Aliansi Laki-Laki Baru: Tanggungjawab atas Keseimbangan Semesta

“Karena peminggiran kelas sosial-perempuan itu adalah kesalahan sejarah bersama, maka pemerdekaan atasnya merupakan persoalan semesta.” (Veven Sp. Wardana -pengamat media dan laki-laki feminis).

Kesetaraan gender adalah lahir dari kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki hidup dalam planet yang sama. Mereka saling berinteraksi, berkomunikasi, bahkan hidup berdampingan dalam pekerjaan, dalam rumah, dalam ruang-ruang publik. Maka tidak mungkin isu gender ini disegregasi (dipisahkan) atau hanya dibebankan kepada perempuan. Kesetaraan gender adalah prinsip tentang berbagi, seimbang dan adil dalam menjalankan kehidupan bersama-sama diantara keduanya.

Dalam hal ini maka laki-laki perlu “dipaksa secara positif” (diafirmasi) untuk diajak dan terlibat memikirkan prinsip tentang “sama, seimbang dan adil” tersebut, sehubungan dengan interaksi-interaksi antara kedua gender di planet ini, yang selama ini menjadikan keduanya terpisah dalam persepsi dunia masing-masing, dan celakanya di dalam interaksi keduanya, laki-lakilah yang dominan akibat budaya patriarki yang hampir sepanjang sejarah budaya manusia, di-amini di seluruh dunia. Dominasi ini membuat perempuan terhimpit hidup di alam yang terisolasi, sendirian dan suaranya seringkali tidak terwakili di sektor-sektor kehidupan yang penting, termasuk dalam kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, budaya, sains, dll.

Keterlibatan laki-laki disini adalah perlu hadir sebagai “teman” atau rekan untuk menjenguk kehidupan perempuan yang sendirian itu, (bukan semata-mata sebagai pendamping ataupun pelindung dan penjaga) dalam budaya yang tidak menoleh ke arah perempuan. Kehidupan perempuan sering sulit dipahami dalam budaya yang dominan tersebut, sulit diterjemahkan dan dijelaskan, bahkan oleh perempuan sendiri. Oleh karena itu tanpa disadari, beban berat harus dipanggul perempuan, terutama akibat fungsi-fungsi biologisnya yang kemudian menjadi beban-beban sosial dan ekonomi mereka. Sebagai contoh, mereka (perempuan) menjadi pihak yang harus dinafkahi, atau memerlukan belas kasih orang lain, dan bila ia seorang janda maka disantuni, dijadikan istri kedua atau ketiga, karena tidak memiliki mata pencaharian. Ruang untuk menghidupi diri sendiri seringkali menjadi cemooh tentang melawan kodrat mereka sebagai perempuan yang seharusnya bergantung seluruhnya kepada pria.

Bagi perempuan yang sudah menikah, budaya meletakkan mereka untuk sepenuhnya melayani suami, mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, mengurus rumah, semua diserahkan kepada perempuan dan bahkan mereka diminta untuk melakukannya seumur hidup mereka, tanpa ada ruang untuk diri mereka sendiri. Tanpa ada ruang untuk kemampuan-kemampuan atau potensi dan bakat lain yang mereka miliki sebagai manusia. Belum lagi kehidupan di rumah, ruang sempit yang bukan berarti tanpa beban, dan beban-beban itu tidak terlihat di area publik, yang sebenarnya mengandung persoalan pelik lainnya. Beban “rumah” dan seluruh isinya tersebut sudah semestinya dibagi, bekerja secara bersama-sama, untuk keseimbangan kehidupan itu sendiri, contohlah dalam pengasuhan. Atas alasan maternitas atau naluri keibuan, semua beban itu bertumpuk pada perempuan. Perempuan diibaratkan seorang induk dengan insting seekor hewan betina yang tak memiliki pikiran dan kreativitas.

Pengasuhan adalah aktivitas untuk melanjutkan kehidupan, baik individu mupun sosial bahkan budaya yang lebih besar, yang seharusnya bukan hanya menjadi tugas perempuan. Adalah tugas seluruh umat manusia.

Itulah sebabnya laki-laki seharusnya tidak lagi melihat bahwa isu perempuan adalah urusan perempuan, (dulu bahkan disebut Menteri Urusan Wanita), semua problem perempuan (termasuk ketidaksetaraan gender), diserahkan kepada perempuan, pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak , seperti menyerahkan urusan cucian dan setrikaan, dan piring-piring kotor yang berserak di ruang makan. Ketidaksetaraan gender adalah persoalan yang melibatkan kedua gender, dampaknya juga pada laki-laki, disebabkan dan oleh keduanya dan untuk keduanya. Dan diantara mereka yang dewasa atau yang di usia produktif terdapat anak-anak, lansia, belum lagi diversitas gender lainnya. Persoalannya tidak hanya berhenti pada tema gender itu sendiri, melainkan terintegrasi dalam seluruh kehidupan manusia dalam semua sektor, yang biasa disebut pengarus-utamaan gender, dan telah lama menjadi kebijakan di negara ini yang masih sulit dan terhambat untuk diimplementasikan karena masalah “hanya urusan wanita” tersebut. Masalah gender perlu menjadi arus utama bagi seluruh aspek, sebab bumi ini dihuni oleh keduanya, dan interaksi oleh keduanya, dan untuk kebaikan kehidupan keduanya.

Laporan-laporan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam persoalan kekerasan seksual, yang diantaranya dikompilasi dan diterima oleh Komnas Perempuan, adalah berawal dari ketidaksetaraan atau ketimpangan gender. Oleh karena itu keterlibatan laki-laki adalah cara untuk memikirkan secara bersama-sama untuk menghentikan situasi tersebut. Budaya patriarkhi telah membuat jurang yang membuat keduanya hidup dalam alam masing-masing, dan seringkali miskomunikasi akibat persepsi yang tidak adil pada perempuan, dan mengakibatkan terjadinya kekerasan. Belum lagi mitos-mitos tentang perempuan dan seksualitasnya yang sering dilabeli oleh pandangan yang negatif, Label janda, label perempuan tidak kawin, label perempuan karir, label perempuan aktif dan unggul di berbagai bidang, tentu berbeda jauh dengan label yang diletakkan pada laki-laki. Seorang duda, lajang, karir, aktif, unggul, tentulah lebih baik bagi laki-laki ketimbang perempuan yang terus menerus dicurigai tidak mengingat kordratnya.

Situasi yang tidak adil ini mengakibatkan seorang perempuan terus menerus dihakimi, terus menerus harus mendaki gunung yang terjal dengan kerikil dan batu yang berjatuhan di atasnya, sejak kecil hingga dewasa, bahkan lansia. Sementara laki-laki, tak perlu menanjak dan menghadapi kerikil, sebab mereka sudah dibentangkan karpet merah yang landai untuk menuju eksistensinya sebagai manusia. Oleh karena itu keterlibatan laki-laki adalah kesediaan laki-laki untuk sedikit merendahkan hati dengan bergabung dan menjadi bagian bersama untuk keluar dari masalah-masalah interaksi tersebut serta mengurangi gap antara perempuan dan laki-laki dalam menjalankan kehidupan, dan tentu saja untuk melanggengkan interaksi diantara keduanya. Kesetaraan gender bukan untuk menguntungkan perempuan, melainkan menempatkan perempuan dalam derajat yang setara atau manusiawi sebagaimana laki-laki. Derajat manusiawi adalah derajat yang seharusnya manusia dilahirkan di bumi ini. Tidak ada untung rugi dalam tema dan skema kesetaraan gender, melainkan, KEADILAN.

Dalam hal Ketahanan Keluarga, keseteraan gender pun seringkali dianggap memicu perpecahan rumah tangga, padahal, justru kesetaraan gender membuat laki-laki dan perempuan masuk dalam panggung yang saling berbagi, bukan saling menuntut. Saling kerjasama, bukan saling menuduh. Namun, bahkan untuk idealisme menjadi manusia yang “sederajat” ini, budaya patriarki menganggapnya kerugian yang banyak bagi laki-laki. Karena dianggap harus menurunkan keistimewaannya sebagai gender yang unggul, yang harus menggulung karpet merah mereka. Mereka tidak terbiasa melihat kaum perempuan ada di samping mereka bersama-sama berpikir dan bekerja. Mereka selama ini hanya diperkenalkan sebagai “mahluk hawa penggoda yang merusak moral dunia” sebagai sosok profan versus sakral, sosok paradoks, mahluk yang memiliki dua sisi: disucikan, atau kotor, bidadari atau iblis. Mereka dijadikan obyek seksual dalam sosok apapun. Sosok bidadari maupun iblis adalah contoh mitos yang menempatkan mereka sebagai obyek seksual. Contoh menempatkan kesucian (sacral) adalah keperawan, dan tidaksucian (profan) adalah tidak perawan, dan karena itu banyak kasus ketika malam pengantin tiba, sang istri yang dinyatakan tidak perawan akan digagalkan atau bahkan dibunuh, karena sang lelaki merasa dibohongi. Padahal budaya Patriarhi lah yang membohonginya, bukan perempuan.

Perempuan terus dicurigai dalam spektrum profan-sakral tadi, perempuan baik-baik atau perempuan nakal, yang tidak dilabeli pada mereka (laki-laki). Bahkan dicurigai oleh sesame perempuan sendiri, dalam pertarungan siapa yang paling suci, dan yang lainnya adalah bukan perempuan baik-baik, bahkan saling mencakar untuk memperebutkan atau mempertahankan laki-laki sebagai sumber cinta dan harta mereka. Perempuan dibentuk (bukan dilahirkan) menjadi manusia yang tidak percaya diri sebagai akibatnya. Ini hanyalah contoh-contoh kecil.

Atas dasar kenyataan hidup dua mahluk itulah Aliansi Laki-laki Baru dibangun. Ternyata, tidak semua laki-laki menyetujui budaya patriarki meskipun mereka menjalankan itu. Oleh kenyataan bahwa dalam organisasi perempuan, ternyata dengan sukarela ada laki-laki tidak keberatan untuk melibatkan diri. Bahkan bukan sebagai mata pencaharian, melainkan sebagai panggilan hati. Rata-rata keterlibatan mereka yang sukarela karena memiliki empati, personifikasi atas nasib ibu mereka, atau karena keterbukaan pikiran dengan melihat bahwa teori-teori feminisme dan gender adalah ilmu Humaniora terbaru yang dapat mereka terima dengan masuk akal. Atau pemberontakan atas kehidupan “mainstream-pria” bermobil, orang kantoran, terlihat perkasa, dan berjabatan tinggi yang bukan menjadi satu-satunya harga diri mereka. Mereka merasa terwakili atas pengetahuan tersebut untuk bisa menjadi dirinya sendiri.

Sebagai contoh bagaimana laki-laki terlibat dalam organisasi perempuan di Rifka Annisa, Yayasan Pulih, Jurnal Perempuan, Solidaritas Perempuan, dan berbagai organisasi perempuan lainnya, bahkan di Lembaga Negara seperti Komnas Perempuan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Gerakan perempuan tidak pernah benar-benar mengatakan bahwa: “Laki-laki tidak boleh masuk dalam gerakan kami, sebab kalian adalah musuh utama, bahkan musuh dalam selimut.”

Keterwakilan laki-laki pada akhirnya dapat bahu membahu dengan gerakan perempuan untuk menjelaskan kepada kaum awam yang masih bias bahwa “feminis dan gender” itu bukan hantu, bukan merusak perkawinan, dan bukan sebuah arena tanding antara laki-laki dan perempuan yang diisi oleh perempuan-perempuan pemarah dan penuntut.

Di Komnas Perempuan contohnya, setidaknya terdapat dua laki-laki yang perlu menjabat sebagai komisioner, untuk ikut menyuarakan hak asasi perempuan dalam konteks konstitusi, bahkan dalam aspek agama. Suara-suara mereka kadang lebih didengar ketimbang suara perempuan sendiri dalam menjelaskan feminisme dan gender, bahkan perspektif gender dalam agama, meski tidak kurang dengan tuduhan yang sama seperti julukan “laki-laki banci yang takut istri”. Keterlibatan mereka meruntuhkan citra bahwa urusan perempuan bukanlah urusan laki-laki.

Oleh karena itu sejumlah organisasi perempuan yang terdiri dari individu-individu di dalamnya yang terdiri dari perempuan dan laki-laki kemudian berinisiatif membangun sebuah aliansi yang menyuarakan tentang keterlibatan laki-laki untuk menyuarakan masalah-masalah perempuan dan gender yang disebut Aliansi Laki-laki Baru. Pendiri Aliansi Laki-laki Baru diantaranya adalah saya sendiri Mariana Amiruddin (Jurnal Perempuan), Nur Hasyim (Rifka Annisa), Eko Bambang Subiyantoro (Jurnal Perempuan), Syafira Hardani (Rifka Annisa), Syaldi Sahude (Jurnal Perempuan), dan Aditya Putra Kurniawan (Rifka Annisa), dan Shera Rindra Pringgodigdo (Jurnal Perempuan). Tak lama kemudian menyusul Yayasan Pulih. Jauh sebelum aliansi ini dibentuk sebetulnya sudah ada Dekalarasi Cantik (Cowok Anti Kekerasan) pada tahun 1999 yang dilakukan para akitivis perempuan dan laki-laki pro feminis diantaranya Gadis Arivia, Ivan Hadar, Rocky Gerung, Wahyu Susilo, Veven Sp Wardhana Nur Iman Subono dll, dan buku yang diterbitkan berjudul “Laki-laki Feminis, Mengapa Tidak?”.

Pendeklarasian pelibatan laki-laki yang sebetulnya bukan hal baru ini sebenarnya untuk membangun budaya laki-laki yang mengusung hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Deklarasi Aliansi Laki-laki Baru pada tahun 2009 kemudian menyepakati dan mendiskusikan berbagai persoalan diantaranya sebagai berikut:

  1. Sebuah fakta bahwa laki-laki masih memegang posisi-posisi yang strategis, terutama dalam pembuatan kebijakan, dan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
  2. Beban dan pembatasan terhadap laki-laki akibat sistem patriarki (juga) menjadi persoalan bagi laki-laki.

Hadir diantaranya adalah Ivan Hadar yang membahas tentang ”Men role on enhancing women perspektif in MDG’s”, Nur Iman Subono yang membahas tentang “A men who involved in women organization since ’95: The Importance being Male Feminis”, Abdul Aziz Hoesein (Ex Deputy Community Participation on Kementerian Pemberdayaan Perempuan) tentang “Working for women empowerment” dan Husein Muhammad (waktu itu sebagai Komisioner Komnas Perempuan) yang bicara tentang “A man who working for women advocacy”.

Hal yang perlu dilakukan oleh Aliansi laki-laki Baru agar tetap on the track dengan perjuangan feminis atau hak-hak perempuan adalah sebagaimana yang telah dituliskan Nur Hasyim: “Sebagai gerakan laki-laki yang pro terhadap perjuangan perempuan, atau perjuangan feminis dan bukan sebaliknya yang berseberangan terhadap feminisme. Mengapa pro feminis? Adalah agar mereka dapat menyingkap resiko dan dilema keterlibatan laki-laki dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yaitu sebagai berikut:

  1. Adanya dominasi baru laki-laki dalam gerakan perempuan.
  2. Pengambil-alihan sumber daya untuk program-program pemberdayaan perempuan yang memang sudah sangat terbatas untuk program-program laki-laki.
  3. Kemungkinan terjadinya kolusi di antara laki-laki untuk mempertahankan kekuasaan atas perempuan.” (Sumber https://lakilakibaru.or.id/laki-laki-sebagai-aliansi-keadilan-gender-mengenang-veven-sp-wardana/).

Oleh karena itu gerakan Aliansi Laki-laki Baru ini perlu dilakukan bersama, tidak hanya antar laki-laki ataupun antar perempuan, melainkan laki-laki dan perempuan bersama-sama melakukan advokasi tersebut, meskipun laki-laki yang menjadi representasi dari gerakan tersebut. Bahwa Aliansi Laki-laki Baru bukanlah berisi laki-laki semata, melainkan kerjasama diantara keduanya, yakni laki-laki dan perempuan.

Mengenai afirmasi laki-laki dalam gerakan perempuan tersebut, keterwakilan laki-laki adalah jurus untuk meng-evolusi budaya patriarki menjadi budaya adil gender, yang terpatri dalam hubungan dan interaksi sosial masyarakat, serta kebijakan dan kesempatan. Fakta bahwa peran pengasuhan dan rumah tangga banyak dilakukan oleh laki-laki “tanpa harus diberikan tugas”, adalah hal yang lumrah dalam prinsip kerja sama. Masak-memasak bukan lagi urusan perempuan, tetapi hal yang lumrah dan bisa dilakukan laki-laki, diluar soal profesi mereka yang kebanyakan adalah “koki” (atau master chef dalam program-program televisi dimana laki-laki professional dalam memasak dan bernilai tinggi). Fakta bahwa perempuan memimpin dan berpolitik, dan laki-laki mengakses dan mengikuti kenyataan tersebut juga menjadi hal yang seharusnya menjadi biasa saja.

Aliansi Laki-laki Baru adalah gerakan yang mendekonstruksi “maskulinitas budaya”, termasuk maskulinitas negatif yang merusak hubungan baiknya dengan perempuan, dan memberikan ruang kepercayaan diri pada perempuan untuk menjadi dirinya sendiri, bukan “atas perintah” laki-laki. Kerjasama ini dikampanyekan untuk tujuan sebuah masyarakat yang ideal, seimbang atau tidak berat sebelah, tidak membebani hanya pada satu manusia tertentu dan menindasnya. Lebih luasnya adalah untuk keseimbangan semesta jagat raya.

Disampaikan pada Katadata.co.id X Investing in Women Conference, 30 April 2019

About Mariana Amiruddin

Salah satu pendiri Aliansi Laki-laki Baru. Saat ini menjabat sebagai komisioner Komisi Nasional Perempuan.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *