Di tengah eforia rekonsiliasi merespon pertemuan Jokowi-Prabowo, saya masih ingin fokus mendiskusikan poligami. Sudah lama poligami jadi musuh gerakan feminisme di Indonesia. Bagi gerakan feminisme, poligami merupakan salah satu praktek patriarkhi yang paling kasat mata. Poligami merupakan praxis dan institusi ketidakadilan gender paling gamblang dan sekaligus melanggengkan ketidakadilan itu. Poligami adalah simbol kekuasaan laki-laki, refleksi ideologi dan insititusi patriarkhi, yang paling kentara. Poligami menjadi tindakan penaklukan dan opresi yang paling mudah diterima logika paling sederhana.
Pada level sosial-budaya, pada level praktek keseharian yang informal, praxis poligami telah menjadi arena sangat signifikan bagi representasi sekaligus pelembagaan ketidakadilan gender. Kita telah lama “dipaksa” untuk menerima poligami sebagai kelumrahan dan kewajaran, meski dengan klaim legitimasi agama tentang kemampuan untuk bersikap adil. Tanpa analisa ketidakadilan gender yang memang tidak populer bahkan banyak ditentang, mayoritas kita tutup mata dan tutup telinga terhadap berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan dalam perkawinan poligami. Kita menerima tanpa kritis (take for granted) klaim para perempuan yang bersedia dipoligami, bahkan secara ikhlas (submissive); kita tutup mata terhadap sikap diam mereka yang sesungguhnya merupakan hasil manipulasi bahkan represi patriarkhi yang mengaburkan relasi kuasa penuh ketimpangan di balik penerimaan terhadap poligami –sekali lagi dengan berbagai legitimasi, termasuk legitimasi agama.
Dengan kelumrahan sosial-budaya ini, gerakan feminisme mengalami tantangan sangat berat dalam perjuangan melawan praktek poligami. Terima kasih kepada para feminis Muslim dengan gagasan dan agenda tafsir feminismenya, gerakan feminisme mimiliki rujukan kuat pada sumber-sumber keilmuan Islam. Resistensi dari kalangan Muslim terhadap gerakan anti-poligami sedikit-banyak melemah, meski tidak surut apalagi mati. Pandangan bahwa Islam sama sekali tidak melarang poligami masih menjadi pandangan mainstream yang tidak mudah diubah. Kampanye anti-poligami justru dipandang sebagai kampanye anti-Islam.
Dan, kini, poligami yang telah diterima “lumrah” secara sosial-budaya sedang menjadi agenda legislasi untuk dilembagakan secara formal, seperti kita lihat di Aceh. Tentu, ini menghadirkan tantangan lebih besar dan lebih rumit bagi gerakan feminisme. Poligami sosial-budaya (termasuk poligami dengan klaim agama) telah bertransformasi menjadi poligami politik, dan urusan poligamipun menjadi semakin rumit dan pelik, berinterseksi dengan kepentingan politik kenegaraan.
Pertama-tama, kita perlu memahami, ide formalisasi secara legal poligami bukan sekedar berkembang karena pemikiran bahwa “kekuatan” sosial-budaya yang selama ini sudah “mendukung” praktek poligami dianggap tidak cukup tangguh melindungi praktisi poligami. Kita perlu memahami konteks politik kontemporer untuk bisa memahami lebih valid motivasi utama formalisasi poligami ini. Penerimaan social terhadap poligami yang semakin kuat saat ini sebenarnya merupakan efek sosial dari perkembangan politik Islam. Menguatnya penerimaan sosial terhadap poligami setara dengan menguatnya penerimaan sosial terhadap kampanye pemakaian jilbab (atau hijab dalam bahasa yang lebih diterima kalangan pengusung politik Islam); keduanya merupakan bagian dari perkembangan politik Islam.
Apa yang membedakan antara poligami sosial-budaya dengan poligami politik? Poligami menjadi agenda atau propaganda politik, tentu, bukan karena kampanye pro-poligami ini disuarakan oleh para politisi. Poligami menjadi poligami politik karena ia menjadi bagian penting dari agenda besar politik agama atau politik Islam; dalam hal ini, poligami harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari struktur politik formal. Pro-poligami dipandang sebagai salah satu representasi paling jelas dari sistem dan norma gender “Islam” (termasuk norma tentang maskulinitas), dan, karenanya, anti-poligami yang disuarakan para feminis dipandang sebagai upaya mengubah sistem dan norma sosial Islam terkait aspek gender. Tidak ada negara Islam atau negara Islami jika poligami dikriminalkan. Sama halnya dengan: tidak ada negara Islam atau negara Islami jika LGBT dilegalkan.
Demikianlah, legalisasi poligami, yang setara dengan kriminalisasi LGBT, merupakan politik gender dan politik seksualitas bagian tidak terpisahkan dari agenda besar politik Islam dalam rangka institusionalisasi struktur politik “Islam” ke dalam struktur formal kenegaraan kita. Poligami politik dilandasi ideologi politik tentang sistem, struktur, dan praktek kenegaraan yang “Islami.” Sistem, struktur, dan praktek politik Islam, selain mengkriminalkan LGBT juga harus melegalkan poligami agar norma-norma sosial Islam berbasis relasi gender tetap bisa bertahan. Poligami bahkan harus menjadi salah satu praktek moral Islam berbasis gender dan seksualitas: bahwa, poligami jauh lebih bermoral dan penuh berkah daripada selingkuh dan, kini, nikah siri, bahkan daripada monogami atau selibasi alias ngejomblo! Sebagai agenda politik, poligami politik menjadi alat masuk untuk membuat poligami praktek perkawinan yang diakui secara resmi oleh negara; menjadi dasar untuk menjadi praktek dominan, dilakukan sebanyak-banyaknya warga negara.
Dalam poligami politik, poligami bukan saja menjadi penanda bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan menjalani hidup, diposisikan dalam realitas sosial, tapi juga menjadi penanda bagaimana kehidupan ini berjalan di bawah struktur sosial-politik Islam atau Islami. Poligami menjadi agenda politik formal sebagai upaya meneguhkan atau mengembalikan peran agama (Islam) dalam politik kontemporer, yang selama ini, di antaranya lewat sekularisasi dan modernisasi, dianggap makin meminggirkan Islam. Poligami politik menjadi propaganda dan negosiasi politik untuk menegaskan status agama (Islam) di ruang publik, di ranah politik. Dan, pada akhirnya, sebagai bagian dari sistem politik formal kenegaraan untuk mengemablikan presensi Islam, sangat mungkin, pasca legalisasi formal poligami, akan muncul rencana legislasi lanjutan yang lebih menyeluruh, termasuk, misalnya, santunan bagi keluarga poligami, dan seterusnya. Inilah yang menjadikan poligami politik menjadi urusan yang lebih rumit dan pelik, yang mungkin membutuhkan upaya lebih daripada tafsir feminisme.
Perjuangan menentang poligami politik membutuhkan upaya lebih massif dan sistemik, dengan pondasi politik feminisme yang kokoh dan solid. Fondasi ideologis yang bisa memotivasi perjuangan politik sama kuat dengan para pengusung politik Islam. Tentu bukan hal mudah, karena, sementara para pengusung politik Islam semakin ideologis, kita para feminis terlihat semakin pragmatis atau praktis, khususnya dari segi perjuangan politik. Pengaruh political individualism atau bahkan political personalism, di mana pragmatisme politik personal sering menjadi tujuan lebih menonjol daripada tujuan ideologis, juga hinggap pada perjuangan politik kita yang membuat konsolidasi politik berbasis ideologi feminisme tidak mudah dibangun. Saat ini, tidak jarang kita menjumpai situasi di mana “figur-figur feminis” terlihat berdekatan atau berdempetan dengan figur-figur Islamis yang gemar mempropagandakan poligami politik; pemandangan yang janggal, meski saya sendiri belum paham “dinamika” yang melingkupinya.
Poligami politik memang merupakan urusan pelik dan rumit. Namun, bukan berarti tidak ada jalan untuk melakukan perlawanan. Menguatkan basis ideologi feminisme sebagai sumber untuk mengklaim poligami sebagi praktek dan institusi ketidakadilan mungkin bisa membuat kita lebih berani menyatakan sikap politik anti terhadap poligami politik ini, dan mendorong kita menanggalkan political personalism sebagai dasar konsolidasi. Kesadaran politik feminis (feminist politics) mendorong kita untuk terus berjuang agar negara ini bisa memiliki fondasi struktural yang solid, secara sosial dan politik, bagi terwujudnya keadilan dalam semua aspek, dan tidak memberi ruang secuilpun bagi segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, termasuk dalam bentuk poligami.