Antara Memasak, Gender dan Saya

Sejak tinggal sendirian dan mengenal sahabat lelaki yang hobi memasak, saya mulai belajar memasak. Ya, baru resep sederhana dan sedikit-sedikit dulu, sih. (Tolong jangan meledek dengan tebakan garing: mie instan? Serius.)
Mengapa baru sekarang? Kenapa tidak dari dulu, terutama mengingat saya perempuan? Terutama mengingat masih banyak yang percaya bahwa memasak itu (harusnya) tugas perempuan – apalagi bila sudah jadi istri dan ibu. Argumen standar mereka: “Kalau tidak, nanti suami dan anak makan apa?” Pokoknya, PEREMPUAN SEJATI wajib bisa masak!
Benarkah selalu demikian? Hehe, justru karena itu saya sempat ogah belajar masak. Sama ogahnya dengan berambut panjang (dulu saya tomboy), ogah memakai rok dan gaun, hingga ogah berdandan. (Apalagi almarhum ayah pernah menganggap bahwa perempuan yang terlalu menor berdandan centil banget. Kesannya negatif.) Saya juga bahkan membenci warna pink yang kerap dikaitkan dengan perempuan dan femininitas.
Alasannya? Saya benci didikte. Saya benci jadi korban stereotipe, dimana saya diharapkan berperilaku dan berpenampilan seperti harapan orang lain pada umumnya – hanya agar mereka senang. Saya paling benci mendengar celaan berupa: “Jadi perempuan harusnya begini, bukan begitu” atau “Kamu ini perempuan atau bukan, sih? Masa sukanya main perang-perangan, bukannya masak-masakan?” Bla-bla-bla. Apalagi bila yang ngomong laki-laki. Kesannya mereka yang paling tahu cara menjadi perempuan yang baik dan benar. Padahal, saya juga yakin bahwa mereka takkan sudi kalau diminta mencontohkan bagaimana caranya menjadi perempuan yang baik dan benar – setidaknya menurut versi mereka.
Intinya, saya yakin saya tetap perempuan sejati, walaupun masih (lebih sering) berambut pendek, (masih) jarang pakai rok dan gaun, (masih) tidak suka warna pink, (masih) dandan sebisanya (terutama saat ke kawinan), hingga (masih) belum bisa memasak. Anggota tubuh saya masih sama, berikut payudara dan vagina. Ketidakbisaan saya akan memasak tidak otomatis membuat saya tiba-tiba punya kumis dan penis.
Kalau dipikir-pikir, lucu juga argumen mereka. Bahkan, ada yang kerap menakut-nakuti/mem-bully anak/saudara perempuan mereka bahwa mereka akan sulit/tidak mendapatkan jodoh karenanya. Atau yang lebih parah, suami mereka yang kecewa karena istri tidak bisa memasak akan berpaling ke perempuan lain yang lebih jago memasak. (Hah, segitu mudahnya?) Padahal, ada juga kok, lelaki yang tidak mempermasalahkan apa istrinya bisa masak atau tidak. Almarhum ayah saya salah satunya. Ibu saya bercerita, sewaktu baru menikah dulu, bahkan ibu yang belajar menanak nasi dari beliau – sebelum akhirnya mulai coba-coba resep sendiri. Tak perlu dianggap aib, apalagi pakai acara ribut-ribut bak sinetron alay.
Atau seperti tante saya yang tidak bisa – dan tidak suka – memasak. Apakah lantas om saya segitu mudahnya mengajukan talak (cerai)? Masa iya, semua lelaki sedangkal itu? Tidak mau jadi korban stereotipe? Jangan lakukan hal serupa pada kami semua. Mudah, kan?
Om dan tante akhirnya mempekerjakan pekerja rumah-tangga, karena keduanya bekerja.
Atau seorang teman perempuan yang menikahi koki profesional. Berhubung suaminya amat menggemari kegiatan ini, maka dengan senang hati teman saya mengalah dan menyerahkan urusan dapur pada suaminya saat di rumah. Toh, pekerjaan rumah-tangga lainnya juga masih banyak. Tidak perlu pakai drama.
Seorang teman lainnya juga pernah curhat lewat status FaceBook-nya mengenai dilema memasak. Suami memintanya memasak, sementara dia belum mahir. Apa yang harus dia lakukan?
Seperti biasa, komentar yang muncul beragam. Ada yang langsung menyemangati teman saya agar mulai belajar coba-coba resep. Namun, ada juga yang bernada memojokkan (yang sayangnya, kebanyakan datang dari para lelaki) :
“Terus, kalau kamu nggak masak, nanti siapa yang akan masakin buat suami dan anakmu? Tukang masak? Pekerja rumah tangga?”
Akhirnya saya balas menjawab:
“Ada baiknya didiskusikan lagi dengan suami untuk jalan tengah atau jalan keluar. Kalau mau belajar memasak, suami mau nggak, bersabar menunggu sampai kamu mahir? Yang paling penting, memasaklah… bukan karena kamu perempuan, seorang istri, seorang ibu, atau pun sekedar merasa HARUS atau disuruh sama orang lain. Memasaklah karena kamu sangat menyayangi keluargamu dan ingin menjaga mereka agar senantiasa sehat. Sesuatu yang dilakukan dari dalam hati atau ikhlas biasanya akan luar biasa enak hasilnya.” Lalu saya menambahkan: “Sudah saatnya kita berhenti menggunakan konotasi merendahkan untuk profesi tertentu. Jujur, saya lebih suka menyebutnya ‘koki’ daripada sekedar ‘tukang masak’ – mau kerja di rumah, warung makan, restoran, atau hotel.”
Memasak itu keahlian/skill, kata beberapa teman saya – termasuk sahabat lelaki yang suka masak. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan gender. Kebetulan saja yang melakoni itu biasanya ibu rumah-tangga, pekerja rumah-tangga, pencinta memasak dan makanan, hingga mereka yang berprofesi sebagai koki hotel maupun restoran.
Hingga kini, saya belum terampil memasak. Santai saja. Namanya juga proses, tidak bisa dipaksa harus instan. Kalau saya saja bisa mencoba bersabar, kenapa orang lain tidak? Saya juga tidak minder bila adik lelaki dan sahabat lelaki saya lebih jago memasak. Terus kenapa? Saya juga tidak serta-merta menganggap lelaki yang tidak paham otomotif sebagai lelaki payah. Ini hanya masalah pilihan. Kalau mau, kita tinggal belajar.
Ingin anak/saudara Anda (baik lelaki maupun perempuan) tertarik belajar memasak? Tidak usah bawa-bawa perkara gender. Cukup yakinkan mereka bahwa dengan memasak berarti mereka memegang kontrol penuh atas apa yang ingin mereka masukkan ke dalam tubuh mereka. Memasak juga dapat menghemat pengeluaran, sekaligus menantang kreatifitas. (dari perempuan yang masih belajar memasak karena INGIN, bukan harus)

About Ruby Astari

Penulis, penerjemah, dan pengajar bahasa Inggris. Saat ini menjadi kontributor untuk ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

One comment

  1. Izin share bagian ini “Ada baiknya didiskusikan lagi dengan suami untuk jalan tengah atau jalan keluar. Kalau mau belajar memasak, suami mau nggak, bersabar menunggu sampai kamu mahir? Yang paling penting, memasaklah… bukan karena kamu perempuan, seorang istri, seorang ibu, atau pun sekedar merasa HARUS atau disuruh sama orang lain. Memasaklah karena kamu sangat menyayangi keluargamu dan ingin menjaga mereka agar senantiasa sehat. Sesuatu yang dilakukan dari dalam hati atau ikhlas biasanya akan luar biasa enak hasilnya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *