Korban Perkosaan Dilarang Sekolah

Berita tentang perkosaan sepertinya tak pernah sepi menghiasi koran, televisi dan media berita lainnya di Indonesia dan di antara berita yang mengiris rasa kemanusiaan itu adalah berita tentang perkosaan yang dialami oleh salah satu siswi SMP di Depok Jawa Barat beberapa waktu lalu. Perempuan bau kencur itu tidak hanya harus menerima kenyataan bahwa Ia diperkosa, namun ia juga harus kehilangan haknya yang paling asasi yakni hak untuk mendapatkan pendidikan.
Seakan tak cukup mengeluarkan, sekolah masih menambah daftar panjang penderitaan korban dengan mempermalukan korban dihadapan murid lainnya pada saat upacara berlangsung. Perlakuan sekolah atas siswi korban perkosaan patut digugat karena tidak ada alasan pembenar sebaliknya sekolah telah melanggar hak asasi siswi sebagai warga negara sekaligus bertentangan dengan konstitusi negara ini bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran.
Sikap sekolah terhadap siswi yang menjadi korban kekerasan tersebut merepresentasikan sikap sebagian besar masyarakat terhadap setiap peristiwa kekerasan seksual tersebut. Kecenderungan menyalahkan masih lebih besar dari pada berempati kepada korban. Persoalan nama baik institusi bahkan nama baik kepala sekolah mengalahkan persoalan pelanggaran hak integritas tubuh dalam setiap peristiwa perkosaan. Kehormatan sekolah seakan lebih penting daripada membantu perempuan korban perkosaan pulih dari trauma sepanjang hidup.
Perlakuan sekolah yang tidak berpihak kepada siswi korban perkosaan menunjukkan bahwa pendidikan gagal menjalankan fungsinya sebagai medium untuk memanusiakan manusia lebih lanjut pendidikan justru berubah menjadi tempat penistaan terhadap kemanusiaan. Ketika pendidikan telah melenceng dari pengertian asalinya menunjukkan bahwa para pendidik, pemangku kebijakan pendidikan tidak memahami falsafah pendidikan dan sebagai akibatnya mereka gagal memahami peran dan fungsinya sebagai pendidik. Guru, kepala sekolah dan pegawai sekolah dimaknai sebagai semata pekerjaan atau bahkan sebagai kendaraan politik untuk meraih kekuasaan tertentu dan bukan didasarkan kepada kecintaan terhadap proses-proses memanusiakan manusia.
Kegagalan perangkat pendidikan dalam menjalan mandatnya sudah dapat dipastikan bukanlah hal yang terjadi begitu saja akan tetapi terkait dengan kecenderungan ideology  dominan yang  meregulasi keseluruhan proses-proses sosial-politik di dalam masyarakat. Kecenderungan masyarakat yang berorientasi kepada benda (kapitalisme) telah mengubah sekolah menjadi lembaga yang berorientasi kepada keuntungan material, pada gilirannya keseluruhan mekanisme pengelolaan sekolah diarahkan kepada pencapaian keuntungan material yang sebesar-besarnya. Pencitraan sebagai sekolah Elit dan favorit adalah sebuah keniscayaan, dan bersih dari kabar miring yang dapat menjatuhkan citra sekolah adalah bagian dari mekanisme pencitraan tersebut dengan harapan nilai ekonomis sekolah akan naik dan sebagai konsekwensinya adalah keuntungan material yang segera akan diikuti oleh naiknya status sekolah dan para penguasanya dengan ditandai gedung bagus, fasilitas lengkap, para pengajar yang berkendaraan dan sebagainya.
Terkait dengan masalah perkosaan, sekolah melihatnya sebagai pencitraan yang buruk, maka komponen sekolah yang terlibat tak terkecuali siswi harus diamputasi untuk mengembalikan citra baik sekolah karena hanya dengan cara itu keunggulan komperatif sekolah dapat dipulihkan. Oleh sebab itu pengeluaran siswi korban perkosaan dapat dilihat dalam logika ini.
Selain terkait dengan pencitraan, pengeluaran siswi korban perkosaan juga dipengaruhi oleh cara pandang bahwa di antara menjaga martabat institusi sekolah adalah dengan menjaga kesucian (baca: kontrol) tubuh perempuan di dalamnya. Menjaga para siswi tetap perawan adalah hal penting bahkan lebih penting dari masalah keperjakaan para siswa, tak heran jika beberapa sekolah memberlakukan tes keperawanan untuk siswinya seperti terjadi di Madiun beberapa tahun lalu dan beberapa daerah lainnya. Keperawanan siswi adalah kesucian sekolah, para penguasa sekolah memiliki mandat untuk menjaga hal ini dan para perempuan (siswi) di sekolah diharuskan menjaga kesucian mereka sebagai bagian dari menjaga kesucian sekolah.
Mengeluarkan siswi sekolah yang menjadi korban perkosaan dalam perspektif kontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan tersebut di atas dimaknai sebagai sanksi atas ketidakmampuan siswi untuk menjaga kehormatan mereka yang sekaligus sebagai kehormatan sekolah. Pengumaman tentang pengeluaran siswi korban perkosaan dihadapan murid lainnya adalah memberikan pesan yang sangat jelas kepada siswi lain bahwa mereka harus menjaga keperawanan mereka dan jika tidak maka mereka akan mengalami nasib yang sama dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, penguasa sekolah juga menyampaikan pesan bahwa perempuan yang tidak mampu menjaga keperawanannya adalah perempuan yang tidak baik sehingga tidak layak berada dalam sekolah yang terhormat.
Dengan menggunakan perspektif tersebut di atas maka pengeluaran siswi korban perkosaan dari sekolah terjadi karena terjadinya arus kapitalisasi sekolah dan adanya mekanisme kontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan di sekolah.  Oleh sebab itu, upaya mengembalikan fungsi sekolah sebagai tempat untuk memanusiakan manusia harus menjadi kepedulian berbagai pihak sehingga terjadinya proses-proses yang justru menistakan kemanusiaan tidak terulang lagi.
Selain itu menjadi penting untuk mengajak para pemangku kepentingan untuk kembali merujuk kepada konstitusi negara ini yang meletakkan pendidikan sebagai hak bagai setiap warga negara tanpa kecuali. Sebagai hak dari setiap warga negara maka tidak suatu keadaanpun yang menghilangkan hak tersebut, lebih-lebih anak-anak yang menjadi korban perkosaan, tidak saja mereka tetap memiliki hak atas pendidikan tetapi mereka juga berhak menuntut negara untuk memberikan perlindungan dan pemulihan sebagaimana di amanatkan oleh Undang-Undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak.
Hal penting lainnya adalah, perubahan cara pandang akan tubuh dan seksualitas perempuan bahwa tidak ada satu pihakpun termasuk sekolah yang memiliki hak untuk mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan kecuali perempuan itu sendiri. Karenanya perempuan harus mendapatkan penghormatan dan berhak untuk terbebas dari tindak kekerasan termasuk kebijakan atas mereka yang didasarkan kepada tubuh dan seksualitas mereka, sehingga kebijakan mengeluarkan siswi yang diperkosa tidak terulang lagi.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *