Jeruji itu Bernama RKUHP dan Kita Semua Terpenjara di Dalamnya

Agaknya hampir mustahil untuk mendeskripsikan Indonesia dalam satu penjelasan sederhana. Betapa tidak? Indonesia merupakan negara-bangsa dengan keragaman aspek sosiokultural dan ekonomi-politik yang sangat dinamis. Kita bisa saja bicara soal sejarah panjang negeri ini ketika melawan rezim kolonial yang gencar melakukan ekspansi kapital. Kita bisa saja bicara soal pemerintah yang hadir silih berganti dengan rupa pembangunan dan represi yang beranekaragam. Kita bisa saja bicara soal diversitas karakteristik kultural pada setiap kelompok etnik yang tersebar di seantero negeri.
Kita pun bisa bicara soal hal-hal yang lebih kontemporer (dan kita takkan kehabisan bahan pembicaraan karenanya!), mulai dari persoalan perkebunan sawit di Papua dan Sumatra, pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, massifnya upaya pemerintah dalam mengedepankan sektor ekonomi kreatif –yang sayangnya tidak diiringi dengan pengakuan pada hak-hak pekerjanya, persoalan “penistaan agama” yang melahirkan sejumlah aksi massa dengan basis politik identitas yang demikian kuat, hingga bicara soal kekerasan berbasis gender yang tak ada hentinya. Dengan demikian, kita hidup di negeri dengan isu dan permasalahan yang begitu beragam; yang hadir bertubi-tubi tanpa henti. Oleh karena itu, saya pribadi berpikir bahwa menjadi sulit bagi kita untuk menjelaskan Indonesia dengan sederhana. Toh kita hidup di negeri dengan populasi manusia melebihi 261 juta jiwa dan kepentingan setiap orang dapat berbeda. Setiap orang dapat memiliki kekhawatiran dan ketakutan yang berbeda. Akan tetapi, saya pikir ada satu hal yang dapat menjadi ancaman bagi kita semua, tak peduli dari mana kita berasal dan pada identitas apa kita mengakar: Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.

Apa yang Bermasalah dalam RKUHP?

Secara umum, terdapat sejumlah isu krusial dalam RKUHP yang saya pikir menjadi penting untuk dipahami oleh publik. Berikut merupakan sebagian penjelasan yang menunjukkan bahwa RKUHP merupakan ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, serta dapat menjadi ancaman bagi proses demokratisasi itu sendiri:

  • Pasal 481 RKUHP menyatakan bahwa setiap orang tanpa hak yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, atau menyiarkan tulisan tentang alat pencegahan kehamilan dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1, yakni sepuluh juta rupiah. Pasal 483 menyatakan bahwa yang tidak dipidana oleh pasal 481 ialah petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan KB dan pencegahan penyakit menular. Ketika kita berbicara mengenai realita di lapangan, maka terdapat puluhan ribu kader KB, kader posyandu, dan orang-orang yang aktif dalam LSM kesehatan seksual dan reproduksi yang dapat terkena dampak dari pasal ini. Mereka tentu bukanlah petugas berwenang yang berada di bawah Kemenkes atau BKKBN sehingga posisi mereka dapat menjadi rentan karena keberadaan dua pasal ini.
  • Pasal 484 RKUHP dapat mengkriminalisasi pasangan yang menikah secara siri. Mengacu pada UU No 1 Tahun 1974, pernikahan siri tidak sah di mata negara. Terlepas dari perdebatan mengenai pernikahan siri, pernikahan siri merupakan praktik yang kerap dilakukan di lapangan. RKUHP justru menyediakan basis legal-formal untuk penghukuman alih-alih memberikan dorongan agar pasangan yang menikah secara siri mencatatkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil.
  • Pasal 501, 589, 590, 591, dan 592 RKUHP dapat mengkriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi. Hal ini tentu bertentangan dengan UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan. Lebih lanjut, pasal-pasal ini pun dapat mengkriminalisasi perempuan yang memilih melakukan aborsi karena ia merupakan penyintas perkosaan dan mengalami kehamilan tidak dikehendaki.
  • Pasal 219 dan 220 RKUHP membahas mengenai pelarangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, leninisme. Jika kita berbicara tentang gerakan perempuan, misalnya, tentu tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan perempuan dan feminisme pun mendapat pengaruh dari marxisme, khususnya ketika kita berbicara mengenai relasi produksi, perempuan pekerja, beban domestik perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan teorisasi mengenai keterkelindanan patriarki dengan kapitalisme. Jika pembahasan mengenai marxisme, misalnya, dapat dikriminalisasi, lantas bagaimana kita dapat melakukan analisis kritis atas sistem kerja yang berlaku hari ini (pun yang terkait dengan kerja perempuan!). Lebih lanjut, ketika kita berbicara dalam konteks yang lebih luas, kita pun dapat melihat bahwa terdapat nafas yang demikian sosialis dalam sila kelima Pancasila maupun Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, apakah pemerintah akan merevisi kedua poin tersebut pula?
  • Pasal 262, 263, 264, 284, dan 285 RKUHP dapat mengkriminalisasi siapapun yang dianggap melakukan penghinaan pada pemerintah. Hal ini tentu dapat menjadi problematis karena apa yang dimaknai sebagai penghinaan dapat demikian lentur. Bagaimana kita dapat memisahkan penghinaan dan kritik, misalnya? Jika kita mengkritik pemerintah sebagai sebuah rezim developmentalis yang lebih mengedepankan ekspansi kapital (semisal membangun pabrik semen di Pegunungan Kendeng dan bandara di Kulon Progo) alih-alih mengedepankan kesejahteraan rakyat yang memiliki hak atas ruang hidupnya, apakah kritik tersebut dapat dimaknai sebagai penghinaan pada pemerintah? Saya pikir, keberadaan pasal-pasal penghinaan pada pemerintah ini dapat menjadikan pemerintah sebagai entitas yang anti-kritik dan sangat tidak selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi. Lebih lanjut, perlu diperhatikan bahwa pasal penghinaan presiden pun sebelumnya telah dicabut oleh MK dari KUHP pada tahun 2006 melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Sejumlah isu di atas merupakan sebagian isu yang bermasalah dalam RKUHP. Tentu terdapat pasal-pasal lain yang bermasalah pula seperti perluasan pasal penodaan agama, pasal mengenai tindakan asusila, dan pasal-pasal lainnya.

Kamu Juga Bisa Dipenjara Karena RKUHP!

Pada akhirnya, saya ingin mengingatkan kembali bahwa sejumlah pasal yang telah saya paparkan di atas hanyalah segelintir pasal yang bermasalah dalam RKUHP. Setidaknya terdapat 14 isu krusial yang bersifat pending dan masih dibahas oleh Panja RKUHP. Meski demikian, saya ingin menegaskan bahwa RKUHP ini dapat menjadi permasalahan bagi setiap orang. Perluasan pasal zina sebagaimana termaktub dalam pasal 488 mengenai Perzinaan dapat mengenaimu jika kamu dan temanmu menyewa kamar kos bersama untuk menghemat pengeluaran. Pasal 481 dan 483 dapat membuatmu lebih rentan terkena penyakit menular seksual dan/atau HIV. Pasal 284 dan 285 dapat menjebloskanmu ke penjara jika suatu hari nanti kamu menyalahkan pemerintah karena satu sebab dan kamu dituduh menghina pemerintah. Pasal 219 dan 220 dapat berbahaya untukmu jika organisasi mahasiswa di kampusmu mengadakan pemutaran film Oppenheimer atau diskusi novel Pramoedya Ananta Toer (toh sebelum pasal ini disahkan saja, puluhan persekusi atas nama ‘komunisme gaya baru’ telah dilangsungkan). Kamu juga bisa saja mengkritik praktik poligami dan menyatakan ketidaksepakatanmu pada ajaran agamamu sendiri, lalu kamu dapat dipidanakan karena pasal 394. Kamu bisa saja nantinya, tepatnya sejak tahun 2020 nanti, kian kesulitan mencari pekerjaan karena bonus demografi, namun populasi penduduk terus meningkat karena kader KB telah dikriminalisasi oleh pasal 481.
Satu hal yang ingin saya tekankan ialah RKUHP bukan hanya persoalan orang-orang yang berkecimpung di bidang hukum dan/atau orang-orang yang aktif dalam gerakan sosial. Jika terdapat satu hal yang membuat RKUHP ini menjadi penting, hal tersebut ialah RKUHP merupakan produk legal yang akan menyentuh setiap orang yang berada di Indonesia, tak peduli apapun identitas dan latar belakangnya. Hal ini yang membedakan RKUHP dengan Undang-Undang lain yang cenderung sekadar berbicara mengenai isu dan/atau sektor tertentu saja. Ketika kita berbicara mengenai UU Perkebunan, misalnya, maka kita akan bicara dalam ruang lingkup perkebunan dan masyarakat yang terdampak ialah masyarakat yang terkait dengan sektor perkebunan. Ketika kita berbicara mengenai UU Cagar Budaya, maka kita akan berbicara di sektor kebudayaan (terutama kebudayaan pada aras yang material dan fisik). Ketika kita berbicara mengenai UU Perlindungan Anak, maka kita akan bicara tentang hak-hak anak, yakni mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Hal inilah yang membedakan RKUHP dengan produk legal lainnya; RKUHP menyentuh setiap isu, setiap persoalan, dan setiap identitas yang ada di Indonesia.
Lantas ketika setiap sendi kehidupanmu diatur dan dipenjarakan oleh negara, apakah kamu akan memilih untuk tetap diam dan tak bersuara?

About Agnia Sambara

Pseudonim dari seorang antropolog karbitan. Ia senantiasa berharap agar dapat menjadi sekrup resistensi pada kelindan patriarki dan kapitalisme. Agnia menjadi volunteer di Aliansi Laki-laki Baru sejak 2016 dan saat ini sedang menjalani hidup luntang-lantung di akademia.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *