Perkosaan adalah tindak kejahatan kemanusiaan sebab menafikkan keberadaan korban sebagai manusia. Perkosaan juga merampas masa depan korban bahkan tak jarang menimbulkan trauma psikologis, tertular infeksi menular seksual, serta kehamilan yang tidak diinginkan.
Tidak hanya itu, sikap masyarakat yang kerap menyalahkan korban dan melakukan pengucilan terhadap korban justru menambah beban sosial yang harus ditanggung perempuan. Perkosaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Perkosaan telah mencerabut harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang seharusnya dilindungi. Perempuan pun akhirnya menjadi pihak yang paling dirugikan dengan adanya ancaman perkosaan yang kian marak.
Tak hanya yang dilakukan oleh orang tak dikenal, perkosaan di level rumah tangga pun bisa terjadi. Yang pelakunya justru dari orang terdekat korban.
Lembar fakta catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2011 menyebutkan, kekerasan seksual khususnya teror perkosaan sebanyak 4335 kasus dimana 2937 kasus terjadi di ranah publik. Selaras dengan data yang dihimpun Rifka Annisa, ada 395 kasus perkosaan yang dilaporkan sepanjang tahun 1994-2011. Tahun 2012, Rifka Annisa juga mencatat bahwa hingga bulan September telah terjadi 19 kasus perkosaan.
Ironisnya, ketika perkosaan terjadi, masyarakat justru menyalahkan perempuan atas nama moralitas sosial, mencela cara berpakaian perempuan, dan tak ketinggalan melontarkan guyonan-guyonan yang menjatuhkan martabat perempuan korban perkosaan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan mengungkap fakta-fakta tersebut.
Pada tahun 2011, lembar fakta kekerasan seksual di transportasi umum yang dirilis Komnas Perempuan menggarisbawahi dua respon pejabat publik yang tidak memihak pada korban. Respon pertama dari mantan Gubernur DKI Jakarta yang menyalahkan rok mini korban; respon kedua dari Kepala Biro Operasional POLDA Metro Jaya yang menyarankan korban agar tidak menggunakan pakaian yang mengundang kejahatan.
Tahun 2012, masyarakat juga tersentak dengan pernyataan Bapak Menteri Pendidikan yang cenderung menyepelekan kasus perkosaan yang menimpa seorang pelajar SMP. Lagi-lagi, perempuan korban masih mendapat cercaan dan koreksi atas musibah perkosaan yang dialaminya.
Faktanya perkosaan masih terjadi dan sebagian masyarakat cenderung mengoreksi tubuh perempuan atas nama keamanan dan moralitas. Padahal, hasil kajian Men’s Program Rifka Annisa menemukan bahwa laki-laki sebenarnya menjadi pihak yang potensial dalam mengeliminasi terjadinya perkosaan.
Maka gerakan laki-laki dengan menjadikan kelompok atau jaringan sebagai gerbong gerakan menjadi kebutuhan penting, terutama gerakan laki-laki yang atas nama kemanusiaan berjuang bersama menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sepatutnya setiap orang menentang ketidakadilan gender maupun kekerasan atas nama apapun.
Mengacu pada permasalahan tersebut, Aliansi Laki-laki Baru (ALLB) sebagai gerakan laki-laki untuk keadilan gender, mengajukan beberapa tuntutan, yaitu:
Pertama, agar negara membangun sistem perlindungan terhadap warga negara, khususnya perempuan, dari tindak kejahatan perkosaan dan kejahatan seksual lainnya;
Kedua, menghukum seberat-beratnya pelaku perkosaan dan kekerasan sesual lainnya serta membantu pemulihan dan ganti rugi yang efektif kepada korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya, sebagaimana telah diserukan sebelumnya.
Aliansi Laki-laki Baru juga menyeru kepada seluruh laki-laki untuk melawan perkosaan, dengan cara:
Pertama, berkomitmen untuk tidak melakukan perkosaan dan menghargai perempuan dan laki-laki sebagai sesaman manusia;
Kedua, mengutuk, melawan, dan menolak segala bentuk tindak perkosaan;
Ketiga, mengutuk, melawan dan menolak penggunaan kejahatan perkosaan sebagai bahan lelucon di media;
Keempat, berhenti mewajarkan perkosaan dan menganggap bahwa perempuanlah yang menggoda pelaku–misal dengan berpakaian seksi–sehingga perkosaan terjadi;
Kelima, bersama-sama menuntut negara untuk menghargai, menjamin dan melindungi hak warga negara untuk terbebas dari kekerasan seksual.
Yogyakarta, 06 Desember 2012
Aliansi Laki-laki Baru