Kekerasan terhadap LGBT (lesbian, gay, biseksual dan trans, red) harus dilihat sebagai politik gender dan seksualitas. Yaitu, secara sederhana, strategi politik –untuk tujuan mencapai kekuasaan dan menjaga stabilitas kekuasaan dan tujuan-tujuan politik di balik kekuasaan tersebut– dengan dengan menggunakan isu-isu gender dan seksualitas. Kasus mutakhir yang terjadi di Aceh belum seminggu –kekerasan massal dan oleh aparat terhadap komunitas transgender– juga merupakan bentuk politik gender dan sekualitas yang memiliki tujuan kekuasaan, mengandung kepentingan kekuasaan.
Tujuan kekuasaan ini menjadi salah satu aspek penting untuk memahami atau mendudukkan kekerasan terhadap LGBT sebagai politik gender dan kekuasaan. Menekankan adanya tujuan kekuasaan dalam kekerasan LGBT menuntun pada sebuah pertanyaan: kekuasaan apa yang sedang dituju oleh mereka yang terlibat dalam kekerasan itu?
Bisa jadi, tujuan politik gender dan seksualitas dengan melakukan kekerasan terhadap LGBT sebatas kepentingan kekuasaan personal. Di antara, kepentingan kekuasaan personal itu adalah kelanggengan jabatan, harapan atas klaim pejabat atau penguasa yang “bermoral,” dan sejenisnya. Meski kepentingan kekuasaan itu personal, tetap saja tak bisa dianggap sepele.
Yang lebih serius lagi jika tujuan kekuasaan itu terkait pada imajinasi tentang negara Indonesia yang paling “baik dan benar” yang berkembang dalam alam pikiran mereka yang terlibat kekerasan tersebut: negara Indonesia seperti apakah yang mereka bayangkan itu? Tidak lain adalah negara Indonesia yang bersih dari LGBT; negara Indonesia yang bisa membuat LGBT takut untuk hidup, untuk sekedar “ada;” menjadi Indonesia dinilai tidak mungkin berbarengan menjadi LGBT –bukan cuma wagu tapi bertolak belakang.
Tujuan kekuasaan yang terakhir ini, atas dasar “imajinasi negara,” lebih serius karena para pelaku kekerasan itu sering merasa sedang menjalankan amanah ideologi negara yang benar. Mereka tidak merasa bersalah sama sekali; sebaliknya, mereka adalah pahlawan pembela ideologi negara dari para LGBT dan para aktivisnya yang justru diposisikan sebagai musuh atau perongrong ideologi itu.
Tujuan kekuasaan atas dasar imajinasi negara ini juga yang sering menyatukan kelompok kepentingan yang berbeda-beda bersatu menjadikan LGBT sebagai musuh negara. Baik mereka yang gemar melakukan ‘kampanye’ NKRI atau mereka yang sering bersuara keras tentang negara Islam bisa bersatu dalam satu wadah anti-LGBT. Baik dalam bentuk NKRI maupun negara Islam, Indonesia harus bersih dari LGBT. Maka, kita bukan saja menyaksikan kasus kekerasan terhadap LGBT terus terjadi, negara bukan hanya diam atas kasus-kasus itu, tapi juga tidak jarang justru terlibat.
Kita perlu selalu ingat; di masa Orba, politik gender dan seksualitas menjadi bagian penting dari konsolidasi kekuasaan. Politik gender bahkan menjadi strategi sangat efektif rejim Soeharto. Dan, seperti halnya politik gender dan seksualitas masa kini, di masa Orba, politik ini juga dipenuhi kekerasan dan pelanggaran hak asasi.
Selanjutnya, memahami kekerasan LGBT sebagai politik gender adalah kesadaran politik itu sendiri. Pemahaman dan Kesadaran ini mendorong kita untuk berpikir tentang strategi politik. Kita perlu berpikir ‘power‘ apa yang kita punya untuk melawan politik gender ini? Bagaimana kita menggunakan ‘power’ ini untuk “melawan”? Kita perlu juga memiliki imajinasi yang kuat tentang bentuk Indonesia yang “menerima” LGBT, yang berbeda dengan imajinasi mereka yang anti-LGBT; kita perlu terus bekerja keras membuat tafsir tentang Pancasila sebagai ideologi inkuslif gender dan seksualitas.
Bagaimana memulainya? Pertama-tama, mulailah dengan berhenti berdebat tentang program training mengayuh becak dan tentang presiden sebagai imam shalat.
Tags ideologi LBGT Pancasila politik
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …