malam untuk menciptakan rasa aman bagi warga patut mendapat apresiasi. Penindakan hukum yang kuat oleh polisi adalah salah satu hal yang sebenarnya paling ditakuti oleh para remaja anggota geng tersebut.
“Klitih” sendiri adalah aktivitas keluar rumah untuk jalan-jalan santai tanpa harus ada tujuan yang spesifik, namun sekarang kata ini identik dengan kekerasan jalanan yang mematikan yang dilakukan remaja anggota geng yang mengendarai motor.
Banyak pendapat yang muncul untuk menjelaskan mengapa klitih terjadi, mulai pola asuh orang tua dan lingkungan yang buruk, masa pencarian jati diri dan eksistensi, konsep diri rendah dan pengendalian emosi yang buruk, kurangnya penanaman nilai agama dan norma sosial, maupun karena tekanan kelompok sebaya.
Ada satu fakta yang terabaikan dan perlu dicermati. Fakta yang banyak ditemukan mengenai tindak kriminalitas dan kekerasan dimanapun adalah secara konsisten mayoritas pelakunya adalah laki-laki.
Di seluruh Indonesia, data yang dikeluarkan oleh Ditjenpas mengenai perbandingan jumlah narapidana laki-laki dan perempuan juga menunjukkan hal yang sama, selalu narapidana laki-laki jauh lebih banyak dibanding narapidana perempuan, baik dewasa maupun remaja.
Remaja laki-laki dan perempuan sama-sama berada pada fase perkembangan dan pencarian jati diri, beberapa dari mereka mungkin sama-sama hidup dengan pola asuh dan lingkungan yang buruk sehingga stres dan depresi serta memiliki konsep diri yang rendah, namun remaja laki-laki lebih beresiko melakukan tindak kriminal dan kekerasan dibanding perempuan atas situasi tersebut.
Sama-sama mengalami tekanan kelompok sebaya, namun tekanan yang dialami laki-laki banyak mengarah pada perilaku kenakalan seperti membolos, mabuk miras oplosan, narkoba, dan tawuran, sedangkan perempuan lebih pada tuntutan gaya hidup untuk dandanan kekinian.
Fakta ini menunjukkan bahwa ada cara hidup dan gambaran yang salah yang dipilih oleh remaja laki-laki tentang bagaimana menjadi laki-laki.
Pada kajian gender, cara hidup laki-laki ini dikenal dengan norma maskulinitas, yaitu seperangkat aturan dan karakteristik yang dikonstruksikan oleh budaya hanya kepada laki-laki.
Maskulinitas yang merusak (toxic masculinity) cenderung mengagungkan kejantanan, dominasi laki-laki atas laki-laki lain terutama perempuan, kuasa dan kontrol, keberanian, kekuatan fisik, agresivitas dan kekerasan.
Hasil penelitian Tim Fakultas Psikologi Universitas Mercubuana Yogyakarta pada akhir 2018 yang mewawancarai 12 anggota geng motor di Yogyakarta menujukkan bahwa bagi mereka laki-laki sejati adalah yang berani.
Berani diartikan dengan berani melakukan perilaku beresiko, termasuk kekerasan. Agar berani maka perlu latihan, misalnya bertarung fisik dengan anggota lain yang lebih senior, 1 orang melawan 3 – 5 orang dalam sekali perkelahian.
Ada tradisi bagi anggota baru yaitu mabuk dan menyerang orang lain di jalan sebagai pembuktian keberanian. Anggota yang banyak melukai lawan-lawannya ketika perkelahian, ia akan dihormati dan mendapatkan pengakuan bahwa ia benar-benar laki-laki berani.
Pandangan ini tentu tidak datang tiba-tiba melainkan hasil dari konstruksi budaya terhadap laki-laki yang mereka lihat dan dengar terutama dari laki-laki dewasa di rumah, sekolah, komunitas, warung makan, maupun televisi sejak kecil yang membuat mereka hanya mengenali hal-hal yang maskulin saja.
Bukankah kita sering mendengar pernyataan; laki-laki harus garang, laki-laki hebat mampu “menaklukkan” banyak perempuan, laki-laki akan sangat “laki-laki” apabila merokok, mabuk dan tawuran. Hingga kita mengenal ungkapan “mari kita selesaikan secara laki-laki”, jika para laki-laki sedang berkonflik.
Program pencegahan perlu dimulai dengan mengkritisi tentang konsep kelelakian yang selama ini diyakini oleh remaja. Perlu upaya masif, seperti kampanye dan edukasi di keluarga, komunitas dan sekolah yang menyasar remaja laki-laki untuk mempromosikan maskulinitas positif yang tidak berorientasi dengan kekerasan, bahwa menjadi laki-laki sejati tidak perlu dengan kekerasan, semakin sabar, penuh cinta kasih dan anti kekerasan maka anda semakin laki-laki.
Perlu diingat, perubahan ini harus dimulai dari anda, laki-laki dewasa.