Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga bantuan hukum perempuan menyatakan bahwa setiap tahunnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat. ((Jumlah Kasus Kekerasan yang terjadi dalam Rumah Tangga / Domestik di LBH APIK JAKARTA Tahun 1998 – 2002. Berdasarkan catatan LBH APIK, pada tahun 2001, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga berkisar 188 kasus. Pada tahun 2002, kasus tersebut meningkat cepat menjadi berkisar 478 kasus.)) Pada akhir tahun 2004, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Pepermpuan) dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat secara drastis. Akhir tahun 2004, Komnas Perempuan mencatat sejumlah 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut meningkat cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya (2003) yang mencapai 7.787 kasus. ((Laporan Akhir Tahun 2004 Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan.))
Wacana kekerasan terhadap perempuan telah menjadi perhatian serius dari berbagai kalangan, mulai dari ibu rumah tangga hingga para akademisi. Dari data yang tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan yang mendasar, mengapa dari tahun ke tahun, jumlah kekerasan terhadap perempuan justru makin meningkat? Bukankah peristiwa seperti ini seharusnya semakin berkurang seiring dengan berlakunya berbagai kebijakan yang berpihak kepada perempuan? ((Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi sebuah konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Pada 8 September 2004, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga)) Apa sebenarnya yang melatarbelakangi terjadi kekerasan terhadap perempuan? Lalu bagaimana kemudian perempuan-sebagai individu- sebagai manusia dipahami oleh manusia yang lain (laki-laki dan perempuan lainnya)?
Berangkat dari pertanyaan tersebut di atas, penulis mencoba mengangkat fenomena kekerasan terhadap perempuan dari berbagai sudut pandang. Fenomena ini tentunya tidak terlepas dari konteks konstruksi sosial, budaya dan politik yang ada di Indonesia. Untuk menyusun tulisan ini, penulis menggunakan sumber dari beberapa buku, jurnal dan terbitan media massa sebagai bahan acuan.
Kekerasan terhadap Perempuan, Fakta Yang Tersembuyi
Selama ini, masih banyak kesalahpahaman tentang kekerasan terhadap perempuan di tengah masyarakat. Bahkan, dalam hukum positif yang berlaku, kekerasan masih dipandang dari sisi kekerasan fisik. Kekerasan terhadap perempuan tidak dipandang secara serius dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Misalnya perkosaan, tindakan ini dianggap sebagai kasus susila. Sehingga, peyelesaian dengan cara “kekeluargaan” dikedepankan.
Penganiayaan terhadap istri dianggap sebagai sebuah masalah biasa di dalam rumah tangga. Kenyataan ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum; sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat. Sementara, banyak praktek kekerasan yang terjadi dalam berbagai bentuk dengan menggunakan dalih privasi.
Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah privat saja akan tetapi merambah hingga ke dunia kerja. Selain masalah diskriminasi dan sub-ordinasi, perempuan harus menghadapi kekerasan dalam aktifitasnya sebagai pekerja. Salah satu kasus yang paling melekat di benak kita adalah kasus pembunuhan terhadap aktifis buruh perempuan, Marsinah. ((Dibunuh pada 8 Mei 1993. Marsinah adalah salah satu buruh perempuan yang mengorganisir demonstrasi buruh di salah satu pabrik di Jawa Timur)) Selain siksaaan secara fisik, pelecehan seks dan perkosaan adalah salah beberapa permasalahan yang kerap dihadapi oleh buruh perempuan. Hal yang sama juga dialami oleh para tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Minimnya perlindungan dari pemerintah Indonesia telah menyebabkan meningkatnya kasus kekerasan terhadap buruh perempuan yang bekerja di luar negeri.
Dalam situasi konflik, baik itu sosial maupun bersenjata, perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan menjadi korban. Tidak terhitung jumlah kasus perkosaan dan penyerangan seksual terhadap perempuan terjadi dalam masa konflik bersenjata di Aceh dan Timor Lorosae (dulu Timor-Timur). Peran ganda yang harus mereka lakukan saat terjadi konflik bersenjata, telah menempatkan perempuan di “garis depan pertempuran” antara kelompok laki-laki. ((Perempuan kerap menjadi pencari nafkah utama dalam sebuah kondisi konflik, seperti kasus yang terjadi di Aceh. Di saat laki-laki tidak mampu lagi mencari nafkah karena terancam jiwanya, perempuan harus mencari cara untuk menghidupi keluarganya. Di sisi yang lain, mereka akan menjadi sasaran dari militer dengan tuduhan membantu perjungan Gerakan Aceh Merdeka.)) Satu pihak memanfaatkan mereka sebagai tameng sementara pihak lainnya menjadikannya sebagai sasaran antara.
Budaya Patrariaki, Terpinggirnya Perempuan
Mengapa kekerasan terhadap perempuan menjadi “sah” di dalam kehidupan sehari-hari? Salah satu jawaban yang paling mudah adalah budaya patriarki. Budaya patriarki yang terbentuk dari latar belakang sejarah yang panjang dan sangat komplek. Dr. Tahmina Rashid dari Universitas Dhaka menyatakan “ (kekerasan)…. terhadap perempuan … merupakan … kombinasi dari faktor-faktor sejarah, sosial politik dan ekonomi.” ((Jalan Panjang Menuju Kesetaraan, artikel dalam rubrik swara Kompas yang terbit pada 2 Agustus 2004))
Agama dan ideologi menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam tersingkirnya perempuan dalam kebudayaan. Dalam berbagai tafsir agama-yang ditafsirkan oleh para ahli tafsir laki-laki-, telah menempatkan perempuan sebagai makhluk kedua setelah laki-laki. Ilmu mengenai hukum akidah (fikih) masih dimonopoli oleh laki-laki yang pengetahuannya mengenai perempuan didapat dari teks, semuanya ditulis laki-laki, dan dikonstruksikan kembali dengan logika juristik. Teks-teks agama kemudian digunakan untuk menjustifikasi berbagai teori andosentris (kelaki-lakian). Tentunya, hasil tersebut merefleksikan realitas sosial dari zaman yang berbeda dan berbagai kepentingan yang berbeda. ((idem))
Tentunya, perempuan sesungguhnya memiliki kekuatan untuk melakukan melawan usaha penyingkiran mereka. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari budaya feodalistik yang telah mengakar. Usaha untuk menyingkirkan peremuan berjalan seiring dengan kontrol yang dilakukan oleh (laki-laki) penguasa. Kontrol kekuasaan terhadap perempuan begitu kuat sehingga berusaha menciptakan arti baru tentang perempuan dari waktu ke waktu. Menurut Ruth Indiah Rahayu, “ideologi konco wingking,” dimana menempatkan perempuan sebagai pelengkap dari ksatria Jawa diperbaharui di masa orde baru dengan menempatkan perempuan ke posisi keibuan; ibu bangsa dan pendamping suami. Usaha ini merupakan salah satu cara untuk melucuti kesadaran perempuan.” ((Di sampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarian, yang dilaksanakan oleh PUSDEP Sanata Dharma, ELSAM, ISSI di Yogyakarta pada 17 November 2005)) Intinya, perempuan harus diposisikan sebagai bagian pelengkap dan pelayan dari laki-laki
Saat ini, kedua faktor tersebut kemudian berjalan seiring. Dr. Yakin Ertürk, menggarisbawahi seriusnya masalah militerisme dan fundamentalisme. “Keduanya (militerisme dan fundamentalisme) saling mengisi untuk menundukkan dan menindas perempuan dan menggunakan perempuan sebagai alat untuk melanggengkan ideologinya,” tegasnya. ((Jalan Panjang Menuju Kesetaraan, artikel dalam rubrik swara Kompas yang terbit pada 2 Agustus 2004))
Tubuh Perempuan, Obyek Kekerasan yang Dibungkam
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, perempuan hanya dinilai dari tubuhnya. Ditambah lagi dengan pandangan yang melihat perempuan sebagai barang milik oleh laki-laki dalam keluarga, tanpa memandang kelas, etnis, atau kelompok agama. Si pemilik barang tentunya punya hak untuk menentukan nasib barang tersebut. Konsep dari kepemilikan telah mengubah perempuan menjadi sebuah komoditas yang dapat ditukar, dijual atau dibeli”. Akibatnya, gambaran perempuan kemudian direduksi sehingga menghasilkan berbagai tindak kekerasan. Pornografi, aborsi, pelecehan seksual, perkosaan, dan perdagangan perempuan, merupakan beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam hubungannya dengan eksploitasi tubuh perempuan.
Penggambaran tubuh perempuan sebagai godaan ditambah lagi ekploitasi yang dilakukan oleh berbagai pihak telah menyebabkan tubuh perempuan menjadi obyek kekerasan. Praktek perdagangan perempuan yang disamarkan dengan penyaluran tenaga kerja menjadi pola yang kerap kali mudah dijumpai belakangan ini. Dalam sebuah kasus rumah tangga, seorang suami bahkan tega “menjual” istrinya seharga 300 ribu sekali pakai. Dengan kata lain, perempuan masih kerap kali dipandang sebagai obyek dari praktek seksual.
Tubuh perempuan juga dipakai sebagai alat represi politik seperti layaknya senjata perang. Model repsesi dengan melakukan perkosaan dan penyerangan seksual kerap kita temui dalam situasi darurat seperti konflik bersenjata. Pola seperti ini digunakan dalam Tragedi Mei 1998 dimana terjadi perkosaan dan penyerangan seksual terhadap perempuan dari etnis tertentu. ((Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 152 orang (20 diantaranya meninggal) menjadi korban perkosaan dan penyerangan seksual)) Contoh lainnya adalah kasus perkosaan terhadap mereka yang dituduh/dianggap melawan kekuasaan, seperti yang terjadi di Aceh dan Timor Lorosae. Pola ini digunakan untuk membungkam kelompok perempuan dan sekaligus senjata untuk melawan kelompok yang dianggap melawan kekuasaan.
Kedudukan perempuan sebagai penggoda bahkan tercermin pada berita pemerkosaan di negeri kita. Hampir dalam seluruh kabar pemerkosaan disebutkan bagaimana lelaki “terangsang” oleh perempuan, atau bagaimana tubuh perempuan “menghilangkan akal” pemerkosanya. Walau telah menjadi korban kekerasan, perempuan tetap ditempatkan sebagai pemicu nafsu dan seakan masih tak lepas dari kesalahan.
Posisi perempuan sebagai korban akan meninggalkan trauma atas apa dialaminya. Perempuan kemudian merasa terlumpuhkan dan tak bedaya lagi untuk melawan atau melarikan diri. Jika melawan, berarti akan menghadapi berbagai resiko yang lebih besar. Kebanyakan perempuan kemudian memilih untuk diam dan menganggap ini sebagai sebuah kesalahan yang harus ditanggungnya sendiri.
Teori politik tubuh mau melihat kekuasaan dan kontrol politik terhadap tubuh perempuan. Politik di sini diartikan dalam hubungan dan sebagai pengambil keputusan, jabatan, dan kekuasaan; relasi individu dengan negara dan masyarakat dengan negara. Kekerasan terhadap perempuan di daerah konflik, terutama daerah operasi militer sangat jelas mendukung teori ini. Perkosaan dan pelecehan seksual dijadikan alat intimidasi dan teror untuk menundukkan perempuan.
Meretas Kekerasaan terhadap Perempuan
Sudah lama perempuan secara tidak adil dipersalahkan atas kejahatan dari suatu masyarakat. Intervensi negara terhadap permasalahan yang dihadapi oleh perempuan seharusnya berpihak pada perempuan, bukan mengekang atau malah memojokkan posisi perempuan. Pembuatan dan kebijakan oleh pemerintah sudah seharusnya mendorong terwujudnya kesamaan derajat antara perempuan dan laki-laki. Tidak hanya dalam tataran wacana saja akan tetapi harus di dorong hingga implementasinya.
Melakukan penafsiran kembali berbagai teks, baik itu agama maupun wacana yang telah menyudutkan perempuan perlu dilakukan kembali, tentunya dengan melibatkan perempuan di dalamnya. Penguasaan atas wacana sebagai alat untuk membentuk kebudayaan dengan menjadikan dominasi laki-laki seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah dan bisa diterima harus diminimalkan, pada akhirnya dihapuskan..
Sesungguhnya, perjuangan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan bukanlah sebuah pertarungan antara laki-laki dengan perempuan. Justru kondisi ini harus dimaknai bersama dan telah menegaskan bahwa siapa saja dapat menjadi korban. Sehingga, proses penyadaran dan implementasi berjalan seiring tanpa menyalahkan salah satu pihak.
Daftar Bacaan:
- ……, Memahami Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Rifka Annisa, Yogyakarta, 2002)
- Laporan Akhir Tahun 2004, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
- Dokumentasi No. 3, Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
- Jurnal Perempuan No. 18, “Perempuan dan Teknologi Pembebasan?”
- Berbagai artikel Kompas, www.sekitarkita.com, Kalyanamitra dan LBH APIK