Saya termasuk orang yang tidak begitu percaya diri ketika berbicara tentang tema “ayah” karena sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi ayah tidak mampu menjaga konsistensi menjadi ayah penuh waktu untuk anak-anak perempuan saya dan lebih sering menjadi menjadi ayah paruh waktu. Tidak bermaksud mencari pembenaran atau “ngeles”,salah satunya karena saya menikmati banyak keistimewaan daripada istri saya. Meskipun saya mengidentifikasi diri saya bersetuju dengan gagasan feminisme dan melakukan kerja-kerja untuk kesetaraan dan keadilan, sebagai laki-laki yang hidup dalam masyarakat patriarkhis, sadar atau tidak, keistimewaan itu tetap saja saya nikmati. Di antara keistimewaan itu adalah saya punya kesempatan yang lebih banyak dari isteri saya, saya tidak menggendong beban norma tanggungjawab domestik dan pengasuhan dipundak saya seperti beban yang dipikul isteri saya dan sebagainya.
Ketidakpercayaan diri saya ini juga karena saya termasuk orang yang merasa “yakin” dengan apa yang saya bicarakan ketika saya “mengalaminya”. Karena dengan mengalami saya merasakan kekuatan dalam setiap kalimat yang meluncur dari mulut saya dan bagi saya kekuatan itu muncul dari proses mengalami yang meliputi melakukan, merasakan, dan menghayati. Dengan mengalami itu juga memudahkan saya terhubung dengan pengalaman-pengalaman orang lain khususnya laki-laki dan keterhubungan pengalaman itu memungkin saya berdialog, berdiskusi,dan bersambung rasa dengan sesama laki-laki termasuk kemungkinan menertawakan kegagapan-kegagapan laki-laki termasuk dalam hal menjalankan peran-peran sebagai ayah.
Bagi saya dan mungkin bagi sebagian besar laki-laki (tentu tidak semua laki-laki), “menjadi ayah” adalah perkara yang tidak gampang, apalagi ketika kita tidak memiliki panutan atau “model” ayah yang memadai selain sosok ayah yang jaim, otoriter seperti raja kecil di rumah, tidak empatik dan berjarak, jangankan untuk memeluknya, akan diajak ngobrol aja udah gemeteran dan seterusnya. Akibatnya citra ayah yang kita ingat tidak begitu menggembirakan, dan apa yang kita pelajari tentang ayah adalah sosok penguasa daripada sosok sahabat, pendidik, pengajar, atau pemandu untuk beradaptasi dengan tantangan hidup yang semakin kompleks. Maka berbahagialah para laki-laki yang memiliki sosok ayah yang menyenangkan.
Saya tidak bermaksud mengatakan tidak ada hal positif sama sekali dari polah asuh ayah yang keras, yang cenderung otoriter, namun saya ingin menyampaikan pandangan saya bahwa pola asuh itu cenderung tidak menjadikan diri anak tumbuh dengan sempurna dan berkembang sesuai dengan potensi maksimalnya.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa hal terberat menjadi ayah adalah bukan menghadapi anak-anak kita namun menghadapi diri kita sendiri. Kita memaknai ayah sebagai posisi dan kedudukan ketimbang sebagai semata-mata identitas yang melekat kepada laki-laki yang telah memiliki anak atau laki-laki dewasa di antara anak-anak. Dengan begitu relasi ayah-anak lebih diterjemahkan sebagai hubungan kekuasaan.
Dalam relasi kekuasaan, apa yang keluar dari mulut ayah adalah “titah” atau perintah bukan percakapan antar sahabat. Sehingga response yang tidak sesuai dengan yang diharapkan ayah seringkali diterjemahkan sebagai pembangkangan,perlawanan. Maka diam-diam kita, para ayah, tidak sedang menjadi ayah akan tetapi menjadi penguasa di rumah yang senantiasa memainkan kekuasaannya dalam kehidupan anak-anak kita. Keyakinan saya adalah ketika kita, para ayah, menjadi penguasa atas anak-anak kita maka itu adalah kegagalan pertama menjadi ayah dan celakanya akan menjadi biang kegagalan-kegagalan berikutnya. Di antara kegagalan tersebut adalah ayah menjadi tidak cakap bernegosiasi dengan anak, berkompromi, apalagi berkolaborasi dengan anak. Sementara kecakapan-kecakapan ini penting untuk menumbuhkan anak yang percaya diri, berpendirian, namun tetap dapat bekerja sama dengan orang lain.
Orientasi “ayah penguasa” adalah menjadikan anak-anak seperti yang mereka inginkan daripada membantu anak-anak menjadi dirinya sendiri. Kesalahan dari orientasi ini adalah mengandaikan anak-anak akan hidup alam dunia kita, para ayah, padahal kehidupan kita sebagai ayah akan menjadi masa lalu bagi anak-anak kita.
Lebih lanjut, para ayah mungkin berpikir dengan kuasa akan membuat anak disiplin namun sebenarnya kuasa akan membuat anak hanya menjadi penurut. Disiplin bagi saya berbeda dengan penurut. Disiplin adalah menjalankan“kesepakatan” yang dibuat bersama dan “bertanggungjawab” jika lalai terhadap kesepakatan tersebut sedangkan penurut adalah mengikuti aturan yang dibuat oleh orang lain, dalam hal ini ayah,dan seringkali anak penurut dihantui rasa takut jika melanggar aturan tersebut. Dan saya lebih memilih anak disiplin daripada penurut dan menginginkan mereka menjadi dirinya sendiri daripada menjadi anak yang saya inginkan
Salam
